Jayden turun membuka pintu untuk Sintia. Gadis itu tersenyum kecil, "Terimakasih mas." ucapnya di balas anggukan oleh Jayden.
Amira menurunkan jendela mobil. "Nanti kapan-kapan Sintia mau gak ikut lagi, biar ibu ada temen." katanya.
"Tentu bu, kalau gak ngerepotin."
"Gak akan cantik. Oyah salam sama keluarganya ya,"
"Pasti bu. Gak mampir dulu aja bu, ma-mas Vano juga." ajak Sintia masih tidak melunturkan senyumnya melirik Elvano di dalam sana.
"Tenang aja bakal mampir kok nanti, ada waktunya hehe. Mampir sekarang juga gak enak, Arumi udah tidur soalnya" bukan Elvano yang menjawab melainkan Amira. Wanita itu heboh sendiri sampai Elvano dan Jayden saling berpandangan mengangkat bahu tak peduli.
Sintia mengangguk. "Sekali lagi makasih bu, ini juga belanjaan nya padahal Sintia bisa bayar sendiri kok." katanya sedikit mengangkat tentengannya.
"Udah gapapa, anggap aja sebagai tanda akrab dari ibu. Kan selama ini kita cuma saling nyapa doang, kalau sekarang bakal lebih kayaknya."
"Ah hehe makasih bu."
"Sama… "
"Apa masih lama? Arumi sudah tidur." sela Elvano merasa jenuh dengan ucapan terimakasih yang gak ada habisnya itu.
"Eh, iya maaf sayang. Ya udah dah Sintia besok ketemu di sekolah ya," Amira melambaikan tangan dan dengan hati Sintia membalas lambaiannya.
Gadis itu terlihat melirik Elvano sayangnya pria itu sibuk dengan Arumi yang terlelap, membuatnya menghela nafas kecewa, Amira melihatnya hanya tersenyum.
Sintia tak henti-hentinya mengedarkan pandangan untuk menghilangkan senyum dan juga kegugupannya namun seberapa besar usahanya, ia malah semakin tersenyum. Dadanya bergemuruh ketika senyum tipis Elvano kembali terlintas di pikirannya.
"Oh astaga nggak boleh gini Tia, jangan terlalu mengaguminya, dia bukan orang sembarangan. Hhh… " ia menengadah menatap langit malam bergumam, "Bunda, boleh gak Tia berharap bisa mendapatkan dia? Rasanya tidak mungkin."
"Mungkin kalau kamu berusaha."
"Astaga!!" Sintia terkejut mendengar suara kakak lelakinya. "Abang ih!" ia pun buru-buru berbalik melihat lelaki rupawan terlihat mirip sang ayah tengah memainkan alis menggoda nya.
"Santai aja dong natapnya." dengus Sintia berjalan melewati lelaki tersebut.
Faizal Hermawan menggeleng pelan tertawa geli, adiknya ternyata normal nyatanya gadis itu bisa merasakan cinta kembali belum lagi ia terus saja menolak lamaran lelaki yang meminangnya. Dan sekarang melihatnya membuka hati membuatnya ingin melakukan apapun untuk sang adik agar bisa bersama orang yang ia cintai.
"Jadi siapa dia?" tanya Faizal bersandar di pintu kamar melihat Sintia membuka hijabnya.
Tangan gadis itu berhenti bergerak berputar ke arah Faizal dan bertanya, "Abang kenal Elvano enggak?"
"Elvano? Kayak rada asing sih sama namanya."
"Ah, Tia pernah ngomongin soal salah anak di kelas Tia'kan, yang pendiam itu."
"Ar… arumi kan,"
Sintia mengangguk. "Iya dia. Tadi sekeluarga gak sengaja ketemu terus diajakin makan malam bareng… "
"Intinya cantik." sela Faizal mendekati Sintia lalu duduk di pinggir kasur sang adik.
"Emm, Sintia cuma tertarik doang bang bukan apa-apa kok lagian dia kayaknya gak bakal… "
"Gak akan ada orang yang bisa nolak kamu dek, kamu itu kebanggaan Ayah apalagi bunda di surga sana. Lakukan apa yang menurut kamu mesti selama itu gak di luar nalar. Kalau cinta ya berusaha aja, nggak ada salahnya kok."
"Tapi dia orang terpandang kak."
"Loh? Emang keluarga kita bukan? Ingat ya, jangan rendahkan hatimu hanya melihat derajat orang lain itu nggak bener sayang. Jadi Elvano siapa, apa hubungannya dengan Arumi."
"Dia daddy Arumi."
"Jadi adik abang kepincut sama Duda,"
"Ih jangan di godain Tia nya." Sintia merajuk menutup wajahnya dengan tangan merasa malu.
"Hahaha… khem, sebentar kayaknya abang tau Elvano siapa."
"Siapa?"
Faizal merogoh sakunya tak lama mengeluarkan hp dan mencari nama seseorang dalam pencarian.
"Oh God! Jadi beneran dia orangnya." Faizal melotot melihat wajah tegas nan dingin Elvano tampak jelas di layar hp, beberapa prestasi dan juga berita-berita miring tentangnya.
"Kenapa sih?" Sintia pindah duduk melihat data diri seorang Elvano.
"Elvano Bramantyo Logan, CEO DHE Star? Bukannya dia…"
Keduanya tak bisa menyembunyikan keterkejutan setelah tau siapa Elvano.
*
*
*
"Arumi udah tidur?"
Langkah Elvano terhenti mendengar pertanyaan Amira. Ia menoleh mengangguk membenarkan berucap, "Selamat malam Ma." hendak melangkah kembali namun lagi-lagi terhenti.
"El, menurut kamu Sintia gimana?"
"Gak gimana-gimana ma." jawab Elvano seadanya membuka kancing kemeja, menggulung lengan bajunya tanpa berniat berbalik menatap Amira. Elvano tau kemana arah pertanyaan itu.
"Berarti kamu mau… "
"Mah." Elvano terpaksa berbalik menatap Amira dalam. "Apapun yang Mama pikirkan itu nggak akan pernah terjadi. Mama juga tau seperti apa Elvano, jadi El mohon jangan paksa El buat ngelakuin apa yang gak bisa dilakukan. Selamat malam." katanya melanjutkan perjalanan ke kamar dan kali ini tak ada yang bisa menghentikan langkahnya.
Ceklek…
Elvano berjalan memasuki kamar bernuansa black white, aroma maskulin begitu cocok untuknya. Tak langsung membersihkan diri, ia berjalan mendekati wine miliknya dan menuangnya perlahan di gelas yang terisi bola es batu.
Sebelum bibir gelas mendarat di bibir tebal nan seksi kesukaan para gadis, handphone miliknya lebih dulu bergetar tanda panggilan masuk.
"Hem," dehemnya begitu panggilan tersambung.
"Abrina Ashalina Tan 23 tahun, anak pertama dari dua bersaudara. Putus sekolah setelah orang tuanya meninggal dalam kecelakaan mobil. Ah satu lagi, pernah dengar nama perusahaan LA Groups? Semua peninggalan orang tuanya dijual sama paman dan bibinya. Dia udah keluar dari pekerjaannya, gak ada yang tau dia kemana sekarang. Bisa dibilang bang Vano pelanggan terakhirnya."
"Oke thanks, kamu boleh istirahat."
"Oke."
Tuk!!
Elvano meletakkan gelas kosong nya sedikit keras berdesis, matanya bergerak ke bawah lagi-lagi miliknya bereaksi hanya dengan memikirkan gadis itu.
Sial. Begitu menyesakkan di bawah sana meminta untuk dikeluarkan, hanya dengan memikirkannya ia semakin tenggelam dalam kekaguman mengingat kembali permainan gadis bernama, "Abrina, who are you?" desisnya.
Oh s**t. Ini benar-benar menyiksanya. Haruskah ia keluar sekarang? Itu tidak mungkin, tapi… ah, ia sudah tak bisa menahannya lagi cukup kejadian tadi saja yang membuat tubuhnya merinding harus menahan pelepasan, malam ini ia harus mendapatkan kepuasan lagi.
Elvano berjalan meraih kunci mobil berjalan keluar kamar. Rumah besar miliknya tampak sepi hanya terlihat lampu malam yang menyala.
Ketika kakinya melangkah keluar dari bilik kamar hendak menuruni tangga, suara tangisan Arumi menghentikan.
"Da-daddy hiks… "
Helaan nafas panjang menderuh kasar, semangat empat limanya untuk menikmati malam panjang dengan wanita bayaran seketika redup.
"Eung… iya princess. Kenapa bangun, hem?" tanyanya berjalan menghampiri Arumi, meraih tubuh mungil putrinya.
Gadis kecil itu memeluk leher sang daddy, "Umi mau bobo sama daddy." lirihnya sesenggukan.
"Ya udah, kita ke kamar daddy sekarang." ucapnya membawa Arumi memasuki kamarnya.
*
*
*
Di sisi lain Jayden melangkah keluar dari rumahnya sekedar mengunjungi market untuk membeli keperluan dapurnya yang sudah habis.
Langkahnya terasa ringan dengan musik pop terdengar di telinga nya. Tumben-tumbenan bang Vano berurusan sama wanita malam itu, gak biasanya. Ya emang sih, dia terlihat berbeda dari wanita bayaran lainnya tapi tetap aja kan aneh? pikirnya menarik gagang pintu lalu masuk mendorong keranjang belanjaan.
Ting!
Kakinya berhenti sejenak untuk membuka pesan dari seseorang.
( Sir, you ordered another woman? )
Kening Jayden mengkerut bingung melihat pesan tersebut. "Wanita apaan?" gumamnya menekan tanda memanggil.
"Halo, what is your message?" tanyanya begitu panggilan terhubung.
"Maaf bos, kami menerima telepon dari seseorang atas nama Anda untuk jadwal Mr besok."
"Ck, Bodoh! Sudah kubilang hanya nomor ini yang akan meneleponmu jadi jangan pedulikan yang lain. Kamu mengerti."
"Baik bos. Maaf mengganggu waktu anda."
"Hem." Jayden hanya berdehem memutuskan panggilannya. Jay jadi berpikir, siapa yang sedang bermain dengannya? Apa Elvano sendiri yang menghubungi orang-orangnya? Tapi mana mungkin.
Sepertinya ia harus menyelidikinya. Ia tidak mau hal sekecil ini melewati celah yang bisa menghancurkan semua pekerjaan Elvano.
( Selidiki nomornya )
*
*
*
"Lintang!" Abi yang berniat menyusun barang belanjaan terkejut melihat Lintang terjatuh tak sadarkan diri. Sekuat tenaga ia membawa Lintang ke kasur, dengan perasaan khawatir dia menyelimuti tubuh adiknya.
Menggigit kukunya menghubungi dokter namun ada jawaban, ia hanya bisa mengambil air lalu mengompres Lintang dengan handuk kecil.
"Kenapa jadi drop, kamu minum obat terus kok makin parah sih. Tahan ya kakak mohon," Abi dengan telaten merawat sang adik. Ketika tubuh Lintang bergetar kedinginan, ia pun berbaring memeluk adiknya.
"Kakak mohon kamu bertahan, janji bakal dapatkan uangnya biar kamu bisa secepatnya operasi." bisiknya menengadah agar air matanya tak tumpah.
Tangan Lintang bergerak memeluk Abi berbisik lirih, "Kakak sakit."
Astaga! Hati Abi begitu sesak mendengarnya. Berapa kali Lintang menyerah namun ia tak bisa membiarkan adiknya pergi meninggalkannya sendirian di sini, itu tidak mungkin.
Tanpa Lintang dunianya pun hancur dan mungkin saja ia akan mengikutinya karena untuk apa hidup jika tak ada tempat untuk dia pulang sekedar berkeluh kesah.
"Jangan nyerah, kalau kamu pergi aku gimana dek!?" lirihnya perlahan memeluk Lintang.
Gadis itu merasa bersyukur Abi selalu berusaha menjaganya, ia juga berusaha untuk tetap bertahan meski menyerah terus membayanginya. Tubuhnya sudah pernah di otak-atik oleh dokter dua kali, berharap penyakit sialan itu tidak kembali lagi tetapi sepertinya yang di atas memang menginginkan dia menderita terutama sang kakak yang harus bekerja tanpa henti.
Jika boleh meminta Lintang berharap bisa melihat kakaknya bahagia dan mendapat cinta dari lelaki yang tulus menerimanya, setidaknya kalau nanti hidupnya berakhir ia tidak khawatir dengan siapa sang kakak bersandar.
Lintang berusaha mencari ruang untuk bernafas agar sesaknya bisa menghilang. Pelan-pelan tangannya bergerak menepuk-nepuk punggung Abi, sang kakak masih setia dengan gigitan di bibir menahan diri terkekeh merasa bodoh bagaimana bisa dia di tenangkan sedangkan Lintang lebih butuh penenang.
"Gimana udah baikan?" pertanyaan bodoh sekali, pikir Abi melonggarkan pelukannya sedikit bergeser agar bisa melihat wajah Lintang.
"Inget gak pas SD kamu nangis gara-gara naik pohong asam tapi gak tau turun,"
"Terus bukannya ditolong, akunya di tinggal." sambung Lintang dengan masih memejamkan mata. Keduanya tertawa mengingat kenangan kecil mereka.
"Terus juga, pulang sekolah nangis kejer gara-gara dikatain cowok. Lah sekarang modelnya kek cowok gini, sayang rambutnya panjang." kata Abi dan lagi-lagi suara tawa memenuhi kamar.
"Jangan lupain gara-gara boneka dari sarung, kita kena hukuman sama papa."
"Hahaha inget banget itu mah. Belum lagi bangun pagi cuma pretelin pepaya buat rujak." sambung Abi.
"Makasih kak." lontar Lintang menghentikan tawa Abi. Tatapan sendu bisa Abi lihat begitu Lintang membuka mata.
"Bertahan oke,"
Lintang mengangguk berjanji bertahan sampai sang kakak menemukan pendamping hidupnya.