Bab 5: Simbiosis Mutualisme

1141 Words
Harum mengusap air matanya sebelum masuk ke dalam rumah, dia tak ingin bapaknya khawatir karena melihatnya menangis. Harum menggerakan bibirnya lalu tersenyum "Assalamualaikum," ucapnya saat membuka pintu. "Waalaikumsalam ," terdengar jawaban dari bapaknya dan ... "Eh ada mas Jeki?" Harum menyalami bapak, dan tersenyum ke arah Jeki. "Iya, Jeki mau tanya soal lamaran Juragan Abi." Harum tertegun "Tapi tenang aja, bapak sudah jelasin sama Jeki, kalau kamu gak bisa." "Ya, mau bagaimana lagi, kalau kamu gak bisa." meskipun Jeki harus kehilangan mimpinya memiliki setengah empang milik Juragan Abi. "Padahal Juragan Abi sudah siap kalau kamu minta mahar yang tinggi." Harum hanya tersenyum masam. Siapa yang mau menjadi istri ketiga, apalagi dari pria yang sudah paruh baya. "Ya, sudah. Aku permisi kalau gitu." Jeki bangkit di ikuti bapak dan Harum. Baru saja mencapai pintu Jeki di kejutkan dengan suara benda terjatuh diikuti Harum yang berteriak panik, "Bapak!" *** Jeki membantu Harum untuk membawa bapaknya ke rumah sakit dan segera mendapatkan pertolongan. Harum tahu bapaknya sering batuk. Tapi, tak tahu kalau selama ini bapaknya menderita penyakit TBC. Dan perkataan dokter membuatnya terkejut bukan main. "Harusnya sudah di tangani sejak lama, kalau sudah begini pasien sudah parah." Harum menangis di sudut lorong rumah sakit, Harum tahu bapaknya sengaja menyembunyikan keadaannya, karena takut Harum khawatir dan tentu saja memikirkan biaya yang pasti tidak sedikit untuk mengobatinya. Sekarang bagaimana? Darimana dia akan mendapatkan uang untuk pengobatan bapaknya. "Uang kan?" Harum bangkit berdiri saat mendengar sebuah suara "Pak kades?" "Saya bisa bantu kamu urus bpjs untuk bapak kamu, tapi kamu harus mengakhiri hubungan kamu sama Firman." Harum terkekeh "Di tv- tv, biasanya dapat uang gede pak, kok saya cuma di tawari bpjs, dari pemerintah lagi." Harum ingin terbahak tapi mengingat kondisi bapaknya, sepertinya tidak etis. Pak kades alias bapak Firman tersenyum "Ya, itu saja harusnya membuat kamu sadar, kalau kamu tidak seberharga itu, sampai saya harus mengeluarkan uang banyak." Harum mengangguk "Tapi gak bpjs juga dong pak kades, kalau bapak tidak membantu saya lewat jalan itu artinya bapak tidak amanah dalam bekerja. Tapi, gak papa kok, bapak gak perlu repot, saya juga sudah putus sama Firman anak bapak yang gak amanah ini." Pak kades mencibir "Cih sombong, orang miskin macam kamu itu harusnya jangan banyak gengsi." "Ini bukan soal gengsi, tapi bapak yang seorang kepala desa harusnya lebih peduli pada warganya dibanding menghina." "Saya sampai mikir, siapa sih yang milih bapak sebagai kepala desa, sikap bapak gak mencerminkan pemimpin yang amanah dan dapat di percaya." "Kamu, sama saja kaya bapakmu, sombong munafik!" hardik Pak Kades. Harum mengepalkan tangannya, dia terbiasa dihina tapi, Harum tidak suka kalau orang tercintanya di hina. Tapi, Harum juga tak bisa berbuat apapun, jadi Harum hanya mampu menahan amarahnya dengan air mata yang mengalir. Pak kades memang memiliki dendam pada Bapaknya, Bapaknya pernah bilang kalau dulu Pak kades pernah mendekati Ibunya dan melamarnya, tapi Ibu yang lebih dulu menyukai Bapak menolaknya begitu saja. Mungkin dari sana awal mula pak kades tak menyukainya dan Bapaknya. Satu minggu sudah Bapak Harum di rawat dan dokter sudah memperbolehkan untuk pulang dan menjalani rawat jalan. Tapi, saat ini Harum justru bingung, darimana dia mendapat uang untuk membayar tagihan rumah sakit, sedangkan uang tabungannya yang tak seberapa sudah habis untuk menebus obat selama beberapa hari di rumah sakit. Harum bahkan sudah datang ke rumah paman dan bibinya, tapi nihil, mereka yang juga memiliki keadaan yang sama sepertinya tak memiliki uang sebanyak itu. Jadi, dengan langkah yang coba dia kuatkan Harum datang ke rumah kontrakan Jeki. "Eh, Harum?" Jeki terkejut saat membuka pintu mendapati Harum berdiri dengan gelisah. "Mas Jeki." "Ada apa? Bagaimana keadaan bapak kamu?" tanya Jeki khawatir. "Bapak sudah baikan, Mas. Tapi ..." "Tapi?" tanya Jeki, sebab Harum tak menyelesaikan perkataannya. "Aku datang untuk pinjam uang sama Mas Jeki, buat biaya rawat inap bapak selama beberapa hari ini." Jeki terdiam, lalu dia teringat tentang Juragan Abi yang berkata "Kamu bisa usahakan agar Harum mau menikah denganku, lakukan segala cara!" Saat itu Jeki melaporkan kalau Harum tak bisa menerima lamaran dari Juragan Abi, dan Juragan Abi tak terima dengan jawaban Harum. Tapi siapa sangka hari ini Harum datang, membuatnya tak perlu bekerja keras dan melakukan segala cara untuk membuat Harum setuju. "Aku gak punya uang Rum, gajian masih dua minggu lagi, dan gajiku bulan lalu sudah aku kirimkan ke orang tuaku." "Lagian biaya rumah sakit jalur umum tuh mahal Rum. Mas gak punya uang sebanyak itu, ya, kalau seratus dua ratus sih ada," katanya lagi. Harum menunduk lesu "Tapi, mas tahu cara supaya kamu bisa dapat uang." Harum mendongak dan menatap penuh harap "Menikah dengan Juragan Abi, bukan hanya untuk biaya rumah sakit, kamu juga bisa hidup nyaman setelah menikah." "Bukan hanya kamu, hidup bapak dan adik kamu juga akan terjamin." Jeki terus berusaha meyakinkan Harum. "Juragan Abi, sudah memiliki dua istri Mas Jeki." Harum sungguh tak mau jadi istri ketiga. Jeki menghela nafasnya "Ya, benar. Tapi kalau menikah bukan karena cinta gak perlu jadi pikiran. Gak perlu pikirkan yang lainnya, anggap saja pernikahan ini sebagai simbiosis mutualisme." Harum meremas tangannya gugup. "Tapi, aku ingin menikah dengan pria yang aku cintai." "Siapa? Firman? Gosip kamu di bikin malu di pesta sudah tersebar di kampung ini, dan kamu masih mengharapkan Firman?" Harum tertegun, perkataan Jeki menohoknya. "Lagi pula, siapa tahu setelah menikah kamu juga jatuh cinta pada Juragan, beliau orang yang baik, dan penyayang. Mas yakin asalkan kamu belajar menerima takdirmu." "Ingat saja ini Harum, jika kamu memikirkan cinta, maka kamu harus ingat uang itu lebih berharga, kamu akan lebih di hargai oleh orang lain, apalagi sekelas Juragan Abi, kepala desa pun segan padanya." Harum menegakkan tubuhnya, matanya berkilat penuh amarah mengingat perkataan orang- orang kaya itu, Keluarga Sintia, juga bapak kades dan ibu kades alias orang tua Firman. "Mas Jeki, seberapa banyak kekayaan Juragan Abi?" Jeki nampak berpikir "Aku tak bisa menghitungnya, tapi empang yang ada di desa kita hanya sebesar ini menurutnya." Jeki menyatukan jari telunjuk dan jempolnya. "Dari yang aku dengar kekayaan Juragan Abi, tidak akan habis tujuh turunan." Harum mengangguk, dia juga pernah mendengar itu, tapi dia tak tahu itu benar adanya. "Oh, ya?" bukankah itu berarti harta Juragan Abi jauh di atas keluarga Firman dan Sintia, bukan hanya di atas, tapi jauh, jauh, jauh, jauh di atas keluarga mereka. Jeki mengangguk "Bisakah aku bertemu dulu, dengan Juragan sebelum menyetujuinya?" Harum tahu Juragan Abi sangat sulit untuk di temui karena kesibukannya, itulah mengapa Juragan Abi jarang datang. Jadi, Harum tak pernah tahu sosoknya, bahkan terakhir kali dia hanya melihat wajah berlumpur akibat tercebur empang. Jeki tersenyum senang "Tentu saja, aku akan segera mengabari Juragan." "Tapi sebelum itu, bisakah Mas Jeki pinjami aku uang." Harum nyengir, berharap perkataan Jeki tentang tak punya uang hanya siasat pria itu untuk merayunya agar menyetujui lamaran Juragan Abi. Jeki cemberut "Sudah di bilang gak ada, lihat nanti kalau aku sudah bertemu Juragan, ya!" Harum tak punya pilihan lain, selain mengangguk.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD