03

2598 Words
Hari ini Ela kembali fokus pada niatnya untuk mencari pria yang menidurinya malam itu. Ia sudah benar-benar mantap untuk menemukan pria itu karena kini, hubungan mereka malam itu menjadi sebuah kecebong kecil dalam perutnya. Ia dinyatakan hamil sejak kejadian pingsan dua minggu lalu. Flashback On Ela membuka matanya secara perlahan hingga secercah cahaya masuk kedalam retinanya dan membuat pandangannya menjadi lebih jelas. Tangannya memijat kepalanya yang terasa lebih berat karena berdenyut-denyut. "La, kau ini kenapa malah memaksakan diri" Ela menatap Narisa dengan heran. Narisa sedang berkacak pinggang dan menunjukkan wajah tidak sukanya pada Ela yang masih kebingungan. "Memaksakan diri apa? Tadi tiba-tiba aku merasa mual dan pusing" jelas Ela saat mengingat sebelum ia pingsan. "Iya, aku tau. Kau pusing dan mual-mual karena di dalam perutmu itu ada hasil spermaa pria yang kau cari-cari belakangan ini" "Serius?" tanya Ela sambil membulatkan matanya. Ia meraba perutnya yang masih rata, dengan tatapan tak percaya "Di sini ada nyawa? Ada yang hidup?" "Jadi kau ingin anakmu mati di dalam sana?" tanya Narisa sinis. "Berarti aku harus semakin gigih untuk mencari ayahnya. Kami butuh asupan makan yang bergizi" Narisa menggelengkan kepalanya frustasi, menahan tangannya yang gatal untuk melayangkan ketukan kuat di kepala Ela yang menurutnya menamakan kegilaan "Beruntunglah kalau pria yang menghamilimu itu sudah mapan dan bisa menghidupimu, tapi melihat dia lepas tanggung jawab, rasanya aku sangat meragukan itu" "Aku yakin dia bukan pria brengsekk seperti yang kau katakan. Aku masih ingat jelas bahwa dia mengatakan dirinya belum pernah berpacaran" "Ya ya ya, terserah mu saja. Aku hanya bisa berharap bahwa dia mempertanggungjawabkan perbuatannya" angguk Narisa tak ingin memperpanjang perdebatan dengan Ela. Flashback Off Ela mengedarkan matanya untuk menjelajahi isi club yang saat ini cukup ramai. Kepalanya merasa sedikit pusing mencium aroma alkohol yang menguat begitu ia berselisih jalan dengan beberapa orang. "Eh" Ela menepis tangan yang baru saja menyolek bahunya yang tertutup kardigan. Ia kemudian melangkah cepat dan mendekati bartender. Matanya membulat melihat seorang pria yang ia cari-cari sedang duduk disana sambil meneguk alkohol berulang kali. Dengan langkah cepat, Ela menghampiri pria itu dan memeluknya hingga membuat pria itu terkejut dan menatap Ela dengan bingung. Tangan pria itu berusaha mendorong Ela pelan, namun Ela malah semakin mengeratkan pelukannya "Aku sudah lama mencarimu. Aku butuh pertanggungjawaban untuk anak kita" Pria itu membulatkan mulutnya tak percaya "Anak siapa maksudmu? Kau mungkin salah orang" ujarnya berusaha meyakinkan wanita itu. Ela melepas pelukannya "Aku sungguh-sungguh. Kau membawaku ke hotel dan melakukannya. Kita bertemu di club ini dan saling menggoda" "Aku tidak mengenalmu. Sungguh. Kau pasti salah orang. Mungkin saat itu jauh sangat mabuk hingga tak mengenal orang yang melakukannya padamu" "Tidak. Aku mengingat wajahmu dengan jelas. Wajah itu terlalu tampan untuk dilupakan" ujar Ela. "Kupikir kau benar-benar cemburu pada Dio. Tapi sepertinya aku salah karena kini aku mendengar sendiri bahwa ada wanita hamil yang mengaku bahwa dia melakukannya denganmu" desis seorang wanita dengan tatapan kecewa pada Alva. Ya, pria yang sedang dipeluk Ela itu adalah Alva. Sejak tadi kekasih Alva menatapnya cukup dekat hingga mendengar pembicaraan Alva dan Ela. Alva membulatkan matanya melihat kekasihnya yang baru saja memergokinya, padahal ia sendiri tak tahu apa apa tentang wanita didepannya. Ia saja kaget mendengar ada yang mengaku hamil karena perbuatannya. Alva bukan pemain seperti adiknya. "Ini salah paham, Hil" ujar Alva berusaha menyatakan kebenaran pada Hilda, sang kekasih. "Dengarkan penjelasan ku" ujar Alva dengan tatapan memohon pada Hilda yang memilih meninggalkannya dengan mengantongi kekecewaan. Melihat Alva mengejar wanita lain, Ela langsung mengejarnya untuk terus mendesak pria itu agar bertanggung jawab akan kehamilannya. Ia tak ingin kembali kehilangan jejak karena mencari pria itu sangat sulit baginya. "Bagaimana dengan kehamilanku?" tanyanya. Alva menatap Ela dengan kesal "Aku tidak tahu siapa yang menghamilimu. Aku tidak pernah lagi berhubungan badan sejak putus dengan mantan terakhirku" tegasnya. "Aku benar-benar mengingat mu" ujar Ela dengan lirih. Matanya berkaca-kaca karena kini, ia melihat sendiri bahwa apa yang dikatakan Narisa adalah benar. Pria itu memang tidak bertanggung jawab. Ia jadi berkecil hati mendapat penolakan tersebut. "Hil, please. Aku tidak pernah lagi berhubungan dengan wanita lain. Aku benar-benar cemburu kepadamu dan juga Dio" kesal Alva pada kekasihnya namun masih tetap mencoba menjelaskan. Ia tak ingin hubungannya dengan sang kekasih yang sudah merenggang menjadi semakin jauh. Sudah cukup baginya kecemburuannya pada seorang pria yang dekat dengan Hilda menjadi penghalang diantara mereka, jangan ada lagi wanita lain seperti Ela yang menambahi pertengkaran mereka. Setelah melihat kekasihnya pergi dengan mengabaikannya, Alva menatap Ela dengan frustasi "Kenapa kau mengacaukan hubunganku? Aku sudah bilang kalau aku tidak mengenalmu. Jika niatmu adalah mencari uang, aku bisa memberikannya" bentaknya. Ela menatap Alva dengan mata berkaca-kaca yang siap menumpahkan tetesan anak sungai "Aku tidak mengharapkan duitmu saja tapi aku ingin pertanggung jawabanmu" keluhnya. Ada sakit hati yang tak bisa ia jabarkan melihat pria yang pertama kali mengatakan padanya bahwa pria itu bukan orang yang mudah berkomitmen bahkan tak pernah pacaran, nyatanya didepannya sedang membujuk kekasihnya. Ya, Ela sadar bahwa dirinya lah yang sangat bodoh dengan mempercayai ucapan pria itu. Bagaimana mungkin pria tampan seperti itu tidak memiliki kekasih? Mungkin itu adalah cara supaya semua wanita takluk padanya. Lagipula mungkin pria itu sudah sangat berpengalaman hingga mudah mengetahui para wanita. "Pergilah, aku tidak ingin melihatmu. Kau sudah mengacaukan hidupku yang kacau" usir Alva tanpa perasaan. Ela terisak "Hidupku juga kacau karena perbuatanmu. Malam itu, kau dengan yakin mengatakan kalau kau tidak pernah memiliki kekasih. Kau penipu" lirihnya. Alva membuang pandangannya dari Ela dengan menahan kesal, tangannya bertumpu dikedua sisi pinggangnya "Baiklah, kita anggap bahwa aku pernah melakukannya denganmu, lalu apakah aku bisa percaya kalau anak itu adalah anakku? Bisa saja kan kau sudah melakukannya dengan berbagai pria" Plak Ela melayangkan tangannya menampar pria itu "Bodohnya aku karena percaya dengan tampang polosmu saat itu. Siapa yang percaya pada wanita yang dengan mudahnya menerima pria untuk menemaninya di ranjang?" Melihat tangis wanita itu begitu pilu, mau tak mau membuat Alva tak tega "Baiklah. Aku harap ini adalah jalan akhir. Berapa usia kandunganmu? Sudah ada 10 minggu?" tanyanya dengan pasrah. "Sudah 11 minggu" jawab Ela dengan pelan. "Baiklah, sekarang aku antar kau ke rumahmu. Dua hari lagi aku akan datang untuk membawamu ke rumah sakit memeriksakan DNA anak itu" Alva membuka mobilnya dan membiarkan Ela masuk dan duduk di sampingnya. Selama perjalanan, Ela hanya memandang ke luar jendela karena ia tak menyangka atas keputusan pria itu yang meragukan kandungannya. Ia hanya tak siap menerima kenyataan bahwa anaknya diragukan oleh penebar s****a itu sendiri. Tidak sampai setengah jam, mobil Alva berhenti di depan sebuah rumah yang sangat kecil "Ini rumahmu?" tanyanya pada Ela. Ela menganggukkan kepala "Aku menumpang hidup pada sahabatku" ujarnya lalu turun dari mobil "Terima kasih sudah mengantarku" Alva masih memperhatikan Ela yang perlahan masuk ke dalam rumah kecil itu dengan tatapan ragu "Bagaimana mungkin aku menghamili seseorang dengan tak sadarkan diri. Aku bukan orang seceroboh itu" ujarnya pada dirinya sendiri. Seketika Alva teringat sesuatu yang membuatnya segera turun dan mengetuk rumah wanita tadi. Hanya menunggu seperkian detik dan pintu sudah terbuka. Ela menatap Alva tak percaya ketika pria itu berdiri didepannya, yang artinya sejak tadi, pria itu belum meninggalkan rumahnya "Ada apa?" tanyanya. "Aku ingin menanyakan sesuatu kepadamu" ujar Alva cepat. "Apa?" Ela menaikkan sebelah alisnya lebih tinggi. "Kapan kita melakukannya?" "11 minggu yang lalu, tepat dengan umur anak ini" ujar Ela sambil mengusap perutnya. Alva meringis "Berarti bukan Adkey" ujarnya pelan. Tadinya ia mengira bahwa wanita itu mungkin saja melakukannya dengan Adkey dan meminta pertanggung jawaban darinya karena tidak mengenali Adkey dan tak mengetahui bahwa Adkey memiliki kembaran, yaitu dirinya sendiri. Tapi ternyata ia salah sangka, karena setahunya, saat ini adiknya masih di luar negeri dan hanya kembali saat empat minggu lalu, jadi tak mungkin Adkey yang melakukannya. Tidak bisa dipungkiri bahwa Alva takut jika wanita itu benar-benar hamil anaknya, selama ini ia mungkin terlalu mabuk untuk mengetahui siapa yang ia bawa ke ranjangnya, tapi Alva yakin kalau dirinya selalu dalam kontrol yang baik sekalipun mabuk. "Sudahlah. Aku pulang dulu" pamit Alva dan berlalu begitu saja sebelum mendengar jawaban Ela. Seperginya Alva, Ela mengusap jantungnya yang terasa berdetak sangat kuat karena rasa sakit yang membuat tubuhnya lemah "Aku pikir dia adalah pria yang baik. Ibu yakin bahwa ayahmu orang yang baik tapi sekarang ibu meragukannya" Ela mengusap perutnya sendiri dan berbicara pada janinnya seolah janinnya dapat menanggapinya. Narisa memasuki rumah dengan bingung karena ia baru saja dari toko roti yang malam ini sangat ramai pesanan, dan begitu sampai di rumah kecilnya, ia malah melihat pintu yang terbuka dengan Ela yang merenung di depan pintu sambil mengusap perutnya "Ada apa, La?" tanyanya. Ela menatap Narisa dengan lemah "Aku sudah menemukan pria itu Nar, dan dia tidak ingin bertanggung jawab. Dia bahkan mengatakan bahwa dia tidak pernah melakukan apapun denganku, padahal waktu itu dia sangat sadar saat mengajakku ke ranjangnya" Narisa menggelengkan kepalanya pelan "Aku sudah memperingatkan mu agar tak mudah percaya pada tampang dan omongannya yang terlihat naif, tapi kau terlalu mudah berharap pada pria seperti itu" kesalnya. "Sekarang aku menyesal telah mempercayainya" tangisnya yang ia tampahkan dalam pelukan Narisa. "Sudahlah, aku masih bisa membantumu menghidupi anakmu, tidak perlu mengharapkan pria seperti itu" kesal Narisa. Ela mengangguk patuh, meski ia akan tetap menerima ajakan pria itu untuk membuktikan ia hamil dari hasil s****a pria itu. *** Siang ini, Ela kembali sibuk di restoran dan melayani pellanggan. Meski tidak terlalu ramai, namun ia tetap harus siaga jika ada pellanggan yang datang. "La, sudah makan siang?" tanya seorang pria padanya. Pria itu adalah Andrew, seorang chef di restoran itu. "Sudah Chef" "Jangan sampai pingsan lagi, saya khawatir" ujar Andrew terang-terangan. Ela mengangguk kikuk "Baik chef" ujarnya ragu. Jujur, ia merasa tak nyaman dengan perhatian Andrew yang selalu ditujukan padanya saja. Terkadang hal itu membuat staf restoran membicarakan Ela di belakangnya, dan jujur itu membuat Ela sangat terusik. "Kau bisa istirahat kalau lelah" "Tidak perlu Chef, nanti yang lain merasa perlakuan seperti ini sangat spesial untuk saya. Saya tidak apa-apa" tolak Ela dengan lembut. "Aku yang tidak tega melihatmu terlalu lelah" "Saya masih bisa mengatasi lelah saya, Chef" ujar Ela lalu membungkuk sedikit "Maaf, saya harus kembali bekerja" “Apa pria yang menghamilimu siap bertanggung jawab?” Ela membalikkan tubuhnya dan menatap Andrew sejenak, tidak mengerti maksud Andrew menanyakan hal itu padanya. Itu adalah privasinya, jadi tidak ada keharusan kalau ia wajib menjawab pertanyaan Andrew kan. “Maaf Chef, saya harus segera bekerja” pamit Ela. “Aku bisa mempertanggungjawabkannya. Menikahlah denganku, La” Ela kembali menghentikan langkahnya mendengar ucapan Andrew barusan. “Saya bisa mempertanggungjawabkan kehamilan saya sendiri sekalipun pria itu tidak mau bertanggung jawab” ujar Ela dengan memamerkan senyum kecilnya. Tanpa pamit lagi, ia segera meninggalkan Andrew. Ela memijat pelipisnya yang terasa berdenyut, tak mengerti mengapa Andrew masih menginginkannya meskipun ia sudah pernah menolak pria itu. ia juga tak mengerti tentang apa yang Andrew pikirkan hingga menyukainya diantara banyak gadis cantik yang mengantri untuk mendapatkan perhatian Andrew. Ela memperhatikan penampilannya saat beberapa staf restoran menatapnya seolah ada yang salah padanya, namun ia memilih berlalu begitu saja dan menghampiri meja kasir dimana seorang gadis cantik langsung menyambutnya dengan heboh “La, kau jadi bahan gossip teman-teman” “Memangnya apa yang salah denganku?” tanya Ela tak mengerti. “Ada yang bilang kalau kau berduaan dengan Chef Andrew saat diruang istirahat staf. Mereka mengatakan bahwa alasanmu beristirahat untuk menggoda Chef Andrew” jelas gadis bernama Christine itu. Ela berdecak kesal sambil menatap sekelilingnya dimana teman-temannya masih menatapnya dengan mata mengintimidasi “Aku tidak tahu lagi harus bagaimana, biarkan saja mereka dengan gosip manisnya” Setelah itu, Ela ikut duduk di dekat Christine sambil menunggu pesanan selanjutnya agar ia bisa segera melayani pellanggan setelah tadi mengistirahatkan tubuhnya yang lelah. Saat keduanya tengah duduk sambil diselingi dengan obrolan kecil, seorang pria datang dengan wajah kesal dan panik. “Ada apa, Jerry?” tanya Christine mewakili rasa penasaran Ela. “Di ujung sana ada seorang pellanggan yang menangis, aku bingung untuk menghentikannya karena pellanggan lain merasa terusik dengannya” tunjuk Jerry pada sudut kanan restoran. “Kau sudah mencoba membujuknya?” tanya Ela. “Sudah berulang kali sampai ia menangis semakin kuat dan membuat pellanggan merasa terganggu hingga protes padaku” jelas Jerry terdengar frustasi. “Kenapa tidak mengusirnya saja?” kali ini Christine memberikan pertanyaan yang seperti usulan. “Dia memesan sangat banyak, jadi mana mungkin aku mengusirnya begitu saja, nanti aku bisa dipecat oleh bos” “Bagaimana kalau aku mencoba membujuknya?” tawar Ela. “Silahkan, siapa tahu dia merasa terganggu jika pria yang menergurnya, jadi dia mau jika dibujuk olehmu” saran Jerry. Ela dengan langkah ragu mendekat ke meja paling sudut. Ternyata tangis gadis itu cukup kuat hingga benar-benar membuat pellanggan lain merasa tak nyaman. Ela yang bahkan masih membutuhkan lima langkah lagi untuk sampai di meja itu saja sudah merasa terusik dengan tangisan itu “Permisi” ujarnya dengan pelan. Gadis itu mengangkat wajahnya sejenak “Aku tidak memesan apapun lagi” ujarnya pada Ela, lebih seperti pengusiran. “Aku tidak ingin menanyakan pesanan, tapi ingin memberi saran. Kalau mau menangis, tolong jangan sekuat ini, pellanggan yang lain merasa terganggu” Gadis itu mengangkat wajahnya dan menatap sekelilingnya, dimana beberapa orang memperhatikannya sambil berbisik satu dengan yang lain “Usir saja mereka. Aku bisa membayarkan jumlah makanan mereka asal aku bisa menangis disini” Ela terkekeh geli “Itu bukan etika yang baik untuk memamerkan uang yang kau miliki. Memangnya ada masalah apa sampai kau ingin menangis di sini?” tanyanya ragu. “Kau tidak perlu tahu, yang penting aku hanya ingin menangis saja” “Siapa tahu aku bisa memberi solusi padamu” Gadis itu tersenyum mengejek setelah mengusap air mata yang membekas di pipinya “Ini bukan masalah yang bisa diatasi oleh orang miskin” Bukannya merasa tersinggung, Ela justru terkekeh “Silahkan kepada orang kaya untuk menceritakan masalahnya kepada orang miskin ini” ujarnya. “Meskipun aku tahu bahwa kau tidak akan memberikan saran sama sekali, tapi aku yakin kalau aku butuh teman cerita” gadis itu mengusap pipinya lagi lalu menatap Ela yang sudah menempelkan bokongnya di kursi dan melipat tangan diatas meja, siap mendengarkan cerita “Aku punya tiga kakak laki-laki dan mereka semua meninggalkanku dengan brengseknya, sehingga kini aku jadi terus dimarahi oleh ayah dan tidak ada yang mendukungku. Ayah selalu menyuruhku belajar agar masuk universitas yang diinginkannya dengan jurusan yang ia tentukan, ia pikir hidupku ini apa sampai aku selalu saja diatur olehnya. Hanya karena takut mendapat pandangan buruk karena ia adalah orang terpandang, ia sampai mendikte semua yang anak-anaknya lakukan agar terlihat keren” Ela terkekeh kecil, itu hal yang paling sering ia perdebatkan saat ayahnya masih hidup dulu. Seorang ayah atau ibu memang kerap kali mengatur anaknya dalam pilihan-pilihan karena si anak dianggap belum bisa memutuskan yang benar, jadi Ela bisa memahami bagaimana gadis itu dan ayahnya yang saling bertentangan. “Ayahku juga dulu begitu” ujar Ela. “Tapi sekarang tidak lagi kan?” “Ya, itu karena mereka sudah ada di surga” “Maaf” ujar gadis itu diangguki oleh Ela. “Lalu di mana kakak-kakakmu?” “Entahlah, ada yang sudah menikah, ada yang bekerja hingga ke negara lain dan ada yang diusir hanya karena tak ingin dijodohkan” jelas gadis itu membuat Ela menggeleng kepala tak percaya. “Kau kan masih bisa menghubungi mereka” “Kau mau mewakiliku?” tanya gadis itu, Ela mengernyit, namun kernyitannya tak mendapat penjelasan dari gadis itu yang langsung menyerahkan nomor yang sudah dipanggil “Katakan padanya kalau aku sedang menangis disini” “Halo El” Ela meneguk ludahnya kasar saat merasa familiar dengan suara itu. Itu seperti suara pria yang ia temui saat di club baru-baru ini. “Emh, maaf, pemilik ponsel ini sedang menangis di restoran kami dan membuat keributan. Bisa anda datang untuk menjemputnya? Katanya dia tak mau jika bukan kakaknya yang menjemput” “El, jangan bercanda” bentaknya hingga Ela langsung menjauhkan ponsel itu dari telinganya. “Aku tidak akan pulang kalau bukan kau yang menjemput, Al” desis gadis itu lalu mematikan sambungan telpon begitu saja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD