Jangan Pernah Datang Kesini Lagi!

724 Words
Ruang kantor penyidik itu terlihat seperti biasa penuh dengan dokumen berserakan, papan whiteboard dipenuhi diagram kasus, dan suara ketikan komputer yang nyaris konstan. Namun, bagi Reza, suasana tidak pernah terasa lebih berat daripada sekarang. Kematian Faisal telah meninggalkan luka mendalam di timnya. Sebagai ketua penyidik, Reza tahu betul bahwa rasa kehilangan ini tidak bisa ditunjukkan secara terang-terangan. Dunia tempat mereka bekerja tidak memberi ruang untuk kelemahan. Ada kasus besar yang menunggu diselesaikan, pelaku yang masih berkeliaran, dan nyawa-nyawa yang bisa saja menjadi korban berikutnya. "Lapor Inspektur, ini laporan autopsi terbaru," ujar Tio, salah satu anggota tim. Suaranya terdengar tenang, tetapi matanya tidak bisa menyembunyikan kelelahan yang menyelimuti. Reza menerima laporan itu tanpa berkata banyak. Ia membuka lembar demi lembar dokumen dengan tatapan serius, tetapi pikirannya terusik oleh bayangan Faisal. Rekannya itu selalu berdiri di sebelahnya saat mereka membahas kasus, membuat lelucon ringan untuk meredakan ketegangan atau memberikan perspektif baru yang tak terpikirkan oleh siapa pun. Kini, meja kerja Faisal sudah digantikan oleh penyidik baru. "Saya rasa, pembunuhan kali ini dilakukan oleh orang yang sama dengan pembunuhan 2 minggu yang lalu," ujar Santi. Dia termasuk penyidik termuda. Namun cukup pintar menganalisis. "Luka sayatannya hampir sama walaupun terkesan berantakan," lanjut Santai lagi. "Baiklah. Kita akan rapat untuk membahasnya lebih lanjut." Reza menutup dokumen di tangannya dan mengalihkan perhatian ke layar komputer. Di sana terpampang foto-foto korban terbaru gambar yang cukup mengerikan hingga membuat orang biasa kehilangan nafsu makan. Tetapi bagi tim ini, foto-foto itu sudah menjadi makanan sehari-hari. Reza memperlihatkan bekas-bekas luka di tubuh korban. Kali ini korbannya adalah seorang mahasiswa yang berusia 21 tahun. Reza jadi teringat dengan Shania. Apa dia baik-baik saja? Pesan-pesan yang dikirim oleh Reza tidak dibalas sama sekali. Apa yang harus Reza lakukan? Dia bingung. Baginya menangani kasus besar lebih mudah baginya daripada menangani perempuan. Kini Reza harus masuk ke ruang rapat lebih dulu. Membahas tentang kasus yang tengah mereka tangani. Tim harus mencari tahu apa pelakunya sama dengan pembunuhan sebelumnya atau berbeda. Rapat terjadi dalam kurun waktu yang lama. Hal seperti ini sudah biasa. Pada pukul 12 siang, tim Reza keluar dari ruang rapat. Mereka masih membutuhkan beberapa informasi. Jadi penyelidikan akan terus berlanjut. Reza memutuskan untuk keluar dari gedung yang menjadi tempat kerjanya. Dia bergegas melangkah menuju mobil. Rasa khawatir terhadap Shania tidak bisa dianggap sepele sama sekali. Reza tidak lupa membeli makanan untuk Shania. Bahkan dia juga membeli coklat, kue dan beberapa jajanan lainnya. Reza menekan bel seperti biasa. Satu kali, dua kali, tiga kali sudah ia lakukan namun tidak ada respon dari dalam. Rasa khawatir Reza semakin menjadi-jadi. Dia mulai menelpon Shania. Panggilan masuk tapi tidak ada jawaban. Apa yang terjadi? Haruskah Reza menghubungi pihak keamanan apartemen? Dia kembali menekan bel. Kali ini Reza melakukan berkali-kali seperti orang gila. Tampaknya Reza harus menghubungi pihak keamanan apartemen. Kepalanya dipenuhi hal negatif. Hal yang paling menakutkan adalah ketika Shania memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Tidak...tidak... Reza geleng-geleng kepala. Dia yakin Shania tidak akan melakukan itu. Saat Reza ingin turun ke lantai bawah, tiba-tiba terdengar bunyi pintu terbuka. Reza langsung membalikan badan. Nafasnya tidak beraturan. Benar saja, pintu apartemen Shania terbuka. Reza segera meraih pintu itu agar tidak kembali tertutup. "Apa yang terjadi? Kenapa kamu tidak membuka pintu dari tadi? Aku sudah telpon, kenapa tidak diangkat?" tanya Reza langsung sambil menahan pintu. D Tidak ada respon. Reza memilih masuk meski pemilik rumah belum memberi izin. Dia melihat Shania yang berdiri dengan wajah pucat. "Kamu sakit?" tanyanya dengan suara yang lebih rendah dari sebelumnya. Dia ingin menyentuh Shania, tapi tangan Shania langsung memberi isyarat agar tidak mendekat. "Ada apa?" tanya Shania langsung. Suaranya berubah. Reza yakin jika Shania sedang sakit. "Ayo kita ke rumah sakit." Bukannya menjawab Reza ingin membawa Shania ke rumah sakit. Bahkan saking khawatirnya, ia refleks menarik tangan Shania. "Lepas!" tegas Shania dengan sisa tenaga yang ada. "Aku bilang lepas!" ujar Shania lagi. "Tapi kamu harus ke rumah sakit," balas Reza. Ketegasannya hilang seketika. Apalagi melihat wajah Shania yang tampak seperti mayat hidup. "Aku baik-baik saja. Aku hanya butuh istirahat." Shania berbicara dengan sisa-sisa tenaga yang ada. "Tidak, Shania. Kamu tidak baik-baik saja." Shania memejamkan mata. "Apa yang sebenarnya kakak inginkan?" tanyanya. "Aku hanya ingin membawamu ke rumah sakit." "Aku tidak mau, jadi jangan dipaksa." "Tapi Sha-" "Jangan datang ke rumah ini lagi. Kakak tidak punya hubungan apapun denganku," potong Shania langsung. Mata Reza langsung melotot. "Apa maksudmu, Shania?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD