Namanya Anjani

1444 Words
Owka Pov karena sudah di ujung waktu kelas akan di mulai, aku mengabaikan dulu rasa penasaranku atas pernyataan Iksan yang bilang pernah melihat wanita itu. Kelas training sekitar lima menit lagi akan di mulai, dan memang apesnya aku dan Iksan duduk paling depan, ini gara - gara kami masuk kelas mepet, andai saja ketika datang tadi kami langsung ke kelas pasti akan mendapat tempat duduk yang lebih bagus setidaknya tidak paling depan begini. Tapi ya sudahlah, aku tidak terlalu peduli dengan posisi ini yang aku pedulikan hanya wanita tadi, dia sedang training apa di sini? Lagi pula kalau aku tadi masuk duluan pasti aku tidak akan lihat dia yang mepet juga masuk kelasnya. Pukul setengah sepuluh waktunya coffee break, kalau istirahat begini kami hanya di dalam ruangan kelas saja, sudah disediakan kopi, teh dan berbagai cemilan. "San ke toilet yuk." "Ayo lah, dingin banget nih AC," keluh Iksan. Kami berdua ke toilet, Ikhsan mengajakku ke toilet yang hanya berjarak dua pintu dari kelas kami, tapi aku maunya ke toilet yang dekat lobby, dan yang pasti jaraknya lebih jauh dari ruang kelas kami. "Tumben sih lo ke toilet aja pakai jauh, biasanya yang deket-deket doang," protes Iksan. "Lumayan ngurangin berat badan San, exercise, dari tadi kita duduk doang loh, dua jam kan?." "Dua jam dari mana? Baru juga satu setengah jam kita di kelas." "Aelah tiga puluh menit aja lo itung-itungan sama temen," jawabku lalu meninggalkan Iksan yang akhirnya menyusul juga. Mataku terus mengawasi sekitar, jaga-jaga aja siapa tahu cewek tadi ada juga di sekitar sini. Aku melihat kelasnya, masih tertutup rapat, tapi bukan berarti orangnya tidak keluar juga kan? Tapi hampir sepuluh menit di toilet ternyata sia-sia ... aku tidak menemukannya di manapun dan akhirnya kami kembali ke kelas lagi. "San lo pernah lihat cewek tadi di mana?" Aku akhirnya tidak tahan juga karena penasaran. "Lah itu yang gue lupa Ka, kayaknya gue pernah lihat dia terbang atau pernah terbang bareng gue atau ketemu di mana gitu," tumben Ikhsan menanggapinya serius biasanya kan ngajak gelud terus jawabannya. "Lo kenal sama dia San?" "Ckk ... enggak lah, gue enggak kenal, tapi gue pernah lihat dia, nah masalahnya di mana ya?" Iksan terlihat serius berpikir. " Eh kenapa lo nanya-nanya kepo banget sih? Naksir ya?" tanyanya lagi. "Ckk ... nanya salah, nggak nanya salah. Ya wajarlah kalau gue nanyain cewek, emang nggak boleh gitu?" "Boleh sih, masa nggak .... eh nanti juga kita makan siang ketemu dia di ruang makan, gue samperin ya, ngajak kenalan," "Jangan berani - berani lo ya," ancamku. Belajar dari pengalaman pendekatan Iksan yang selalu gagal di awal, jelas aja aku takut, kalo pake metode dia lalu gagal, kan bisa ikutan garing kisah cintaku kayak dia, mana ini pertama kali untukku. "Ngeri banget jatuh cinta lo Ka. Jangan pake lama dipandang doang, kalo gue bisa lo tahan tapi kan lo nggak bisa nahan orang lain buat maju, apalagi cakep begitu." Aku diam saja, ada betulnya omongan Iksan, tapi kan ini baru dua kali ketemu, gimana kenalannya? Saat jam istirahat makan siang... Aku dan Iksan masuk ke ruang makan, sudah lumayan ramai soalnya tadi Instrukturnya lama menutup kelas. "Masih ada tempat nggak ya?" tanya Iksan. Aku mengedarkan pandangan bukan mencari kursi kosong, tapi mencari sosok yang membuatku penasaran. "Ka di sana aja," tunjuk Iksan, aku mengikutinya saja. "kita ngetag dulu Ka, baru ambil makan." Aku tetap mengikuti ide - ide Iksan saja, Aku susah mikir. "Ka... " "Eh ya, ngambil makanan dulu kan?" "Ckk ... langsung bego, belum kelihatan pujaan hati lo?" "Belum." Kami mengambil makanan secara prasmanan, lalu kembali ke meja yang sudah di tag Iksan tadi. "Apa dia nggak makan di sini San?" "Mau makan di mana lagi, kelasnya belum keluar kali Ka." Aku mengangguk setuju, mungkin benar kata Iksan dia belum keluar. Makanan ku sudah habis, di saat itu lah aku lihat dia masuk ke dalam ruang makan besar ini, sulit aku ceritakan bagaimana perasaanku, aku malah menunduk tidak berani menatapnya. "Eh Ka, dia datang sama temen - temennya tuh." "Iya udah tahu," jawabku cepat. "Beuh gercep. Dia duduk sama temennya Ka, ayo samperin." Aku melirik ke mejanya yang memang tidak jauh dari mejaku dengan Iksan sekarang. Dia duduk berempat, rasanya mustahil aku menghampirinya, berarti kan aku harus kenalan sama semuanya, ah malas banget nggak sih? "Gue hitung sampe sepuluh nih, kalo nggak lo samperin, gue yang nyamperin." "Jangan gila lo ya." Iksan tertawa, nah kan .... ini mode dia ngajak gelud. "Gue mau nanya sama dia, apa gue pernah terbang bareng sama dia." "Lo yakin banget dia kelas re- current? Bukannya itu pramugari baru San?" "Nggak tahu juga sih, tapi kayaknya dia pramugari Ka." Aku melirik lagi untuk memastikan ucapan Iksan. Dari awal saat melihat 'dia', aku juga merasakan kalau dia itu seorang pramugari ... bukan calon pramugari. "Pak kembar, lagi ada kelas initial pramugari ya?" tanya Iksan ke Ob yang akan mengangkat piring kosong kami. "Ada initial, ada expri juga mas," jawabnya. "Kalo mbak - mbak di sana?" tunjuk Iksan. Aku bagai sedang main roller coaster, deg - deg an aja lihat Iksan main tunjuk aja, kalo mereka melihat gimana? "Yang ada mbak Anjani itu? Mereka ekspri mas." "Anjani, yang mana yang namanya Anjani pak? kan mereka berempat." "Itu yang pake blus krem, emangnya nggak pernah ketemu waktu terbang dulu?" tanya pak Kembar. "Nah itu yang saya pikirkan dari tadi, rasanya pernah terbang bareng." "Mungkin aja mas." "Pak kembar!" Ada orang di meja lain yang memanggil pak kembar dan membuat OB itu pamit berlalu dari meja kami. "Ok ... namanya Anjani dan benar ekspri, bagaimana saudara Owka Narendra.... mau mulai dari mana?" Aku hanya diam, aku juga tidak tahu mau mulai dari mana. Sore hari saat kelas berakhir... Tidak terjadi apapun di ruang makan saat makan siang tadi karena posisi Anjani ada di antara teman-temannya. Dan ketika waktunya pulang tadi, aku juga tidak melihatnya dan kelas mereka sudah terbuka alias sudah pulang duluan, memang kelasku tadi terlambat 15 menit keluar, ah sial tidak bisa ketemu lagi. "Udah pulang dia Ka," ucap Iksan, ternyata dia ikut mengamati. "Tapi tenaaang, besok ketemu lagi Ka," tambahnya lagi. " Tapi targetnya kenalan ya ka." "Hmm..." jawabku. * Jani Pov Karena materi hari ini sudah banyak dibahas sebelum makan siang tadi, jadi begitu sesi ke dua materinya selesai lebih cepat, malah lebih banyak tanya jawab saja tadi. Ah seandainya ini besok, aku bisa pulang ke Bandung lebih awal, semoga saja besok bernasib baik juga. Aku tiba di kos - kosan saat maghrib, sepi. Aku langsung mandi karena rasanya d**a ku semakin kencang, sudah waktunya pumping. Setelah mandi dan sholat Magrib aku menompa Asi sambil videocall dengan mama, aku khawatir Bian sudah tidur kalau aku telat menelpon mereka. "Assalamualaikum sayaaang .... ini mama nak," panggilku ke Bian yang sedang menatap kamera. "Ma .... mamam ... mamam," panggilnya. Ya, Bian sudah bisa memanggilku mama walau belum terlalu jelas, dia lebih dulu pintar berjalan dari pada bicara. Ketika masuk usia sepuluh bulan kemari itu, dia sudah bisa melangkah dan sekarang sudah semakin pintar, cuma untuk bicara memang belum banyak kosa katanya, padahal aku dan mama rajin mengajaknya bicara. Kata orang perkembangan anak memang beda - beda. "Udah pulang neng?" "Iya mah, ini lagi mompa Asi." "Alhamdulillah, lebih cepat ya?" "Iya, tadi setengah jam lebih cepat pulangnya. Bian ngapain aja hari ini mah?" "Tadi si Emi datang ke sini sama anaknya. Jadi Bian banyak main sama anaknya yang udah smp itu." Emi yang dimaksud mamaku itu adalah anak saudara jauh mama yang rumahnya di Buah Batu juga tapi masih agak jauhan. "Ooh, apa khabar teh Emi mah?" "Baik, dia tadi cerita, keluarga Nini Bian bikin acara lamaran adiknya Erwin di Sukajadi. Kamu udah tau neng?" "Aku nggak tahu mah." "Ya sudah lah, abaikan saja kalo gitu." "Iya." "Kamu pastikan pulang Sabtu aja ya neng, jangan besok ... mamah nggak mau kalo kamu kemalaman." "Iya mah." "Aa'... panggil mamanya lagi ... mama ... mama.." mama mengajarkan Bian memanggilku lagi. Bian terlihat senang sambil memukul - mukul kasur," Mama ... mamamamam..."panggilnya lagi. "Iya sayang ... ini mama," jawabku sambil pumping Asi buat Bian. "Dewi belum pulang Neng?" "Belum ma, landing besok pagi dia." "Yang lain?" "Aku belum.ngecek Kokom sama Mitri, soalnya aku pas pulang langsung mandi dan sholat, ini d**a udah kencang soalnya." " Owh, abis ini istirahat ya neng, ini Bian mau bobok dulu." "Iya mah." "Aa'... dadah mamanya .... dadah mamaaa..." Bian seperti mengerti bahwa telepon akan berakhir, dia malah mencebikkan bibirnya seperti hendak bersiap untuk menangis." "Eh ... aa' ganteng nggak boleh nangis begitu ... kiss bye mamanya .... yuk," bujuk mamaku Aku mendadak melow melihat anakku begitu. "Udah ah," jawabku dengan airmata yang mulai mengambang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD