Saat melintasi sebuah restoran cepat saji, aku melihat dia bersama beberapa orang yang tidak pernah aku kenal. Mungkin teman-teman kantornya, mengingat hari ini adalah hari efektif dan masih jam kerja bagi pegawai kantoran seperti dia. Dari samping kaca tembus pandang ini, dia melihatku berjalan, lalu mata kami bertemu di satu poros. Detik itu juga, dia beranjak dari kursinya dan berlarian ke arahku. Entah berapa kali dia mendapat dampratan dari orang yang dia senggol demi segera sampai ke tempatku, sedangkan aku diam mematung sejak mata kami bertemu. Detik berikutnya, laki-laki itu sudah berada di hadapanku.
"I miss you so ...." ucapnya dengan napas tersengal dan memelukku dengan begitu erat. Aroma tubuhnya menguar menusuk indra penciumanku. Harum tubuhnya tidak berubah, masih sama sejak terakhir aku memeluknya.
Aku sangat terkejut karena ternyata dia masih merindukanku, setelah apa yang pernah aku lakukan padanya empat tahun yang lalu. Aku tak melakukan pergerakan apa pun dalam pelukannya, entah itu menjawab kata rindunya atau sekadar membalas pelukannya. Dia merenggangkan pelukannya lalu meraba kepala dan seluruh wajahku.
"Kamu nyata 'kan? Aku nggak lagi mimpi 'kan? Jawab aku Janny!"
"Iya aku nyata," ucapku dengan penuh keangkuhan untuk menutupi rasa ketakutan yang kini sedang beradu dengan paru-paruku untuk mendapatkan oksigen. Aku takut bila dia bertanya banyak hal yang belum aku siapkan jawabannya.
Tuhan, aku begitu ingin balas memeluknya. Bila perlua aku juga akan menciuminya, tak peduli ini tempat umum dan aksiku nanti disaksikan ratusan pasang mata. Namun, gengsi, ego dan ketakutan tak bertuanku mengalahkan rasa rindu yang membuncah di d**a dan membuatku masih bergeming dengan tetap menatap penuh kerinduan pada kedua matanya. Mata teduh yang selalu bisa membuat tiap detik di hidupku merasa jatuh cinta padanya. Hanya nama pria itu yang selalu memenuhi ruang hatiku selama hampir lima tahun ini.
Belum sempat aku mengucapkan sepatah kata pun, seorang laki-laki lain menghampirinya dan mereka terlibat pembicaraan serius beberapa saat. Hal tersebut membuatku segera mengambil kesempatan ini, mengambil langkah seribu dari hadapannya. Maafkan, aku memang rindu, tapi aku belum siap bertemu denganmu hari ini. Mungkin suatu hari nanti. Hatiku begitu perih saat aku harus memilih meninggalkannya sekali lagi.
♡♡♡
Sore ini, gue melakukan closing untuk perjanjian ekspor dengan calon klien dari Kuala Lumpur dan menyelesaikan sisa pekerjaan sahabat gue yang sempat terbengkalai waktu Ayah mertuanya meninggal dunia. Cuma dengan cara begini gue mencoba membantu meringankan beban sahabat gue. Saat ini gue nggak sendiri. Ada teman kantor dan asisten gue juga ikut. Setelah closing selesai, gue mentraktir Cindy dan Danu makan di restoran yang ada di sekitar mall dekat hotel tempat stockholder Kuala Lumpur tadi menginap.
Dasar mata gue memang dari dulu suka jelalatan. Kalau sudah nge-mall gini, gue selalu nggak bisa fokus sama teman bicara gue. Dulu, ada seseorang yang sering protes dan menjewer telinga gue kalau mata gue ke sana kemari waktu dia sedang mengajak mengobrol, tapi gue-nya nggak nyambung. Dan saat ini, tiba-tiba gue mensyukuri kebiasaan menyebalkan gue yang satu itu. Dari kaca pembatas ini, gue melihat perempuan yang sudah hampir lima tahun ini membuat gue hampir gila karena merindukannya. Dia melintasi kaca pembatas tembus pandang ini, berjalan seperti biasa, kepala tegak, dagu sedikit terangkat, dan mata menatap pada satu titik. Satu keahliannya yang kadang nggak dimiliki perempuan lain. Meski mata menatap lurus ke depan, dia bisa melihat dengan jelas sekitarnya hanya dengan melalui ekor matanya. Gue nggak paham juga kenapa bisa begitu. Apa memang semua perempuan Bali punya keahlian seperti dia. Belum lagi kalau dia sedang melirik sadis, mistis banget tatapannya seperti penari Bali.
Dia berhenti tepat di samping meja tempat gue dan teman-teman kantor sedang makan. Dia pasti tahu keberadaan gue dari sudut matanya. Terbukti dia berhenti melanjutkan langkah demi membiarkan gue berlarian menuju ke tempatnya. Gue sama sekali nggak peduli ini tempat umum. Gue bahkan nggak sakit hati dengan makian dan umpatan orang-orang yang nggak sengaja gue senggol, juga pandangan nista pengunjung mall. Satu hal yang bikin gue sakit, dia sama sekali nggak membalas pelukan gue. Bahkan saat gue menatap matanya, dia hanya menatap gue dengan pandangan datar dan kosong.
Danu menginterupsi acara kangen-kangenan gue karena ada hal penting yang harus disampaikan ke gue. Saat gue berbalik untuk melihat keberadaannya, detik itu juga dia menghilang lagi dan lagi dari hadapan gue. Gue hanya bisa menertawakan diri gue sendiri karena dengan mudahnya melepas kesempatan emas untuk bisa bertemu dia. But, no excuse buat gue harus kehilangan dia sekali lagi. Gue sudah bertekad untuk nggak akan pernah melepaskan dia begitu saja seperti dulu.