6. the first

2470 Words
Di luar jam sekolah. Luci baru saja memasuki area bengkel dan langsung menuju ruang kerja ayahnya. Sebelumnya Dede sudah mengambil alih sepeda motor yang Luci gunakan dan memindahkannya ke bagian garasi khusus milik bosnya. Beberapa montir yang sudah cukup lama mengenal Luci hanya tersenyum melihat anak bosnya datang, tapi beberapa pegawai yang baru tentu saja masih canggung dan tanpa mengurangi rasa hormatnya mereka akan sedikit membungkukkan tubuhnya untuk memberi salam pada anak bosnya yang konon ceritanya juga sesekali ikut bekerja bersama mereka. Luci memang terkenal ramah pada seluruh pegawai ayahnya. Tidak hanya kepada pegawai ayahnya tapi pada setiap pelanggan dan tamu yang kebetulan singgah di bengkelnya maka luci dengan senang hati akan melayani mereka meski hanya dengan ngobrol santai dan beberapa candaan ringan. Di kampusnya dulu Luci terkenal sebagai mahasiswi supel. Tak jarang beberapa orang yang baru mengenalnya mengira dia seorang cowok karna dari segi penampilan dan gaya berpakaiannya yang mirip seperti cowok. Kaos oblong kebesaran dengan celana jeans longgar selalu menjadi andalannya kala itu. Sesekali Luci menggunakan kaos pas tapi kembali di balut dengan kemeja kotak-kotak longgar sebagai luaran. Jangan lupakan Kets Converse yang selalu menjadi Kets ternyaman kala itu. Rambut panjangnya yang indah selalu di ikat padat di ujung kepalanya. Motor sport hitam yang selalu senantiasa menemani perjalanannya kemanapun ia pergi akan membuat siapapun yang melihatnya pasti akan mengira kalau dia adalah seorang laki-laki. Teman-teman Luci juga lebih dominan kaum laki laki , tapi bukan berarti Luci adalah penganut pergaulan bebas. Pergaulan bebas? Ya Luci memang wanita yang bergaul bebas. Bebas dalam artian tidak memandang latar belakang orang yang ingin berteman dengannya, namun tetep menjaga dan menjunjung tinggi kehormatan. ********************** Di kejauhan, David masih senantiasa mengawasi gerak gerik gurunya. "Apa guru itu juga bekerja di bengkel ini?" David bermonolog sendiri, mengingat Luci adalah sarjana S1 tehnik otomotif dan menjadi mahasiswi terbaik di kampusnya tentu saja akan mempermudah dia jika ingin bekerja di bengkel manapun termasuk bengkel besar yang ada di depannya saat ini. Tiga puluh menit berlalu, David masih senantiasa memandang dengan tatapan selidiknya bak Intel yang sedang memata-matai tersangka. David kembali dikejutkan dengan hal yang sangat tidak pernah terbayang oleh otaknya sebelumnya. "Apa ini?" David semakin menajamkan pandangannya. "What,,,,,? Bagaimana bisa? dan dia?" David syok manakala seseorang keluar dengan menggunakan Jeep hitam yang selama ini dia cari-cari keberadaannya. Di sana seorang montir mengendarai Jeep hitam itu dan seorang gadis yang sedang dia awasi berbicara pada montir itu. Dari kejauhan Luci yang tadi masih mengenakan seragam olahraga kini sudah berganti dengan setelan celana jeans biru muda , baju kaos hitam dan jaket jeans yang senada dengan celananya dan sepatu boots kulit warna hitam, tentu saja dengan wajah yang terlihat lebih fresh, karena mungkin sebelum Luci berganti pakaian ia juga menyempatkan diri untuk menyegarkan tubuhnya dengan mandi dan rambutnya yang sebelumnya terlihat kusut terkena angin karena mengemudikan sepeda motor kini sudah terlihat rapi dengan beberapa Curly di ujung rambut coklat kekuningan itu Luci sedang berbicara dengan salah satu montir yang tadi mengeluarkan mobil Jeep hitam tersebut. Terlihat jelas kedua orang itu sangat akrab bahkan mereka sampe beradu TOS dengan kedua tangan mengepal dan menyatukan kedua tinju mereka. Luci mengambil alih mobil itu dan mulai memasuki mobil itu, berlalu meninggalkan bengkel tersebut. David kembali mengikuti kemana kira-kira Luci dan mobil Jeep hitam itu akan pergi. Tiga puluh lima menit, akhirnya Luci berhenti di sebuah cafe. Memarkirkan mobilnya dan keluar dengan santai. Kaca mata hitam pun kini bertengger menghiasi hidung mancungnya. David ikut keluar dari mobilnya. Sebelumnya David sudah mengenakkan huddy warna navy yang kebetulan ada di dalam mobilnya. David mengikuti langkah Luci memasuki cafe itu dengan kepala tertutup tudung huddy. David memilih duduk di kursi tak jauh dari pintu masuk agar dia bisa melihat lebih leluasa apa yang akan gurunya itu lakukan. Luci masih berjalan dengan anggunnya kaca matanya kini sudah di angkat ke atas kepalanya dan membuat kaca mata itu sebagai bando di atas kepalanya. Luci menghampiri sekumpulan cowok yang sudah duduk dengan beberapa gelas dan sisa makanan yang mungkin sebelumnya mereka nikmati. Luci menjabat dan memeluk satu persatu cowok yang duduk di meja bundar dengan beberapa kursi yang masih kosong di sampingnya. Rahang David tiba-tiba mengeras merasakan perasaan yang sedikit membuat hatinya nyeri. "Ini apa-apaan lagi? kenapa dia bisa bersikap seolah-olah dia jalang," _______ "Aaah apa yang lu pikirkan David? Itu urusan dia, dan lu bahkan tidak berhak ikut campur atas apa yang akan dia lakukan. lu tak berhak mengatur dengan siapa dia berteman dan apa pun tentang dia." Batin David David buru-buru menepis pikiran yang mulai menguasai otaknya saat melihat Luci berjalan menuju toilet. Dia buru-buru mengikutinya, dan dia harus menanyakan sesuatu. Tepat di depan pintu toilet David menunggu Luci gurunya itu keluar. Ceklek. Pintu terbuka dan dengan sigap David mendorong tubuh Luci masuk kembali dan secepat kilat mengunci pintu itu dari dalam. Luci yang terkejut dengan sosok orang yang tiba-tiba mendorongnya masuk spontan berteriak tapi belum sempat suaranya keluar dari mulutnya, mulut Luci sudah lebih dulu di tutup dengan tangan hangat orang itu. "Diam" David memperingati wanita itu, yang tidak lain adalah gurunya "David! Apa yang kau lakukan ahh?" Ucap Luci sinis. "Seharusnya aku yang bertanya. Apa yang sedang kau lakukan bersama pria-pria di sana?" Geram David Napas keduanya beradu karena jarak mereka yang terlalu dekat dengan Luci yang menempel di dinding dan David yang mengurung tubuhnya dengan kedua tangan di sisi kiri dan kanan tubuh Luci. David semakin mempersempit jarak di antara meraka. "Bukan urusanmu." Suara Luci sedikit bergetar. Meski sekuat mungkin Luci bersikap tenang, nyatanya saat berada di situasi seperti ini, tetap saja Luci juga merasa gugup "Tentu saja ini akan menjadi urusanku, karena kau adalah guruku." David semakin geram. Bagaimana mungkin gurunya itu masih mempertanyakan hal sesepele itu. "Tapi itu ketika di sekolah, David. Dan sekarang aku tidak sedang berada di sekolah, yang artinya saat ini aku sedang tidak sebagai gurumu." Napas Luci memburu, bahkan David bisa merasakan hangat napas Luci menerpa wajahnya. "Apa kau tidak tau apa yang bisa aku lakukan terhadapmu? Aku bisa saja membuatmu di pecat dari sekolah itu."~ David Kedua sudut bibir Luci terangkat ke atas menampakan senyum terbaiknya. Lalu dengan berani Luci mengangkat kedua lengannya dan mengalungkannya ke leher David. "Apa kau yakin dengan ucapan mu itu?" Tanya Luci lembut. David kehilangan fokusnya, menyadari kedua lengan Luci yang tadi hanya bergelantung di kedua sisi tubuhnya kini sudah mengalung di lehernya. "Tentu saja. Jika kau belum tau, akan aku beri tahu. Aku adalah satu-satunya anak pemilik sekolah SMA SATYA Antonio Fabian." Jelas David dengan bangganya "Tentu saja aku tau, Dave. Tapi jika kau tidak tau, aku juga akan memberi taukan sesuatu." Luci memberi jeda pada kalimatnya. Lalu kembali berkata "Bahkan papamu, pak Antonio Fabian sendiri yang menawari aku pekerjaan itu. Dan tidak satupun orang bisa memecat aku termasuk pak Antonio sendiri, karena aku sudah memengang surat kontrak dan itu sah David." Ucap Luci dengan menekankan kata SAH. Kemudian Luci terdiam menatap manik keabuan milik muridnya. Kedua sudut bibir Luci terangkat ke atas menampakan senyum terbaiknya. Lalu mengecup bibir pemuda itu sedetik. David membatu, merasakan bibir Luci yang menempel di bibirnya. Setelahnya Luci keluar dengan santai dari kungkungan tubuh David. Kemudian memutar anak kunci di pintu yang sebelumnya David kunci, lalu melangkah meninggalkan David. Belum selangkah kaki Luci keluar melewati pintu, satu tangan David kembali menarik lengan Luci yang menggantung di sisi tubuhnya. Dan sedetik kemudian David kembali menekan tubuh tegapnya ke tubuh Luci dan kini David mulai mencium gurunya itu. David menempelkan bibirnya ke bibir gurunya kasar dengan kedua lengannya mengunci tubuh Luci di tembok kamar mandi, mencoba menekan bibirnya lebih keras, menuntut balasan atas hasratnya, namun Luci tak jua membalas ciuman itu. David mulai geram. Sudah tiga menit David memaksakan ciumannya pada gurunya itu namun nihil, Luci tak merespon sedikitpun. Lalu David menggigit kecil bibir bawah Luci sehingga spontan Luci meringis dan reflek bibirnya terbuka sehingga memberi akses lidah David memasuki rongga mulut Luci. Menjelajah seluruh organ yang ada dalam mulut itu. Tangan sebelahnya menahan tengkuk Luci dan sebelah tangannya lagi memeluk erat pinggang rampingnya. Luci terus memberonta, kedua tangannya terus mendorong d**a bidang David kuat. Namun tubuh David yang jauh lebih besar darinya tentu saja tenaganya takkan sekuat tenaga David. David semakin mempererat pelukannya di pinggang Luci. Lidah David masih menjelajahi isi mulut Luci meski Luci tak membalas ciumannya. Dia kembali menggigit bibir bawah Luci sedikit keras. Sebelum akhirnya David melepaskan ciumannya sejenak memberi ruang Luci untuk bernapas. Lalu berkata tepat di depan bibir Luci. "Bukankah kau yang memulai ciuman ini ahh? Lalu kenapa kau hanya diam? Apa kau akan mengaku kalah dari seorang bocah?" "Das,,,,eemppppp" Luci hendak mengatakan sesuatu tapi belum sampai kata itu keluar, bibirnya kembali di bungkam dengan bibir Dave. David menciumnya lebih kasar, dan perlahan ciuman itu berubah lembut. David melumat bibir bawah dan bibir atas Luci bergantian. Luci tak kuasa menahan hasratnya lagi. Luci akhirnya membalas ciuman itu. Ciuman pertama untuk Luci. Luci mengikuti gerakan demi gerakan yang dilakukan David, dengan lembut. Luci sedikit memiringkan wajahnya sehingga bibirnya dan bibir David menempel sempurna. Menyadari Luci membalas ciumannya dengan sangat amatir David tersenyum rendah, namun tetap nikmati nya. Luci sedikit membuka bibirnya memberi akses David menelusupkan lidahnya. David mulai melilitkan lidahnya ke lidah Luci saling bertukar saliva, mengecap rasa demi rasa di antara bibir keduanya. Luci sedikit memukul d**a bidang David dengan tangannya yang terhimpit di antara tubuhnya dan tubuh Dave memberi isyarat jika dia sudah kehabisan napas. Lalu dengan satu tarikan napas,, David menarik ciumannya dari bibir Luci sehingga menimbulkan suara decapan yang cukup keras. Hee heeh heeh Kening keduanya saling bertumpu. Napas keduanya memburu, keduanya sama-sama menghirup udara dengan rakus karna lamanya ciuman itu membuat kedua insan itu sama-sama kehabisan napas. Luci diam dengan keterkejutannya. "kamu tau David, aku bisa saja menuntut mu atas dasar pelecehan?" geram Luci atas tindakan David barusan "Tuntut aja buk! Aku tidak peduli. Aku bahkan bisa melakukan lebih dari ini Luci Mervino. Dan aku rasa ibu juga tau itu."~ David Plak,,,,, Satu tamparan keras melayang di pipi lembut David yang terasa panas. "Kamu,,,,,aaah," Luci mendorong keras tubuh David dan membuka pintu di belakang punggung David, Luci berlari keluar dan menjauh dari laki-laki yang pada kenyataannya adalah anak muridnya. Dasar anak tidak tau sopan santun." Luci terus memberenggut, marah, kesal berkecamuk dalam dadanya. "Bisa bisanya bocah itu bersikap kurang ajar padaku. Aaah dasar bocah tidak tau sopan santun kamu Dave," Luci kembali mengumpat dan terus berjalan ke meja di mana para sahabatnya berkumpul. "Sorry bro , gue cabut duluan" ucap Luci pada para sahabatnya yang sedang asik dengan canda mereka "Kenapa? elo kan baru saja sampe? Elo bahkan belum makan atau minum sesuatu Luc." Ucap salah satu sahabatnya. Luci menyambar jus jeruk yang masih belum tersentuh di meja itu dan meneguknya hingga tandas. "Tu gue udah minum, jadi kita ketemu dan santai bareng next time aja ya. Sumpah, tiba-tiba gue merasa gak enak badan, tapi gue janji next time kita bisa share anything. Oke." Ucap Luci sedikit tergesa-gesa. Luci menyambar tas yang tadi dia letakkan di meja itu dan berjalan tergesa-gesa menuju mobilnya yang dia parkir kan di depan cafe. Luci masuk ke mobilnya dengan memberenggut kesal, Luci memukul berkali-kali dashboard mobilnya. "Sialan kamu bocah belagu,,," teriak Luci masih sambil memukul dashboard mobilnya David yang sebelumnya sudah lebih dulu memasuki mobilnya namun masih stay di tempat, melihat wajah Luci dengan ekspresi cemberut. Senyum David langsung merekah begitu saja di kedua sudut bibirnya. Luci mulai menjalankan mobilnya keluar dari area parkir. Setelah sebelumnya memberi selembar uang untuk sang juru parkir, lalu kembali mengangkat sebelah tangannya dengan ketiga jarinya yang di kepal, jari telunjuk dan jari tengah yang terbuka membentuk hirup "V" David kembali menangkap isyarat itu. Mobil yang sama dan isyarat yang sama, "sudah kuduga itu kau Luci, dan kali ini kau takkan bisa berkilah lagi , pengemudi misterius." Batin David dengan sedikit kelegaan. "Dan kali ini ku pastikan kau akan berada di bawah kendaliku, guruku." Sambung David dengan senyum manisnya, pikirannya mulai menyusun strategi untuk menaklukkan gurunya itu. ********* David sampai di rumah, dan langsung menuju kamarnya, menanggalkan seluruh pakaiannya dan menyisakan boxernya saja. David melangkah ke kamar mandi. Mulai mengisi bathtub dan begitu bathtub penuh David mulai merendam tubuhnya, mendinginkan tubuhnya yang terasa sangat panas dan hampir membakar seluruh jiwanya karena hasrat yang tak tersalurkan. "Aaah sial. Kenapa gue sangat menginginkannya," batin David bergemuruh. "gue gak pernah merasakan hasrat yang sebesar ini pada seorang gadis, dan kenapa malah guru itu." David menjambak rambutnya. Kembali terlintas apa yang tadi dia lakukan pada gurunya itu. Merasakan manisnya sesuatu yang di balut dengan lipstik merah muda beraroma coklat dan mint, merasakan hangatnya hembusan napas Luci, Tapi, penolakan dan tamparan itu kembali menggoyahkan keyakinannya. "gue gak pernah menyangka kalo orang yang mengemudi Jeep hitam itu ternyata Luci, guruku,, eeeh wali kelasku. Gila,, ini benar-benar gila. Ternyata gue sudah di kalahkan dua kali oleh guruku. Wanita pula!" David memberenggut, sembari memukul berkali-kali air yang menenggelamkan tubuhnya. "Haaaah ini gak boleh terjadi. Gue pastiin guru itu pasti bisa gue taklukkan, bagaimana pun caranya, dia harus menjadi milikku. Sukarela atau memaksa sekalipun akan aku lakukan." Martin Sepulang dari sekolah Martin mencari Luci di ruangan guru namun tak bisa menemukanya. Di parkiran Martin juga tidak mendapatkan motor luci, dan itu artinya Luci sudah pulang. Dan di sinilah sekarang Martin berada. Di rumah Luci. Duduk berdua bersama pak Teo Mervino ayahnya Luci sambil menikmati secangkir kopi hitam. Bercengkrama dan mulai mengobrol beberapa obrolan yang tidak terlalu penting. Sudah dua jam Martin duduk di temani Teo, menunggu Luci yang pergi entah kemana. Teo sudah beberapa kali menelpon Luci namun panggilan itu tidak jua mendapat jawaban. Dan akhirnya beginilah sekarang, Breem breeem breeem. Luci memasuki gerbang rumahnya yang sebelumnya sudah di buka oleh seorang penjaga rumah sekaligus orang tua keduanya. Luci melihat mobil Martin terparkir di halaman depan rumahnya. "Selamat sore" Luci masuk dan mendapati ayahnya dan Martin sedang mengobrol di ruang tengah. "Hey Luci kamu dari mana saja, dari tadi papa telepon kok gak di angkat sih sayang. Martin udah dua jam lebih lho nungguin kamu sayang." Suara ayahnya Luci yang langsung mengintrogasi Luci dengan beberapa pertanyaan. "Eeeeeh maaf pak,, eeh Martin , aku gak tau kalo anda akan mampir ke rumahku." ~ Luci "Aaah ya, hanya kebetulan lewat luc, aku teringat rumah kamu jadi aku mampir." Jawab Martin sekenanya. "Oooh ya, maaf ya aku gak ada di rumah saat anda dateng."~ Luci "Gak pa pa Luc. Santai aja." Jawab Martin dengan sedikit senyum, namun nyatanya mampu membuat hati Luci menghangat. "Emang kamu dari mana saja sayang." Teo kembali dengan pertanyaan sebelumnya. "Biasa lah pah. Tadi Luci mampir di bengkel terus pergi kumpul sama temen-temen lama pa." ~ Luci "Terus" "Ya terus, kita cuma makan-makan lalu Luci pamit duluan karena Luci rasa capek aja." Terang Luci, sementara Teo cuma mencibir. Terlihat jelas jika Luci putrinya itu sedang gugup. Teo juga melihat jika wajah merona putrinya itu sangat kontras saat mencuri pandang ke arah pemuda di sebelahnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD