Bab 3: Firman Dan Sintia

1100 Words
Harum, Sintia dan Firman adalah teman sejak sekolah dasar, hingga kini Firman dan Sintia kuliah di universitas dan jurusan yang sama, sedangkan Harum sendiri hanya tamatan SMA, karena tak memiliki biaya untuk kuliah. Setelah lulus SMA Harum bekerja sebagai buruh di pabrik garmen, dengan gaji pas- pasan, maka dari itu pantaskah dia bersanding dengan Firman yang akan menjadi sarjana saat lulus nanti "Apapun yang di katakan orang kamu acuhkan saja, jangan peduli." Harum beranjak membawa pakaian yang sudah dia lipat dengan rapi. "Cepetan tidur, udah malem!" katanya pada Soleh. Soleh hanya bergumam lalu mematikan tv dan memasuki kamarnya. Di dalam kamar Harum termenung menatap fotonya yang sedang di rangkul Firman masih dengan mengenakan seragam SMA. Foto itu di ambil dua tahun lalu saat mereka lulus, seragam yang mereka kenakan bahkan penuh coretan kenangan. Tangan Harum bergerak membuka ponselnya dan mencari nomer Firman, beberapa saat menunggu Harum tak mendapat jawaban, hingga terdengar suara seorang wanita di sebrang sana. "Hallo?" Harum tercenung, ini sudah malam, kenapa ponsel Firman ada di tangan Sintia? Jika di siang hari masih masuk akal sebab keduanya kerap mengerjakan tugas kuliah bersama. Tapi, ini sudah malam. Sedang apa Sintia dan Firman. "Harum ..." "Rum?" "Eh, Iya." beberapa kali terdengar Sintia memanggilnya, namun Harum hanya melamun. "Kamu mau bicara sama Firman?" Jelas karena ini nomer Firman, karena tidak mungkin Harum menghubungi Sintia lewat nomer Firman. "Iya, Firman nya ada?" kenapa Harun seperti sedang meminta izin untuk bicara dengan Firman. "Ada lah, Tapi Firman nya lagi di kamar mandi, eh udah keluar deh ... Man ini harum telepon." terdengar suara Sintia bicara pada Firman, hingga tak lama terdengar suara Firman. "Hai," sapa Firman. "Hai, aku ganggu ya?" kata Harum dengan bibir mengerut masam. "Enggak kok, kita abis makan malem, tapi udah selesai ..." (Kita) kata untuk Firman dan Sintia kan. "Ada apa?" lanjutnya. "Harus ya, aku telepon kalau cuma ada perlu doang?" Firman terkekeh "Ya, enggak. Biasanya juga aku yang telepon duluan." "Terakhir kali kamu nelpon itu satu minggu lalu." "Iya, aku sibuk kuliah." "Sibuk kuliah, tapi masih sempet makan malam." Harum mencibir. Terkadang di merasa hubungannya dengan Firman lebih kaku di banding hubungan Firman dan Sintia. Padahal Harum adalah pacar Firman, sedangkan Sintia hanya seorang sahabat. "Kamu kenapa sih Rum, lagian kan aku udah biasa makan malam sama keluarga Sintia." ya, saking terbiasanya, hingga Harum merasa menjadi orang lain. Keluarga Firman dan Sintia memang kerap mengadakan makan malam bersama sebab rumah mereka yang bersebelahan, terlebih lagi orang tua Firman dan Sintia juga adalah sahabat sejak kecil, bisa di bilang Firman dan Sintia adalah penerus generasi persahabatan mereka. "Kamu tahu gak Man, kadang aku merasa kalau kamu tuh lebih deket sama Sintia di banding aku." "Kok, gitu. Rum, aku lebih deket sama Sintia karena rumah kita emang deket dan keluarga kita juga bersahabat. Maksud kamu apa ngomong gitu? Kamu gak nuduh aku macem- macem sama Sintia kan?" "Bukan gitu Man." "Stop berpikiran macam- macam deh Rum, aneh banget deh kamu nih-" Firman mengerutkan keningnya saat tak terdengar suara Harum. "Harum?" Harum tak lagi bicara, dan memilih mematikan teleponnya, dia sudah cukup kesal hari ini, dan tidak ingin membuat hatinya semakin tak menentu. Firman benar harusnya dia tak berpikir yang tidak- tidak mengenai Firman dan Sintia, sebab Sintia adalah sahabatnya juga. Di sebrang sana Firman mengeryit saat tak mendengar lagi suara Harum. "Harum?" Firman melihat ponselnya yang ternyata sudah mati "Kok di matiin sih," keluhnya. "Kenapa Man?" tanya Sintia. "Gak tahu, tiba- tiba marah, gak jelas benget." Sintia mengangguk "Paling besok juga baik lagi, gak usah di pikirin." Sintia menepuk tangan Firman. "Ya, masa cuma karena kita makan malam dia ngambek sih, padahal udah biasa kan?" Sintia tersenyum "Aku rasa kamu terlalu banyak ngalah deh sama Harum," Firman mengerutkan keningnya "Maksud kamu?" "Maksudku, kalau Harum beneran cinta, harusnya dia bisa menerima kebiasaan kamu, dan lagi kita emang udah biasa, rutin juga kan makan malam keluarga. Jadi harusnya dia mengerti itu," ucap Sintia. Firman mengangguk "Kamu bener, jadi gimana?" "Sekali- kali gertak aja, siapa tahu dia takut dan gak akan larang- larang lagi." "Oke, boleh di coba." Sintia tersenyum saat Firman menyetujui usulannya. Sintia mungkin selama ini mendukung hubungan antara Firman dan Harum. Tapi, di belakang dia kerap merasa cemburu dengan hubungan keduanya yang menurutnya tak cocok satu sama lain. Tentu saja karena Firman lebih cocok untuknya, sebab mereka sama- sama berasal dari keluarga yang jauh di atas Harum yang hanya seorang anak dari buruh tani. Pria yang kini sudah sakit- sakitan hingga Harum terpaksa putus sekolah dan bekerja sebagai buruh di pabrik garmen, untuk menggantikan posisi tulang punggung keluarga, dengan gaji yang tak seberapa itu, Harum tentu saja tak bisa menyaingi kelas atas seperti mereka. *** Di pagi hari Harum menerima panggilan dari Sintia, dan Sintia memintanya untuk datang ke rumahnya untuk merayakan ulang tahunnya. Jadi sepulang bekerja Harum datang masih dengan mengenakan seragam pabriknya, tapi yang tak Harum sangka saat dia tiba, ternyata banyak tamu yang datang, padahal Sintia bilang ini hanya acara sederhana yang akan di hadiri keluarga inti, dan tentu saja Harum dan Firman sebagai sahabatnya. Jadi, saat ini Harum hanya bisa melihat dirinya yang hanya mengenakan seragam pabrik garmen yang tertutup jaket. Tak ingin Sintia menunggu lama, Harum bergegas datang, karena sejak satu jam lalu Sintia terus menerornya lewat pesan agar dia tidak lupa untuk datang. Meski tidak memiliki gaun yang mahal untuk dia kenakan seperti para tamu Sintia, setidaknya Harum bisa menggunakan pakaian yang cukup rapi jika dia tahu. Harum berbalik hendak pulang lebih dulu dan berganti pakaian, namun, tiba- tiba seseorang memanggilnya. "Harum?" Harum menoleh dan mendapati Sintia, tersenyum cantik dengan gaun merah maron melekat di tubuhnya, membuat Sintia nampak anggun dan elegan. "Kamu udah dateng, ayo masuk," ajaknya. Tapi Harum justru bergeming. "Kok diem sih Rum, ayo!" "Kenapa kamu gak bilang kalau pestanya meriah begini." Sintia terkekeh "Ya, ampun, ini biasa aja kali Rum." Sintia mengibaskan tangannya "Lagian, aku sengaja gak bilang, takutnya malah ngerepotin kamu." Harum mengerutkan keningnya "Merepotkan? Bukannya dengan aku datang kayak gini malah malu- maluin ya?" Sintia menggandeng tangan Harum "Kata siapa? Siapa yang berani bikin sahabatku malu, biar aku yang kasih pelajaran nanti." Harum melepaskan tangan Sintia "Gak deh Sin, aku datang lagi nanti, lagian gak enak sama orang lain, kesannya aku gak sopan banget, datang dengan pakaian kaya gini." "Kok gitu sih Rum, kamu sahabatku, kedatangan kamu penting buat aku, aku gak peduli penampilan kamu." Harum menghela nafasnya saat Sintia menampakkan wajah sedih "Seenggaknya temenin aku tiup lilin dulu, Rum." "Oke, tapi aku gak bisa lama." Sintia kembali tersenyum dan dengan semangat kembali menggandeng tangan Harum "Setuju, ayo!" saat Harum memalingkan wajahnya senyum Sintia berubah menjadi seringaian licik.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD