Deanisa
Gak benar, baik adik atau abang sama saja. Yang adik selalu mengejek seseorang karena kekurangan orang tersebut dan si abang lebih parah karena mengejek agamanya sendiri.
Bayangkan, seorang anak dari ustadz ternama bisa berbicara masalah poliandri dan gak masalah kata dia. Ya Allah ... dimana iman islamnya.
"Kalau kamu seorang istri rela mengizinkan suami kamu poligami maka saya seorang suami rela mengizinkan istri saya poliandri."
Rasanya aku ingin sekali menampar wajahnya saat itu. Jika dia tidak tahu agama mungkin aku harap maklum.
"Cha, Icha --"
Aku berhenti melangkah sebelum menaiki tangga dan berbalik menatap suamiku yang mengejarku dari belakang. Aku pikir dia masih berlama-lama disana untuk melihat kekasih hatinya yang cantik itu.
"Apalagi mas?"
"Jangan marah, kita hanya berdebat."
"Gak bisa dianggap enteng loh mas, justru karena berdebat itulah aku berusaha membuka pikiran kalian tentang hal itu."
"Ok, aku tahu tetapi ... kita bisa bicarakan dengan kepala dingin. Kamu gak mau, ya sudah, selesai 'kan."
Napasku turun naik karena kesal, memperhatikannya yang merasa tidak bersalah, mungkin dia pikir biasa saja ... seperti gimmick atau yah ... obrolan gak penting tetapi bagi aku itu pelecehan moral.
"Apa mas akan melakukan sesuatu yang lain jika aku tidak ingin pertukaran itu."
"Tergantung apa maunya hati karena jujur saja, saya tidak bisa tanpa dia."
Hatiku sakit, sangat sakit mendengar secara langsung suamiku yang mengagungkan wanita itu.
Aku berbalik badan dan langsung berlari menaiki tangga, masuk dalam kamar lalu menguncinya.
Rumah ini mempunyai banyak kamar jadi tidak masalah jika dia tidur di kamar lain karena aku ingin sendiri.
Melihat wajahnya semakin membuat aku kesal. Apalagi niatnya yang membuat kepalaku berasap.
Aku duduk termenung menatap senja dari dalam kamar hingga tidak terasa suara adzan berkumandang dan aku harus menunaikan kewajibanku sebagai seorang muslim.
Setelah selesai, rasanya aku malas untuk beranjak bangun. Tetapi Umi selalu berpesan bahwa sebagai wanita yang sudah bersuami wajib untuk melayani semua kebutuhan suami meskipun dia lelah kecuali sakit yang tak bisa untuk bangun menopang tubuh.
Ikhlas ... ikhlas Icha --
Aku menyemangati diriku sendiri tapi kata-kata suamiku terus bergema berulang kali diotak kecilku. Aku keluar kamar dan langsung menuruni tangga berjalan menuju dapur, ternyata makanan sudah siap tinggal disajikan.
"Sudah jadi semua Mbok?" tanyaku pada wanita paruh baya ini yang terlihat cekatan membersihkan meja yang berantakan sisa makanan.
"Sudah Bu," jawabnya sambil tertunduk.
"Ih jangan panggil ibu, panggil Icha saja." Karena aku merasa panggilan 'Ibu' itu membedakan derajat seseorang. Dia yang jauh lebih tua dariku gak harusnya menghormati aku seperti itu.
"Duh gak bisa, itu gak sopan Bu."
"Ya sudah mbak saja ... gak apa, " pintaku karena kata 'Mbak' bisa digunakan oleh siapa saja, baik orang asing atau pun keluarga sendiri.
Aku mengangkat makanan tersebut untuk di bawa ke atas meja makan dibantu dengan si Mbok sambil mendengar dia bercerita.
"Mas Qienan makan malam jam 7 Mbak, jadi sekarang belum bisa langsung makan."
"Oh, gitu ya Mbok ... jadi nanti dia bakal keluar tanpa disuruh makan."
"Iya Mbak Icha, Mas Qienan pasti makan di jam 7 malam walaupun sedikit."
Aku menganggukan kepala, salah satu kebiasaannya aku harus tahu dan meskipun nanti dia tidak peduli.
"Mbak di dalam rumah masih pakai hijab ya ... gak gerah?"
Aku menggeleng dan tersenyum, "Sudah terbiasa pas sekolah di Mesir harus menggunakan hijab terus karena tinggal di asrama jadi sekarang gak masalah Mbok."
Untungnya ada cerita yang bisa membenarkan alasanku karena yang sebenarnya adalah dia yang menyuruhku jangan melepas hijabku. Karena apa, aku pun tidak tahu.
"Mbak menantu pilihan yang terbaik, gak seperti pacarnya mas Qienan yang gak direstui karena terlalu seksi ... auratnya diumbar kemana-mana."
Aku menghela napas, apakah suamiku memang suka dengan tipe wanita seperti itu. Wanita idaman semua pria dan dipuja-puji setinggi langit karena kecantikannya padahal seharusnya kecantikan seorang wanita hanya khusus untuk suaminya.
Setengah jam telah berlalu dan benar saja, dia keluar dari kamar sebelahku. Menuruni tangga dan berjalan menuju meja makan ini. Tatapan matanya santai seperti ingin mengajak aku berteman.
"Mas, mau diambilin," tawarku yang sedang menyendok nasi untuk masuk ke piringnya dan ternyata dia menyodorkan piring ke arahku.
"Sedikit saja?"
"Diet?" tanyaku mau tahu tapi dia menggeleng.
"Mau makan di luar," jawabnya.
Otakku mulai suudzon berpikir jika dia mungkin janjian makan malam dengan istri tetangga kami kekasihnya itu, lalu dia berkata lagi.
"Sama Alba dan Rizal temanku."
Ya Allah maafkan hamba yang telah berprasangka buruk pada suamiku.
"Gak usah nunggu, kalau ngantuk langsung tidur saja ... aku punya kunci sendiri."
Huh! Terima kasih aku tidak dijadikan satpam tetapi mana mungkin aku bisa tidur nyenyak jika dia masih berkeliaran di luar.
Dia makan dengan cepat lalu pamitan pergi meninggalkan aku yang masih menyendokkan nasi ke dalam mulut perlahan-lahan, berharap ada obrolan ringan yang lebih baik dan bermutu tetapi dia malah seperti orang bisulan yang tidak bisa duduk lama.
"Pergi dulu ya."
"Iya, mas ... hati-hati."
Tidak ada cium tangan, kening, pipi ah ... apalagi bibir. Padahal aku ingin tahu bagaimana rasanya jika bibir kami bertemu dan ini menyedihkan.
"Yang sabar ya Mbak, cinta gak bisa dipaksakan tetapi perlu diperjuangkan," kata si Mbok.
Aku mengangguk saja karena berjuang itu perlu tenaga apalagi lawanku begitu tangguh, di atas aku.
Lebih baik aku menonton film perang karena aku ingin sekali berperang dengan senjata benaran untuk menumbangkan lawan-lawanku.
Astagfirullah ... sabar Icha ... sabar!
***
Pagi telah tiba dan suamiku tidak lagi tidur sekamar denganku apa karena dia tahu diri kalau aku marah tetapi seharusnya dia meminta maaf bukan?
Saat aku ke meja makan yang ada di atas meja hanya s**u 2 gelas dan telur rebus 8 biji.
"Mbak, mau sarapan apa? Mbok buatkan."
"Roti aja Mbok, ada selai gak?"
"Ada, tunggu sebentar."
Si Mbok bergegas ambil roti dan beberapa macam selain dalam jar.
"Mbok telur rebus banyak seperti ini untuk apa?"
Tanyaku heran kok banyak amat, aku paling makan 1 biji tapi gak mungkin suamiku makan sebanyak ini.
"Jadwal menu sarapan mas Qienan hari rabu dan jum'at telur rebus dan s**u murni."
Aku mengangguk paham mungkin untuk jaga otot-ototnya yang wow. Kata temanku aku pasti nyenyak tidur diatas lengan suamiku.
Boro-boro nyenyak, pegangan tangannya saja nggak, tidur kayak orang musuhan. Bahkan sekarang se-ranjang saja nggak, ya Allah sampai kapan.
"Kamu sudah sarapan ... mau aku suapin hmm--"
Awalnya jantungku berdetak kencang mendengar dia berkata seperti itu saat turun dari tangga tetapi yang ada senyum aku pudar saat satu tangannya memegang hp yang stanby di telinga.
Ya Allah dia selingkuh di depan mata dan telingaku, kuatkan hambamu ini!