Lima

1042 Words
Misha menegak air putih yang diberikan Nina hingga tandas. Tubuhnya masih gemetar, meski tak separah sebelumnya. Air matanya pun masih terus berlinang, kejadian malam tadi benar-benar membuatnya tak bisa berpikir. Takut dan sakit, itu yang ia rasakan saat ini.   "Terimakasih, Nin." Hanya itu kata yang terucap dari bibir mungil Misha yang terlihat pucat. Manik biru lautnya menatap kosong ke arah depan. Usapan di punggungnya menyadarkan dirinya dari lamunan. Misha menoleh ke sampingnya dan ternyata Nina masih setia duduk di sisinya sambil tersenyum ke arahnya.   "Kamu baik-baik saja. Jangan khawatir, ada aku yang siap menjadi temanmu. Kalau kamu belum siap untuk bercerita, Kamu bisa menceritakan semuanya nanti. Setelah kamu siap." Nina menatap lembut Misha.   Bibir pucat Misha sedikit terangkat membentuk senyuman. "Terimakasih." Lagi, Misha hanya mengatakan itu. Misha beranjak dari duduknya dia membereskan rambut dan juga pakaiannya. Dia masih tersenyum pada Nina. Dia harus segera pulang karena dia baru ingat ponsel dan tasnya yang disimpan di privat room. Lusi sudah pasti mencarinya ke rumahnya.   "Kamu mau ke mana?" Nina mendongak melihat Misha yang sudah berdiri.   "Aku harus segera pulang, Lusi pasti mencariku karena aku tiba-tiba hilang dipestanya. Terimakasih, Nina. Setelah aku benar-benar siap, baru aku akan menceritakan semuanya padamu." Misha benar-benar pandai menutupi kesakitannya. Dia pandai memakai topengnya, dia pandai membalut lukanya dengan sebuah senyuman.   Dan sekarang, dia pun harus menambah kadar pulasan topengnya. Dia harus benar-benar membungkus rapat kehancurannya. Mungkin sebelum malam tadi dia sudah hancurdan setelah malam tadi, dia lebih dari hancur. Tidak tertolong.   Dahi Nina mengerut dalam, menangkap kejanggalan dari senyuman yang Misha tampilkan. Misha tadi sangat kacau, lalutiba-tiba Misha bisa tersenyum lagi, meski belum seperti biasanya.   "Misha_"   "Bisa tolong pesankan taksi untukku? Aku harus segera pulang." Manik biru lautnya menatap Nina kosong.   Nina hanya bisa menganggukkan kepalanya. Dia tidak bisa ikut campur lebih jauh dengan masalah Misha. Nina meraih ponselnya membuka aplikasi, memesankan taksi yang diminta Misha.   "Sudah, taksinya akan datang kurang dari dua menit lagi."   Misha menganggukkan kepalanya paham. "Satu lagi, aku membutuhkan sandal."   "Baik."   Tidak lama Nina datang bersamaan dengan suara klakson mobil terdengar. Misha mengenakan sandal Nina yang kebesaran, dia memeluk Nina sambil mengucapkan kata terimakasih. Kemudian berjalan keluar rumah kecil itu. Taksi sudah menunggu di depan rumah Nina.   Misha melambaikan tangannya pada Nina sebelum masuk ke mobil. Setelah masuk mobil, Misha menyandarkan punggungnya pada sandaran jok mobil. Air mata Misha kembali mengalir deras. Misha memejamkan matanya lelah.   Dalam hati ia bertanya-tanya. Kenapa Tuhan selalu menyiksanya? Kenapa ia selalu dalam titik penderitaan yang tak terlihat? Topeng mana lagi yang harus ia gunakan untuk menutupi kehancurannya yang sekarang?   Tak terasa, mobil sudah sampai di depan gerbang rumah besar nan mewah itu. Misha merogoh saku dressnya yang terselip uang pas untuk membayar ongkos taksi. Misha keluar dari mobil, melangkah mendekati gerbang menunjukkan wajahnya. Otomatis gerbang terbuka, Misha berjalan masuk dengan langkah gontai.   Dia mengabaikan beberapa Satpam dan pelayan yang menunduk hormat padanya. Jika biasanya Misha akan tersenyum sambil berbasa-basi, kali ini pandangan dan langkah Misha hanya lurus ke depan.   Sampai di depan pintu rumahnya, pelayan membuka pintu tanpa harus Misha menekan bel terlebih dahulu.   "Nona,ada Nona Lusi menunggu-"   Misha tak menggubris ucapan pelayan itu. Dia memilih terus berjalan menuju kamarnya yang terletak dekat ruang keluarga. Rumah mewah itu seperti rumah yang mati. Dan Misha-lah yang selalu membuat rumah itu berwarna.   Misha masuk ke kamar, membanting pintu kamarnya sekeras mungkin. Dia mengunci pintu kamar lalu berlari menuju ranjangnya. Misha kembali menangis, meraung, menjerit meratapi nasibnya. Tangannya meremas bedcover, Misha melempar semua benda yang ada di atas ranjangnya. Misha semakin menjadi, semua emosi yang bersarang di dadanya ia keluarkan. Semua kemarahan yang selama ini ia pendam, ia luapkan.   Perlahan tubuh Misha merosot, memeluk dirinya sendiri. "Nenek, Aku sudah tidak suci lagi. Pria asing itu mendatangkan bencana. Nenek, aku ingin memelukmu..."   Dan inilah Misha sesungguhnya. Dia tampak kuat di luar, tapi di dalam dia sangat rapuh. Dia ceria di luar, tapi di dalamnya, dia sangatlah gelap. Semua hanya kepalsuan yang Misha tunjukan, dia hanya gadis lemah yang tak tahu arah. Dan sekarang, dia semakin tak tahu ke mana dia akan melangkah. Dia hanya tinggal menunggusampai mana kehancuran itu menyeretnya. Karena setiap hubungan intim terjadi, kemungkinan besar, benih itu akan hadir. Itu yang membuat pikiran Misha semakin kalut dan tak henti-hentinya menangis. Masa depan suram yang menantinya.   ***   Alric mengepulkan asap dari rokok yang ia hisap. Pikirannya benar-benar di serang rasa bersalah. Hatinya terus meneriaki kelakuan setannya.   Alric berdiri tenang di balkon apartemennya. Lebam di pelipisnya terlihat jelas, bekas pukulan dan tamparan yang gadis itu hadiahkan. Itu tidak seberapa, untung saja tadi pagi gadis itu tidak melihat benda tajam. Jika melihat, sudah dipastikan nyawanya melayang.   Akal sehatnya sudah kembalidan betapa mengejutkan akal sehatnya, dia baru sadar jika semalam tidak ada pengaman yang menghalangi pembuahan.   Itu yang membuat Alric semakin merutuki perbuatan sialannya. Pertama, dia sudah menghancurkan gadis itu. Dan kedua, dia akan mendatangkan kehancuran yang lainnya. Namun, mengingat jika dia tidak subur. Kemungkinan besar jika pembuahan itu tidak akan terjadi. Sedikit helaan napas lega lolos dari bibir hitam tebalnya.   Terlalu fokus dengan kejadian semalam, membuatnya tidak sadar ada yang masuk ke apartemennya. Dan tiba-tiba ada lengan putih mulusmelingkari pinggulnya memeluknya dari belakang. Dia juga merasakan hembusan napas dari dekat tengkuknya.Alric menoleh, tersenyum tipis melihat siapa yang memeluknya.   "Kenapa tidak dijawab saat aku menghubungimu?" Suara cempreng wanita itu terdengar sebal.   Alric terkekeh pelan, mematikan rokoknya, lalu berbalik sehingga lengan wanita itu berganti memeluknya dari depan, kemudian menyandarkan kepalanya di d**a bidang Alric. "Kau menghubungiku?" Alric balik bertanya. Sedangkan wanita itu menganggukkan kepalanya. "Maaf, aku lupa di mana menyimpan ponselku," ucapnya dengan tatapan merasa bersalah.   "Hem... Kau malam juga menghilang begitu saja. Lusi marah-marah padaku, karena kau dan adik kecilku menghilang di tengah-tengah acara. Apa kalian janjian untuk menghilang bersama?"   Adik kecil? Tenggorokan Alric terasa tercekat. Ingatan Alric kembali ditarik pada kejadian semalam. Alric mengingat jelas bagaimana gadis kecil itu memelas padanya. Alric mengepalkan kedua tangannya. Dia benar-benar berengsek!   "Aku lupa, karena Lusi terus mencekokiku dengan arak sampai aku mabuk berat," sahutnya berusaha bersikap santai. "Bukannya hari ini kita harus melakukan fitting, Alise?"   "Hem, makanya aku datang ke mari untuk menjemputmu."   Iya, wanita ramping berambut pirang itu adalah Alise. Wanita yang akan menjadi istrinya dalam kurun waktu dua minggu lagi. Alric berharap, jika gadis yang ia perkosa tidak mengandung benihnya. Alric sangat berharap itu.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD