bc

Where The Roads Take Us

book_age18+
60
FOLLOW
1K
READ
dark
forbidden
family
HE
fated
opposites attract
heir/heiress
drama
tragedy
sweet
lighthearted
campus
city
office/work place
love at the first sight
like
intro-logo
Blurb

Lima perempuan. Lima perjalanan. Satu persimpangan yang mempertemukan mereka kembali.Raisa kembali ke Palembang dengan harapan yang kandas sebelum sempat dimulai. Mantan yang ingin ia perjuangkan ternyata sudah memilih orang lain. Nayla melepas suami yang masih ia cintai, karena ternyata cinta saja tak cukup untuk bertahan. Mira, di balik karier menterengnya, berjuang seorang diri menanggung beban keluarga yang seakan tak pernah habis. Luna masih terjebak dalam pencarian yang melelahkan—mencoba percaya bahwa cinta sejati itu nyata. Dan Talia, dokter yang seharusnya menyelamatkan hidup banyak orang, justru merasa hidupnya sendiri tak lagi berarti.Mereka berdiri di titik-titik berbeda, tapi jalan hidup membawa mereka ke satu tempat yang sama. Persahabatan lama yang tertinggal kini kembali menyala, menjadi satu-satunya sandaran di tengah badai yang menghantam hidup masing-masing.Tapi... apakah mereka benar-benar siap untuk menerima ke mana jalan ini akan membawa mereka? Atau justru semakin tersesat di dalamnya?

chap-preview
Free preview
Di Depan Hakim
Dia, Nayla Kiran Perempuan itu duduk di kursi kayu panjang yang terasa semakin keras di punggungnya. Ruang sidang Pengadilan Agama itu terasa begitu sunyi, meskipun di dalamnya ada beberapa orang lain yang menunggu giliran. Sunyi yang mencekam, menekan dadanya hingga sulit bernapas. Hanya suara ketukan palu dan kalimat hakim yang terdengar, mengisi ruangan dengan keputusan yang sejak awal sudah ia tahu akan terjadi. "Nayla Kiran binti Rahmatullah, apakah Anda setuju dengan keputusan ini?" Hakim di hadapannya berwajah datar, nadanya tenang dan tegas. Tak ada emosi di sana, hanya formalitas yang harus diselesaikan. Sementara, Nayla duduk dengan tangan gemetar di pangkuannya, jari-jarinya saling menggenggam erat seakan berharap genggaman itu bisa menahan sesuatu yang ingin pecah di dalam dadanya. "Ya, Yang Mulia," jawabnya pelan, hampir berbisik. Di seberangnya, lelaki yang masih berstatus suaminya duduk dengan tenang. Arman. Pria yang dulu ia cintai dengan segenap hatinya, pria yang ia bayangkan akan menjadi teman sehidup sematinya. Tapi kini, lelaki itu duduk tanpa ekspresi, matanya tak lagi memancarkan kasih sayang yang dulu begitu ia kenal. Tak ada lagi tangan yang terulur untuk menggenggam jemarinya, menenangkannya saat ia gugup atau sedih. Kini, yang ada hanya sepasang orang asing yang dipisahkan oleh meja panjang dengan tumpukan berkas cerai di atasnya. Hakim kembali berbicara, menjelaskan alasan perceraian mereka secara resmi. "Berdasarkan fakta persidangan, perselisihan dalam rumah tangga ini tidak dapat didamaikan. Penggugat, yaitu Nayla Kiran, menyatakan tidak dapat melanjutkan pernikahan ini karena telah terjadi perselingkuhan yang dilakukan oleh tergugat, Arman Fadhil, serta adanya tekanan dari pihak keluarga tergugat yang mengakibatkan beban psikologis bagi penggugat." Kata-kata itu terasa seperti hantaman keras di dadanya. Nayla menunduk, meremas rok panjangnya dengan kedua tangan. Seakan jika ia memejamkan mata, semua ini hanyalah mimpi buruk yang akan segera berakhir saat ia terbangun nanti. Tapi tidak. Ini nyata. Perceraian ini nyata. Nayla tahu bahwa keputusan ini adalah jalan terbaik. Tapi tetap saja, rasa perih di hatinya tidak bisa hilang. Kenangan bertahun-tahun bersama Arman berkelebat dalam pikirannya. Pertama kali mereka bertemu, janji-janji yang mereka buat, doa-doa yang ia panjatkan setiap malam agar rumah tangga mereka bahagia. Semua itu kini terasa sia-sia. Ia masih mencintai lelaki itu, meski hatinya telah dihancurkan berkali-kali. Ia ingin membenci Arman, ingin melupakan semua kenangan mereka, tapi hati kecilnya masih berbisik bahwa jauh di lubuk hatinya, ia tetap berharap semua ini hanyalah kesalahan yang bisa diperbaiki. Namun, kenyataannya tidak demikian. Arman telah jatuh ke dalam pelukan wanita lain. Lebih dari sekali. Dan yang paling menyakitkan, ia bukan hanya kehilangan suaminya, tetapi juga harga dirinya di hadapan keluarga Arman. Mereka menyalahkannya atas semua ini. Menuduhnya sebagai istri yang tidak becus. Semua hanya karena ia belum bisa memberikan keturunan. Kata-kata tajam yang pernah dilemparkan ibu mertuanya kembali terngiang di kepalanya. "Untuk apa Arman bertahan dengan perempuan mandul? Mau sampai kapan dia menunggu? Umurnya sudah kepala tiga, mau punya anak kapan kalau kamu saja belum bisa hamil sampai sekarang?" Nayla merasakan matanya kembali panas. Ia menunduk, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk. Ia tidak ingin terlihat lemah di sini, di hadapan orang-orang yang menghakimi dan menyalahkannya. Tapi semakin ia mencoba menahan, semakin matanya terasa perih. Ia mengerjap beberapa kali, tapi tetap saja setetes air mata jatuh ke pangkuannya. Ketukan palu dari hakim kembali menggema di ruangan itu. "Dengan ini, pernikahan antara Nayla Kiran dan Arman Fadhil dinyatakan berakhir secara sah berdasarkan hukum Islam. Sidang selesai." Palu diketukkan tiga kali. Keputusan telah diambil. Tidak ada jalan untuk kembali. Nayla menggigit bibirnya. Rasanya seperti sesuatu di dalam dirinya hancur berkeping-keping. Arman menghela napas panjang di seberangnya. Untuk pertama kalinya sejak mereka duduk di ruangan ini, mata mereka bertemu. Pandangan Arman sedikit redup, seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi tak satu kata pun keluar dari bibirnya. Mungkin, bahkan ia pun tahu bahwa tidak ada kata-kata yang bisa memperbaiki segalanya. Perlahan, lelaki itu berdiri, mengambil map hitamnya, lalu berbalik pergi. Tanpa menoleh, tanpa satu pun kata perpisahan. Dan di situlah Nayla akhirnya sadar. Bahwa semua ini sudah benar-benar berakhir. Perlahan, ia pun bangkit dari kursinya. Kakinya terasa berat saat melangkah keluar dari ruangan sidang. Udara di luar lebih segar, tapi dadanya masih terasa sesak. Dunia di luar tetap berjalan seperti biasa, seolah tidak ada yang berubah. Namun bagi Nayla, dunianya kini terasa kosong. Ia merapatkan blazer yang ia kenakan, mencoba mencari sedikit kehangatan yang hilang. Ia melangkah pergi, meninggalkan jejak kecil di lantai marmer pengadilan. Namun, jejak yang lebih dalam tertinggal di hatinya—bekas luka yang mungkin akan lama sembuhnya. Mungkin, ini adalah akhir dari kisahnya dengan Arman. Tapi apakah ini juga akhir dari dirinya? Tidak. Ia tidak akan membiarkan hidupnya hancur hanya karena sebuah pernikahan yang gagal. Nayla menghela napas panjang, berusaha menata kembali pikirannya. Langkahnya semakin mantap saat berjalan keluar dari gerbang pengadilan. Di sinilah ia memulai hidupnya yang baru. Tanpa Arman. Tanpa tekanan. Hanya dirinya sendiri, dan masa depan yang masih harus ia perjuangkan. Ia berjalan menuju mobilnya. Sopirnya sudah menunggu. Srtidaknya ia bukan ibu rumah tangga yang tak punya pekerjaan. Ia pengusaha. Untungnya, ia bersikeras untuk itu dsn tidak manut-manut saja pada Arman dulu untuk hanya di rumah. Kini ketika akhirnya harus berpisah, ia setidaknya tidak gila karena tidak punya uang. "Nayla!" Suara itu menusuk gendang telinganya seperti belati tajam yang sudah terlalu sering ia dengar dalam nada yang sama—memerintah, merendahkan, dan menghakimi. Langkah Nayla seketika terhenti di anak tangga terakhir gedung pengadilan. Punggungnya menegang. Itu suara ibu mertuanya. Ah, maksudnya mantan ibu mertuanya sekarang. Nayla menutup mata sejenak, menarik napas panjang sebelum akhirnya membalikkan badan. Ia tahu, menghindar hanya akan membuat keadaan semakin buruk. Matanya langsung bertemu dengan sosok perempuan paruh baya yang berdiri angkuh dengan raut wajah yang sama seperti biasanya—dingin, sinis, dan penuh kemenangan. "Jangan lupa untuk mengemas barang-barangmu." Suaranya terdengar tenang, tapi setiap katanya adalah pisau yang mengoyak harga diri Nayla. "Bagaimanapun, rumah itu dibeli dengan kerja keras Arman." Dada Nayla bergetar. Rumah itu? Ia mengepalkan jemarinya di sisi tubuhnya, berusaha keras menahan diri agar tidak terpancing. Kalau mau jujur, ingin sekali ia membalas dengan nada tinggi, ingin ia meneriakkan fakta yang sebenarnya. Bahwa rumah itu memang atas nama Arman, tapi sekitar 70 persen uangnya berasal dari tabungan dan hasil kerja kerasnya sendiri. Bahwa setiap lembar rupiah yang mereka kumpulkan untuk rumah itu bukan hanya hasil dari usaha Arman seorang, tapi juga dari kerja keras Nayla yang siang malam membangun bisnisnya. Bahwa selama ini, ia bukan hanya seorang istri yang tinggal diam dan menumpang hidup, tapi seseorang yang ikut membangun rumah tangga itu secara harfiah dan emosional. Tapi untuk apa? Apa pun yang ia katakan tidak akan mengubah kenyataan bahwa rumah itu tetap atas nama Arman. Tidak peduli berapa pun persen kontribusinya, di mata mereka, ia tetap hanya seorang perempuan yang tidak bisa memberikan keturunan dan kini dicampakkan begitu saja. Nayla menarik napas dalam-dalam. Matanya menatap wanita di hadapannya. Ia bisa saja membalas kata-kata itu, bisa saja berdiri di sana dan melawan dengan segala argumen yang ia punya. Tapi apa gunanya? Ia sudah terlalu lelah. Mantan ibu mertuanya itu masih berdiri di sana, menatapnya dengan tatapan puas, seolah-olah Nayla adalah sampah yang akhirnya berhasil disingkirkan dari keluarga mereka. Nayla mengepalkan tangannya lebih erat. Ingin sekali ia berkata bahwa tak masalah. Bahwa ia akan pergi. Bahwa rumah itu bukan lagi miliknya, tapi kehidupan barunya tidak akan bergantung pada dinding-dinding rumah itu. Ia bisa kembali ke rumah orang tuanya. Rumah yang sudah lama kosong sejak mereka meninggal, tapi masih berdiri kokoh menantinya. Rumah yang dulu penuh kenangan bersama kedua orang tuanya, rumah yang kini akan menjadi tempatnya memulai kembali. Ia melangkah maju. Matanya tetap menatap lurus, tidak lagi ingin berdebat, tidak ingin memberi wanita itu kepuasan lebih. Aku akan pergi, tapi aku akan baik-baik saja. Dengan langkah tegap, ia berjalan melewati mantan ibu mertuanya tanpa kata perpisahan. Ia sudah cukup terluka. Tapi kali ini, ia tidak akan membiarkan dirinya hancur lebih dalam. Nayla melangkah keluar dari gedung pengadilan dengan langkah yang lebih berat dari biasanya. Meski langit siang itu cerah, dunia di sekitarnya terasa buram. Hampa. Di depan, sebuah mobil hitam sudah menunggunya di pinggir jalan. Supir pribadinya, Pak Yusuf, segera keluar dan membukakan pintu. Pria paruh baya itu menatapnya dengan sorot mata yang penuh pengertian. “Sudah selesai, Bu Nayla?” tanyanya dengan suara lembut. Nayla mengangguk kecil tanpa menjawab. Ia masuk ke dalam mobil dengan tubuh yang terasa lelah, lalu menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi. Pintu mobil tertutup dengan lembut, lalu kendaraan itu mulai melaju perlahan meninggalkan gedung pengadilan. Di dalam mobil, hanya ada suara AC yang berhembus pelan. Nayla menghela napas panjang, mencoba mengendurkan ketegangan di pundaknya. Tapi percuma. Dadanya masih sesak. Tangannya mengepal di atas pangkuan, pikirannya kembali memutar kejadian di ruang sidang tadi. Harusnya aku mengambil apa yang menjadi milikku. Tapi lihatlah hasilnya. Hakim memutuskan harta gono-gini mereka dibagi dua. Dua. Setengah dari semua yang ia bangun dengan kerja kerasnya sendiri jatuh ke tangan Arman begitu saja. Bahkan rumah yang dulu mereka beli bersama pun tetap menjadi milik lelaki itu. Padahal ia tahu pasti, gaji Arman sebagai dosen di politeknik tidak besar. Nayla masih ingat bagaimana dulu mereka harus berhemat di tahun pertama pernikahan, bagaimana ia mengorbankan banyak hal untuk membangun bisnisnya agar keuangan mereka lebih stabil. Tapi sekarang? Arman mendapatkan rumah, mendapatkan separuh aset mereka, dan tetap keluar dari pernikahan ini tanpa kehilangan apa-apa. Sementara Nayla? Ia kehilangan suami, rumah, dan harga dirinya di mata keluarga Arman. Tiba-tiba ponselnya bergetar di dalam tas tangan. Dengan gerakan malas, ia meraihnya dan melihat nama yang tertera di layar. Luna. Ia mengusap wajahnya sebentar sebelum akhirnya mengangkat panggilan itu. "Hallo?" suaranya serak, mungkin karena menangis terlalu banyak hari ini. "Kamu di mana sekarang?" suara Luna terdengar tajam di seberang. Ada kemarahan yang jelas dalam nada bicaranya. "Di mobil. Baru keluar dari pengadilan," jawab Nayla pelan. Luna mendengus kesal. "Kamu terlalu baik, Nay. Harusnya marah lah! Memangnya si Arman itu gede gajinya apa? Dia aja cuma dosen di politeknik itu. Aku dengar gajinya juga gak seberapa. Gimana ceritanya harta kalian dibagi dua? Terus rumah juga dia yang ambil. Apa dia gak malu?" Nayla menatap kosong ke luar jendela, membiarkan kata-kata Luna mengalir ke telinganya. Ia tahu sahabatnya itu kesal, dan jujur saja, ada bagian dari dirinya yang juga merasa sama. Ia harusnya marah. Ia harusnya berjuang lebih keras. Ia harusnya tidak membiarkan semuanya begitu saja. Tapi untuk apa? Semua ini sudah terjadi. Putusan sudah diambil. Ia sudah terlalu lelah bertengkar, terlalu lelah memperjuangkan sesuatu yang akhirnya hanya membuatnya semakin sakit hati. Nayla mengusap matanya yang mulai terasa panas lagi. "Aku capek, Lun," katanya akhirnya. "Aku cuma mau semuanya selesai. Aku gak mau lagi urusan sama Arman atau keluarganya." Luna terdiam sejenak di seberang sana sebelum akhirnya mendesah panjang. "Ya Tuhan, Nay. Aku ngerti perasaan kamu, tapi aku gak bisa terima aja. Kamu yang banting tulang buat bisnis, kamu yang bawa banyak pemasukan buat kalian, tapi dia yang enak-enakan ambil setengahnya? Itu gak adil!" Nayla tersenyum miris. Iya, aku tahu itu. Tapi apa yang bisa ia lakukan sekarang? Ia bisa saja mengajukan banding, bisa saja memerkarakan ulang pembagian harta itu. Tapi semua itu butuh waktu, tenaga, dan emosi yang sudah tidak ingin ia buang lagi. Ia ingin mulai hidup baru, ingin meninggalkan semua kepahitan ini di belakang. Rumah itu? Harta itu? Biar saja. Ia masih memiliki bisnisnya, masih punya tempat untuk pulang. Ia mungkin kehilangan banyak hal, tapi ia masih punya dirinya sendiri. Dan itu cukup. Setidaknya, ia ingin percaya bahwa itu cukup. Luna menghela napas lagi. Kali ini lebih panjang, lebih pasrah. "Kamu mau ke mana sekarang?" "Ke rumah lama," jawab Nayla pelan. "Rumah orang tuaku." "Bagus," sahut Luna cepat. "Setidaknya kamu gak sampai harus nyari tempat baru. Aku bakal ke sana malam ini. Kamu gak usah masak atau apa, aku bawa makanan." Nayla ingin menolak, ingin mengatakan bahwa ia baik-baik saja dan tidak butuh siapa-siapa malam ini. Tapi ia tahu itu bohong. Ia tidak baik-baik saja. Ia diam sejenak, lalu mengangguk, meskipun Luna tidak bisa melihatnya. "Oke. Makasih, Lun." "Udah lah. Aku gak bakal ninggalin kamu sendirian di saat begini," kata Luna dengan nada lembut. Panggilan pun berakhir. Nayla menurunkan ponselnya ke pangkuan, menghela napas panjang. Pandangannya kembali mengarah ke luar jendela. Matahari sudah mulai condong ke barat, langit berubah menjadi semburat oranye yang indah. Tapi hatinya masih kelabu. Pak Yusuf melirik dari kaca spion tengah. "Mau langsung ke rumah, Bu Nayla?" tanyanya hati-hati. Nayla mengangguk lemah. "Iya, Pak Yusuf. Pulang saja." Supir itu tidak banyak bertanya lagi. Mobil pun melaju tenang di antara hiruk-pikuk jalanan sore. Perlahan, Nayla menutup matanya, mencoba meredakan kelelahan yang terasa begitu pekat. Ia tahu, kepulangannya ke rumah lama akan terasa berbeda. Dulu, rumah itu penuh dengan suara kedua orang tuanya, penuh kehangatan dan kasih sayang. Tapi kini, rumah itu hanyalah tempat kosong yang menunggu untuk dihidupkan kembali. Dan di sanalah ia akan memulai semuanya dari awal. Tanpa Arman. Tanpa tekanan. Hanya dirinya sendiri, dan masa depan yang masih harus ia perjuangkan. ***

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Tentang Cinta Kita

read
212.4K
bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
152.0K
bc

Papa, Tolong Bawa Mama Pulang ke Rumah!

read
4.3K
bc

My husband (Ex) bad boy (BAHASA INDONESIA)

read
292.7K
bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
168.1K
bc

Ketika Istriku Berubah Dingin

read
3.3K
bc

TERNODA

read
192.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook