Setelah berulang kali Barra dipotret bersama kepala sekolah, pelatih juga timnya kini tanpa babibu seperti biasa para timnya itu menindih tubuhnya. Tentunya sorak-sorai semakin riuh. Semakin hati Barra terasa begitu bahagia. Ia bangga karena lagi-lagi ia mampu mengendalikan emosinya dari ejekan seorang Darren. Yang jelas berbeda jauh dengan emosinya kepada sang Papa yang sama sekali tak dapat ia bendung. Keseruan sore ini baru saja usai. Setelah mengganti pakaiannya kini Olivia menghampirinya. Hal ini tentunya membuat Barra cukup merasa terganggu, sebab memang ia yang begitu malas meladeni setiap sikap manjanya yang begitu memuakkan baginya. terlebih dikala kini tengah ada Bayu dan Bima yang gemar meledeknya soal Olivia. Hingga kini ia putar bola matanya malas seraya mulai ia pasang wajah sinisnya.
“Bar, congrats, ya. I swear tadi tuh penampilan lo keren banget. Congrats, ya. Lagi-lagi lo berhasil buat sekolah kita bangga sama lo,” ucapnya yang selalu saja dengan lancang ia rangkul bahu Barra.
Barra lepaskan rangkulannya dengan kasar seraya ia menatapnya dengan tajam. “Thanks. Excusme, gue duluan,” ucapnya seraya ia hendak berlalu. Namun lebih dulu Olivia mencekal satu tangannya. Bayu dan Bima yang melihatnya pun kini mulai menggulum senyuman mereka.
“Barra Barra wait... wait, Bar, gue mau ngomong sesuatu sama lo,” pinta Olivia yang tentunya menmbuat Barra semakin muak padanya.
“Ada apa sih? Bisa gak lo gak usah ganggu hidup gue!” makinya dengan sinisnya.
“Ish galak banget! Gue cuma mau bilang. Gimana kalau nanti malam kita nonton bareng gimana? Gue deh yang telaktir lo. Sekalian kita makan juga. Kita rayakan kemenangan lo yang amazing ini, Bar. Kalau Bayu sama Bima mau ikutan juga boleh. Gimana, Bar, lo mau, kan?” ajak Olivia dengan percaya dirinya. Tapa Olivia sadari saat ini Barra sudah merencanakan sesuatu dikepalanya.
Kini ia pasang senyuman liciknya seraya ia mengangguk setuju. “Okay. Iya gue mau. Kita langsung ketemu di mall jam tujuh ya,” jawabnya dengan yakinnya.
Mendengarnya tentunya Olivia senangnya bukan main. Karena memang untuk yang pertama kali semudah ini ia mengajak Barra hangout dengannya. “Really you want? Okay okay. Gue bakalan datang tepat waktu. Thanks ya, Bar, see you later...” ucapnya seraya ia lambaikan tangannya dan menjauh pergi sebab ia sudah merasa begitu bahagia saat ini. Barra pun membalas lambaian tangannya agar Olivia semakin merasa yakin.
Bayu dan Bima pun cukup merasa aneh. Karena memang sebelumnya tak pernah Barra akan semudah itu menerima ajakan Olivia. Kini keduanya mulai menghampiri Barra seraya ia tatap wajah Barra penuh selidik. Hingga Barra menaikan satu alisnya.
“Ngapain lo ngeliatin gue kayak gitu? Emangnya ada yang aneh?” tanya Barra sinis.
“Heh, lo gak salah nerima ajakannya si, Oliv? Seriusan lo, Bar?” tanya Bayu memastikan.
“Iya, Bar. Lo tumbenan amat segampang itu nerima ajakan tuh cewek? Gak lagi kesambet kan lo? Lo sehat?” Imbuh Bima seraya ia pegang dahi Barra dengan telapak tangannya.
HAHAHAHAHAHAHAHAHAHA
Tak menjawab keduanya justru kini Barra tergelak dengan cukup keras. Ia begitu senang melihat ekspresi kebingungan kedua sahabatnya yang begitu mempecayai sandiwaranya.
“Kok lo malah ketawa sih? Wah beneran nih anak emang udah edan kayaknya!” ucap Bima lagi seraya ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Dan Bayu pun mengangguk setuju.
“Yang sedeng tuh kalian! Gampang banget lo pada ketipu sama akting gue! Gue tuh sengaja mau ngerjain dia gue kepengin dia jera aja. Gue capek diganggu terus sama si cewek manja gak jelas itu,” jelas Barra yang kembali tersenyum lebar.
“Maksud lo? Lo mau ngerjain dia gimana? Sumpah kagak pahan gue,” tanya Bima keheranan.
Barra tak langsung menjawabnya. Karena kini segera ia rangkul keduanya seraya ia bisikan sesuatu tepat ditelinga keduanya. Yang mendengarnya membuat keduanya tak menyangka jika Barra akan bersikap setega itu kepada Olivia yang jelas-jelas sudah benar-benar jatuh hati kepadanya. Hingga kini keduanya pun menganga memandanginya.
“Serius lo, Bar? Bisa nangis bombay lah tuh cewek, Bar. Tega banget lo sama dia,” ucap Bayu yang merasa jika Barra sudah keterlaluan.
“Iya, Bar. Lagian, menurut gue dia not bad, kok. Dia cantik, baik, pinter, dia juga sepadan lah sama lo. Kan, dia tajir,” imbuh Bima yang juga mencoba untuk membujuk Barra.
“Baik lo bilang? Sepadan sama gue? Baik dari sisi yang mana? Dia tuh ya, selalu aja berusaha menindas adik kelas, dia juga sikapnya kasar banget sama cewek-cewek lain yang juga berusaha deketin gue. Gue paling gak suka sama wanita yang ngerendahin dirinya sendiri demi lelaki. Dan dia, udah buktiin semua itu ke gue. So, gak ada alasan, kan, buat gue pilih dia? Jadi gue rasa, memang ini cara terbaik biar dia udah gak kepengin lagi deket sama gue,” jelas Barra yang memang cukup masuk akal bagi keduanya hingga kini keduanya pun mengangguk setuju.
“Iya dah iya. Lord, mah bebas. Masih banyak cadangan. Yoi gak, Bim,” ledek Bayu seraya mencebikan bibirnya.
“Yoi, Bay. Lo juga masih banyak cuan buat gaet cmewew, lah gue. Gue mah apah atuh,” imbuh Bima.
HAHAHAHAHAHAHAHAHAHA
Mendengar gelak tawa Bima dan Bayu tentunya membuat Barra cukup merasa kesal. Hingga kini ia dorong kepala keduanya cukup keras. “Masih anying ae ye lo pada! Udah ah, stop kita bicarain tuh perempuan manja karena sekarang gue harus segera pulang! Gue capek udah saatnya gue rebahin badan gue!” ucapnya seraya kini ia berlalu begitu saja meninggalkan keduanya. Sebab memang ia sudah tak ingin lagi meladeni keduanya.
“Yah, gara-garaa lo nih, Bay. Ngamok, kan, si Barra,” ucap Bima seraya ia pukul lengan Bayu.
“Lah, ngapa jadi gue! Lo juga kan tadi sok-sokan nasihatin dia, yeee,” jawab Bima yang juga memukul lengan Bima cukup keras.
Barra kemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Rasanya badannya kini sudah terasa begitu lelah dan ingin segera ia beristirahat. Tak peduli apakah nantinya ada sang Papa atau pun tidak dirumah. Karena ia rasa, akan dengan mudah ia bisa tak mengacuhkannya.
***
Baru saja Barra hendak memarkir mobilnya kini sudah lebih dulu ada sebuah pesan masuk yang berasal dari Olivia. Dengan malas Barra membukanya.
[Bar, jangan lupa ya jam tujuh malam. I swear I can’t wait it,]
Barra pun tersenyum miring membacanya. Sebenarnya ia tak tega mengerjai Olivia hingga sejauh ini. namun ia rasa, memang inilah hal yang terbaik untuk mereka. Agar tak lagi ada permusuhan.
[Okay, Liv. See you there,] balasnya seraya kini dengan segera ia berlalu keluar dari mobilnya.
Benar saja, kini kembali sudah ada seorang Papa yang menyambut kedatangannya. Tanpa banyak berkata Papa hampiri Barra seraya ia peluk tubuh putranya dengan begitu hangatnya. Sebuah pelukan pertama yang Papanya berikan setelah sekian tahun lamanya mereka tak pernah saling berpelukan. Barra cukup terkejut dengan perlakuan sang papa padanya. Rasanya ia ingin segera melepaskannya, namun karena dirinya yang ternyata juga menginginkan pelukan itu maka kini hanya pasrah dan menerima. Sebab tak dapat ia pungkiri jika kembali ia dapatkan sebuah kenyamanan itu didalam hidupnya. Papa begitu bahagia saat ini. Hingga kini airmatanya menitih begitu saja dari kedua pelupuk matanya.
“Papa, bangga, Nak. Papa, Bangga sekali sama, Barra. Papa, juga senang sekali melihat kamu berhasil di pertandingan itu. selamat ya, Nak. kamu memang seorang anak yang hebat, sayang. You are my best Son, ever,” puji sang Papa yang sebenarnya kini ia tengah begitu bahagia sebab ia bisa melihat putranya tersenyum begitu manis diatas podium. Ya, tanpa Barra ketahui, sebenarnya sang Ayah telah meminta kepada pengawalnya untuk datang ke pertandingan dan memideokan selama Barra bertanding. Yang dikala menontonnya sungguh membuat Papa begitu bangga juga bahagia.
Mendengarnya, tentunya Barra begitu terenyuh. Namun ia juga baru saja teringat jika tak seharusnya ia bersikap semudah itu luluh kepada Papanya. Hingga kini ia refleks ia lepaskan begitu saja pelukannya itu. Yang karenanya kini Papa begitu terkesiap.
“Mau sampai kapan, Papa, sok-sokan peduli sama aku, Pa? Mau sampai kapan, Papa, bersikap seakan, Papa, itu masih bisa memperbaiki semua? Percuma, Pa! I swear, semua yang, Papa, lakukan itu gak guna sama sekali buat, Barra! Selama ini, Papa, kemana? Ini, adalah sebagian kecil prestasi yang, Barra, buat, Pa! Ini juga bukan sebuah prestasi akademik! So, untuk apa Papa bangga? Untuk apa, Papa, berusaha memerlihatkan jika, Papa, menghargai setiap perjuangan, Barra? Barra rasa semua itu gak perlu, Pa! Karena hal itu bukannya, Barra, bisa respect ke Papa. Melainkan Barra akan semakin muak dan semakin ingin segera menjauh dari, Papa!” ungkapnya panjang lebar. Yang selalu saja dipenuhi marah juga kekecewaan. Hingga airmatanya tak pernah dapat terbendung. Seraya kini ia berlalu begitu saja meninggalkan sang Papa yang masih ternganga disana.
Sama sekali Papa tak mengira jika respon Barra kepadanya semakin separah itu. Semakin seakan memang sudah tak lagi ada ruang bagi sang Papa untuk dapat kembali mengenal seorang Barra yang dahulu begitu menyayangi juga menghormatinya. Setiap perkataan Barra yang sungguh menohok hatinya membuat sang Papa tak sanggup berkata. Kembali ia rasakan sebuah sakit yang tak berdarah tepat di jantung hatinya. Dan kini ia putuskan untuk segera mendudukan dirinya desebuah sofa disana. Ia menangis sesenggukan disana sebab kembali ia merasa begitu frustrasi.
“Barra, Papa, sangat menyayangimu, Nak. Papa, hanya ingin melihatmu bahagia. Papa gak mau jika, Papa, sudah tak bisa lagi berada disampingmu, kamu akan hidup sengsara. Maaf jika hal ini akan menngganggumu. Tapi mulai besok akan tetap, Papa, bnerikan seorang guru privat yang akan mengajarmu dirumah. Sebentar lagi kamu akan ujian, Nak. Kamu harus bisa lulus dengan nilai yang terbaik. Dan, Papa, yakin jika kamu sudah pasti mampu menjadi pewaris tunggal semua aset yang akan, Papa, berikan sama kamu,” ucap Papa seraya ia tersenyum getir.
Sebelum tiba dirumah, sengaja Barra lebih dulu melipir ke sebuah restoran untuk membeli makanan. Sebab ia tak ingin lagi kelaparan dan terpaksa harus kembali makan disatu meja yang sama dengan sang Papa. Maka kini setelah mandi ia segera melahapnya. Ia melahap makanan itu dengan airmata kepedihan yang menganak sungai dikedua pipinya. Masih saja ia tak dapat melupakan setiap ungkapan hati sang Papa yang jika ia mendengarnya, selalu saja hal itu membuat ia selalu saja teringat dengan setiap perkataan sang Mama yang juga menunjukan rasa bangganya kepadanya dikala ia berhasil meraih penghargaan disekolahnya. Hingga kini dengan kasar ia letakan makanannya. Ia pegangi kepalanya yang terasa pening itu dengan kedua tangannya, seraya ia acak rambutnya frustrasi. Rasanya begitu memuakan jika kembali ia harus berdamai dengan masalalunya. Dengan kembali ia menerima sang Papa dalam hidupnya.
“Bisa gila gue kalau kayak gini terus! Seharusnya emang lo lebih berani, Bar! Seharusnya lo segera keluar dari rumah ini! Tapi kalau begini caranya gue rasa gak mungkin lo bakalan mampu! Karena hingga saat ini lo bisa hidup itu karena lo bergantung dengan biaya yang bokap beri sama lo! Seharusnya lo bisa seperti, Bima, Bar! Dia survive dengan berusaha keras mencari nafkah bukan hanya buat dirinya! tapi juga keluarganya karena gaji, Bokapnya, yang gak seberapa!
“Apa lo gak bisa kayak dia?! Apa lo selemah itu, Bar?! No, you aren’t. Lo bukan seorang lelaki yang lemah! Karena setelah ini, setelah lo lulus SMA, lo harus segera get out dari rumah ini, dan lo harus bisa hidup mandiri dengan menjadi seorang pekerja keras yang gak lagi butuh harta, Papa, lo! So, walau semalas apapun lo menjalani sekolah, lebih baik lo harus tetap bertahan! Ini semua demi kebaikan masa depan gue! Gue gak boleh nyerah demi, Mama! Gue yakin kalau gue mampu!” gumamnya yang mulai memiliki sebuah keyakinan jika ia harus mampu bertahan hidup tanpa sang Papa.
***
Barra baru saja tiba didepan kelasnya, namun kini sebelum ia memasuki kelas sudah lebih dulu ada seorang Olivia yang menghadangnya didepan pintu kelas dengan tatapan tajam penuh amarah Olivia menatapnya. Dan kini dengan keras hendak ia layangkan sebuah tamparan tepat dipipi mulus Bara. Barra tak membiarkan hal itu karena ia lebih dulu mencekal satu tangannya. Hingga membuat Olivia tak mampu untuk menahan airmatanya yang sejak tadi sudah menggenang dikedua pelupuk matanya. Sebenarnya Barra tak menyukai hal ini sebab memang ia yang pantang menyakiti hati seorang wanita. Karenanya, rasa sesak mulai menyergap d**a Barra. Terlebih perseteruan mereka saat ini tentunya sedang disaksikan dengan banyak murid.
“Apa-apaan lo! Berani-beraninya lo mau bersikap kasar sama gue!” maki Barra yang kini dengan kasar Olivia lepaskan genggaman tangan Barra.
“Apa-apaan lo bilang? Gak seharusnya lo bohongin gue dengan minta, Darren, yang datang ke mall semalam! Kalau emang lo gak mau, gue akan jauh lebih merasa ikhlas kalau lo tolak gue dengan kasar ketimbang lo jebak gue kayak gitu, Bar! Lo tahu kan sebenci apa gue sama, Darren? Keterlaluan tahu gak lo!” maki Olivia seraya ia dorong tubuh Barra dengan keras.
Ya, Barra memang sengaja meminta kepada Bayu untuk mengirim pesan kepada Darren agar ia datang menemui Olivia. Darren yang memang menyukainya pun tanpa banyak penolakan segera menemui Olivia. Barra yang memang merasa jika dirinya sudah melakukan hal diluar batas pun kini tak dapat melawan atau memakinya balik. Hingga kini ia hanya bisa mengontrol emosinya. "Sorry." Ucapnya seraya ia berlalu begitu saja meninggalkan seorang Olivia yang masih mematung di sana. Hingga kini kembali Olivia cekal satu tangan Barra.
“Apa lo bilang? Maaf?! Lo pikir semudah itu gue akan maafin lo! Dimana sih, Bar, hati nurani lo!” maki Olivia lagi yang saat ini sungguh membuat Barra cukup merasa kesal atas sikapnya itu.
“Gue udah minta maaf. Dan gue rasa, masalah kita udah clear disini. Udah berapa kali sih gue bilang ke lo kalau gue gak akan mau lagi jalan sama perempuan childish yang gak punya attitude kayak lo. So I think, ini semua gak sepenuhnya salah gue!” maki Barra dengan tegas seraya kini kembali ia lanjutkan langkahnya. Namun lagi-lagi ada yang menghadangnya, tetapi kali ini seorang Darren.
Dengan keras Darren hendak melayangkan sebuah tinjuan diwajah Barra, namun sudah lebih dulu Barra memelintir tangannya. Bayu dan Bima yang baru saja tiba disana pun tak ingin ikut campur. Sesuai dengan permintaan Barra yang memang tak ingin dibantu oleh keduanya. “Lepasin tangan gue, b******k! Ngapain lo ngerjain, Oliv, sampai sebegitunya! Lo tahu kan kalau lo itu udah nyakitin hati dia! Dasar pecundang!”
“Stop lo hakimin gue karena lo gak pernah tahu permasalahannya! Udah berapa kali gue ingatkan sama perempuan yang lo cintai ini buat gak usah lagi banyak berharap soal gue! Dan karena gue tahu banget kalau lo suka dia, gue cuma mau bantu lo aja, just it,” pungkas Barra dengan gaya pongahnya, yang sungguh hal ini semakin membuat emosi Darren meningkat.
“Gak usah ya lo sok-sokan bantu gue! Lo pikir lo itu paling keren disini! gue gak butuh bantuan seorang loser macam lo!“ makinya lagi dan kini Barra hanya tersenyum miring seraya ia lepaskan genggamannya. Sebab dari kejauhan, ia sudah melihat kedatangan guru yang akan mengajarnya pagi ini. Sebenarnya Darren ingin kembali membalasnya, namun lebih dulu guru itu mengucap salam dikelasnya, hingga kini ia urungkan niatnya.
“Urusan kita belum selesai!” desis Darren tepat ditelinga Barra.
“Up to you, the real loser,” Barra balik berbisik masih dengan gayanya yang sungguh menyebalkan. Sedangkan Olivia, sejak tadi ia hanya memandangi perseteruan keduanya dan ia semakin kecewa dengan sikap Barra yang memang benar-benar begitu merendahkannya.
***
Jam istirhat baru saja tiba. Barra yang sudah muak berada di sekolah kini kembali mencari cara untuk dapat segera kabur. Namun nyatanya usahanya itu gagal. Karena kini sedang ada sebuah kunjugan di sekolahnya yang membuat banyaknya penjagaan tepat di gerbang sekolah. Karenanya, kini Barra memilih untuk mengajak Bayu dan Bima makan siang di kantin. Mereka makan seraya becanda. Ada Olivia bersama kedua temannya juga disana. Olivia memandanginya masih dengan raut wajah kecewa sebab ia tak mengira jika Barra memang sama sekali tak merasa bersalah atas apa yang telah Barra lakukan kepadanya. Sedangkan Darren, kini baru saja ia memasuki kantin sekolah. Melihat Barra yang tengah begitu bahagia tentunya membuatnya kembali merasa tak terima, hingga kini ia berjalan cepat menghampirinya seraya ia cengkram kerah seragam Barra dengan keras.
“Udah siap lo ngadepin gue! Urusan kita, kita lanjut disini!” ucap Darren dengan kedua tatapan yang begitu tajam penuh amarah.
“Urusan, gue anggap selesai dikelas tadi. But, kalau emang dengan lo pukul gue bisa buat seorang pecundang kayak lo jadi merasa menang. Go ahead, lo mau pukul gue di bagian yang mana?” tanya Barra dengan gaya yang seakan begitu menantang.
Karena semakin emosi maka kini Darren layangkan sebuah pukulan yang cukup keras dipipi Barra. Sehingga kini darah segar mulai mengalir dari sudut bibirnya. Sama sekali Barra tak membalasnya, justru kini ia merasa puas, sebab ia dapat membalaskan rasa kesalnya tempo hari.
“Kenapa lo gak balas gue, pengecut! Lo ngalah? Lo gak punya nyali lawan gue, hah?!” makinya seraya kembali ia cengkam kerah seragam Barra.
Barra tak mengatakan hal sepatah katapun. Kini dengan kasar Barra lepaskan cengkraman Darren seraya ia mendorongnya dengan keras. “Selamat lo menikmati liburan lo dirumah. Karena bentar lagi lo bakalan masuk BK dan lo bakalan di skors. You can see,” ucapnya seraya ia tunjuk sebuah cctv yang berada tepat di atas mereka. Sehingga sudah terekam jelas seperti apa pertengkaran diantara mereka yang baru saja terjadi. Dan kini Barra bersama Bayu dan Bima berlalu begitu saja meninggalkan seorang Darren yang masih emosi berapi-api.
“Oh s**t!” umpat Darren seraya ia kepal kedua tangannya.
Tanpa banyak bicara, Barra pergi ke ruang BK. Ia jelaskan disana hal yang baru saja terjadi. Laporan Barra pun diterima denga baik denga guru BK. Dan kini mulai dipanggil Darren kesana dan ia benar-benar mendapatkan hukuman skors satu minggu lamanya. Tentunya hal ini membuat Darren semakin menaruh dendam pada Barra. Semakin ingin menghancurkan hidupnya segera.
“Oh s**t! Kenapa gue selalu aja berada di posisi seperti ini! Gak akan gue biarkan lo tetap hidup tenang, Bar! Akan segera gue balaskan semua dendam ini ke lo, pecundang!” umpat Darren masih dengan emosinya yang berapi-api.
Barra merasa puas karena bukan hanya kepada Olivia ia meberikan efek jera, namun sekaligus kepada Darren. Karena insiden ini, Olivia tak lagi berusaha mencari perhatiannya bahkan kini ia memilih untuk membuang muka. Hingga kini Barra tersenyum penuh kemenangan seraya ia duduki kursinya. Bayu dan Bima pun memandangi ekspresinya yang seperti itu seraya saling siku.
“Bar, cara lo sih keren. Dan hasilnya ampuh juga. Tapi kan, tuh muka lo bonyok. Lo kok rela sih Bar dijotos gitu aja ama dia,” ucap Bayu keheranan.
“Yoi. Sampe luka lagi. Bukan, Barra, banget deh nih kayaknya,” imbuh Bima yang mambuat Barra terkekeh mendengarnya.
Barra rangkul bahu kedua temannya seraya ia pandangi secara bergantian. “Justru memang ini strategi gue. Kalian aja yang gak paham. Makanya, dipikir pakai otak jangan cuma emosi yang digedein,” jawabnya yang sungguh memang sama sekali tak dapat dipahami oleh Bayu ataupun Bima.
***
“Balas dendam tak akan membuatmu menang. Karena setiap yang dibalas akan membuatmu semakin tertekan.” -Tulisannisa-
To be continue