Barra turuni mobilnya dan kini baru saja ia lihat siapa seseorang yang berada dihadapannya. “Chafiya? Lo, Fiya, kan teman sekelas gue?” tanya Barra dengan dahi yang berkerut.
“I-iya.” Jawabnya gugup. Seraya kini ia berusaha untuk bangkit. Namun karena rasa nyeri dikakinya, Fiya kembali terjembab bersama dengan sepedanya. “Aaaahk...” erangnya kesakitan.
“Wait wait, biar gue bantu,” ucap Barra seraya kini mulai membantunya untuk berdiri. Setelah berdiri tegap, Fiya lepaskan genggaman tangan Barra.
Fiya pasang wajah kesalnya seraya ia menatap Barra dengan tatapan taajamnya. “Terima kasih,” ucapnya seraya ia berlalu begitu saja meninggalkan Barra yang masih menatapnya nanar. Karena Fiya yang memang merasakan sakit dikakinya merasa tak sanggup untuk mengayuh sepedanya, sehingga kini ia memilih untuk mendorongnya dengan perlahan.
“Fiya, wait. Sorry gue gak sengaja. Kaki lo itu luka. Biar gue antar lo pulang aja ya,” tawarnya namun Fiya tetap saja melanjutkan langkahnya tanpa ia mengindahkan setiap perkataan Barra. Yang karenanya, Barra yang masih merasa tak enak hati, kini mulai mengejarnya dengan langkah yang lebar. Yang hal ini membuat Fiya cukup terkesiap karenanya.
“Mau kamu apa sih, Bar! Permisi saya mau pulang!” ucapnya ketus. Yang hal ini membuat Barra semakin yakin jika sudah pasti Fiya tengah marah besar padanya.
Barra pegangi sepeda Fiya agar ia tak dapat melanjutkan langkahnya. “Fi, sorry. Gue bener-bener minta maaf. Gue gak sengaja, Fi. Kaki lo itu gak baik kalau dipaksakan untuk jalan! Biar gue antar pulang ya,” tawarnya lagi.
Fiya pun menggeleng. “Gak perlu, Bar. Iya, saya sudah memaafkan kamu. But, saya hanya ingin mengingatkan satu hal ke kamu. Jika dirasa kamu memang tidak sanggup untuk mengemudikan mobil kamu, alangkah baiknya kamu menaiki angkutan umum, ketimbang beresiko mencelakain orang lain! Beruntungnya saya hanya terluka sedikit. Coba kalau parah, pastinya kamu juga akan berada didalam suatu masalah! Permisi saya mau lewat! Tolong jangan menghambat!” omelnya seraya kini kembali ia berlalu begitu saja meninggalkan seorang Barra yang masih ternganga disana.
Barra pandangi kepergian Fiya hingga tak terlihat lagi. “Oh my God! Apa-apaan ini? seriously gue baru saja dimaki-maki sama seorang gadis? Hina amat ya gue! Baru ini gue dimarahin sama perempuan dan gue gak bisa ngelawan. Ya meskipun , okay, lah. Apa yang dia bilang itu benar. Tapi kan gak seharusnya dia maki-maki gue kayak gitu! Toh, gue juga udah minta maaf kan ke dia!” umpatnya seraya kini dengan segera ia kembali menaiki mobilnya.
Fiya yang berjalan pelan membuat Barra yang menaiki mobil kembali menemukannya. Barra yang masih merasa bersalah pun kini kembali memberhentikan mobilnya yang karenanya kembali ia mengejutkan seorang Chafiya yang tengah memandang kosong kearah depan. Barra buka kaca mobilnya seraya ia berikan senyuman tipisnya pada Fiya.
“Sudah berapa kali saya bilang kalau saya gak butuh bantuan kamu! Saya bisa pulang sendiri, kok!” omelnya lagi yang membuat senyuman Barra yang minimalis itu kini pun sirna.
“Siapa juga yang mau antar lo pulang! Geer banget lo ya jadi perempuan. Nih, kaki lo tuh luka. Nanti lo infeksi, meriang, gak sekolah, terus lo ngadu ke orangtua lo, gue nanti yang disalahin! Bersihin tuh luka lo, jangan lupa kasih plester! Lo bisa kan ngelakuinnya sendiri? Karena kalau pun gue bantu lo, gue yakin kalau lo pasti bakalan tolak gue lagi,” jelasnya seraya ia berikan kotak obat yang selalu berada di mobilnya kepada Fiya. Fiya yang memang membutuhkannya pun kini tanpa basa basi segera menerima kotak obat itu. Meski masih ia pasang wajah kesalnya.
Fiya letakan kotak obat itu di ranjang sepedanya seraya ia tersenyum tipis kepada Barra. “Terima kasih. Tolong kamu ingat ya setiap pesan saya. Agar nantinya gak akan ada lagi korban selain saya,” ucapnya sebelum kini kembali ia berlalu begitu saja meninggalkan Barra.
“My God! Dia ninggalin gue lagi! bener-bener emang ya nih perempuan!” umpatnya seraya kini kembali ia kemudikan mobilnya. Dan ketika mobilnya itu sudah kembali mendekati Fiya, sengaja Barra bunyikan klakson mobilnya yang ia gunakan sebagai sebuah sapaan. Lalu semakin ia kencangkan laju mobilnya setelahnya. Namu sayang, maksud Barra itu salah besar. Sebab kini Fiya cukup terjingkat karena keterkejutannya. Dan ia menganggap jika Barra adalah seorang lelaki yang sombong.
“Keterlaluan! Ngagetin banget tahu gak!” umpat Fiya seraya ia elus dadanya. Dan karena Fiya yang semakin merasakan nyeri dibagian lututnya yang terluka itu, maka kini ia memilih untuk menepi sejenak dan mula mengobati lukanya itu agar tak infeksi.
***
Barra baru saja tiba dirumah. Ia merasa cukup senang karena apa yang ia inginkan tersampaikan saat ini. Papanya belum tiba dirumah. Dan Barra merasa jika hari ini ia bisa lebih bebas berada di rumah tanpa harus kembali bersitegang. Barra sapa Bi Tina dengan ramah dan hal ini cukup membuat Bi Tina merasa aneh. Sebab memang biasanya Barra selalu saja memasang wajah sinisnya. Namun hal ini, juga membuat Bi Tina merasa senang dapat kembali melihat ekspresi sumringah Barra yang sudah hampir tidak pernah Bi Tina melihatnya. Setelahnya Barra pun segera menaiki anak tangga rumahnya untuk segera menuju kamarnya. Barra lempar tas sekolahnya asal seraya kini ia rebahkan tubuhnya diatas ranjangnya. Namun kali ini ia rebahkan tubunya dengan senyuman manis yang masih terukir indan dibibirnya.
“Perasaan happy gue ini kenapa gak ilang-ilang ya. Entah kenapa, di puji sampai kayak gitu sama, Bu Risya, bikin gue kembali merasakan menjadi seorang anak yang berprestasi. Kayak dulu waktu, Mama, gak pernah bosan ngajarin gue banyak hal. Meski hal sekecil apapun itu. I love you, Ma. kayaknya hari ini emang bakalan jadi salah satu hari yang paling berarti deh buat gue,” monolog Barra seraya ia pandangi foto buku tugasnya dimakam sang Mama.
Namun kini, kembali senyumannya itu seketika sirna dikala ia teringat soal Fiya yang tak sengaja ia tabrak. Hingga kini ia letakan ponselnya dan ia kembali bangkit dari posisi tidurya. “Oh iya, keadaan si, Fiya? Dia baik-baik aja apa enggak ya? Tadi kan lukanya lumayan. Eh, tapi ngapain juga sih gue meduliin dia sampai sebegitunya! Orang dia aja sombong banget waktu gue minta maaf ke dia! Pasti dia juga udah baik-baik aja. Kan udah gue kasih obat-obatannya juga tadi! Andai aja gue gak ceroboh dan insiden ini gak terjadi! Udah pasti hari ini beneran jadi sebuah hari gue yang sempurna!” gumamnya agi seraya kini dengan segera Barra bangkit dari ranjangnya dan segera pergi mandi. Karena dengan begini, Barra yakin jika otak dan pikirannya akan kembali terasa dingin.
Barra sudah merasa tubuhnya terasa jauh lebih segar. Karena masih merasa lelah dan belum lapar, maka Barra kembali merebahkan tubuhnya, hingga kini ia mulai terlelap begitu saja. Tak terasa waktu terus saja bergulir, dan kini waktu menunjukan pukul tujuh malam. Ya, seperti biasa Barra melewatkan setiap salatnya dengan sia-sia. Sama sekali ia tak melaksanakannya. Hingga ketukan pintu dikamarnya lah yang kini mulai membangunkannya. Dengan malas Barra buka kedua matanya yang masih terasa begitu buram. Ia usap dengan kasar dan kini ia mulai bangkit dari posisi tidurnya. Ia berjalan dengan gontai untuk segera membuka pintu kamarnya, hingga kini ia dapati ada seorang Bi Tina disana yang tengah tersenyum padanya kini.
“Bi Tina, ada apa, Bi?” tanya Barra dengan mata yang belum sepenuhnya terbuka.
“Ini, Den. Makan malamnya sudah siap. Aden, kalau mau makan sekarang sudah bisa, Den,” jelas Bi Tina yang membuat kedua mata Barra terbuka. Sebab memang ia yang sudah merasa lapar saat ini.
“Oh begitu. Oke, Bi. Makasih banyak ya, Bi. Barra akan segera kesana. Terima kasih ya, Bi,” jawab Barra seraya ia tersenyum.
Kini Barra memilih untuk lebih dulu membasuh wajahnya sebab ia ingin menghilangkan rasa kantuk yang sejak tadi masih saja terus mendera. Hingga kini ia sudah merasa jauh lebih segar dan dengan segera ia keluar dari kamarnya. Barra duduki kursinya seraya mulai ia lahap santap malam kali ini dengan lahap. Karena kini Bi Tina memasakannya gurame bakar sambal kecap. Salah satu menu kesukaannya yang dahulu sering Mamanya buatkan untuknya. Beruntungnya Mama sempat memberitahu resep itu kepada Bi Tina. Walau tetap, masakan sang Mama tetaplah yang nomor satu dimata Barra. Ia terus melahapnya tanpa ia sadari jika kini sudah ada sang Papa yang duduk disebelahnya seraya memandanginya dengan senyuman manisnya.
Hingga dikala kini mulai Barra alihkan pa ndangannya mulai ia sadari keberadaan sang Papa disana. Ya, karena rasa laparnya Barra lupa jika saat ini Papanya itu sudah kembali tiba dirumah. “Papa. Sejak kapan, Papa, tiba dirumah?” tanyanya sinis.
“Tepat pada jam tujuh tadi. Ini kan sudah jam tujuh lewat limabelas menit,” jawab Papa dengan senyuman manisnya. Yang membuat Barra cukup kesal karena ia benar-benar lupa.
Maka kini dengan lahap Barra segera menyelesaikan makan malamnya. Namun belum sempat Barra beranjak, sudah lebih dulu ada seseorang yang datang kerumahnya. Yang dikala Bi Tina membukanya ternyata yang datang adalah seorang guru privat untuk Barra. Dengan segera Papa tunda makan malamnya dan segera hendak menemuinya. Sedangkan Barra, kini ia segera beranjak dari posisi duduknya untuk segera kembali kekamarnya. Barra tak akan mungkin mau untuk mengikuti kemauan sang Papa. Dengan mengikuti maunya, Barra selalu saja beranggapan jika sudah pasti sang Papa akan menganggap jika sudah pasti dirinya sudah kembalin memaafkannya. Sayangnya, lagi-lagi Papa sudah lebih dulu mencekal satu tangannya dengan sebuah genggaman yang begitu erat, seraya mulai menariknya menuju ruang tamu.
“Barra, gak mau, Pa! Barra gak perlu guru privat! Tanpa guru privat pun Barra yakin kok kalau, Barra, mampu! So please! Gak usah, Papa, paksa,, Barra! Sejak dulu pun, Papa, gak pernah kan peduli sama, Barra!” maki Barra yang sama sekali tak Papanya respon. Hingga kini mereka sudah lebih dulu berada diruang tamu. Hingga Barra dapati seorang guru privat untuknya.
Yakni seorang lelaki berusia kisaran tigapuluh tahunan yang berkacamata. Lelaki itu kini mulai memberikan sebuah senyuman kepada Barra. Namun tetap Barra menatapnya sinis. “Karena, Papa, yang sudah mengutus lelaki itu untuk datang kemari, jadi lebih baik, Papa, saja yang belajar sama dia! Papa itu masih harus banyak belajar, Pa! Belajar bagaimana caranya mendidik seorang anak dengan baik!” desisnya sarkas. Yang sebenarnya kembali menusuk hingga jantung hati Papa. Namun tetap Papa berusaha untuk tersenyum manis kepadanya.
“Mas Trio, kenalkan ini putra saya, Barra. Tolong, Barra, dibimbing dengan baik ya, Mas. karena terlau sibuk latihan basket putra saya ini jadi banyak tertinggal soal pelajaran,” ucap Papa yang cukup mengejutkan Barra. Karen abisa semudah itu Papa mencari sebuah alasan tanpa saling menjatuhkan satu sama lain.
“Oh, begitu. Saya, Trio, Barra. Senang bisa membimbing seorang anak lelaki yang cerdas seprti kamu,” jawab Trio yang sama sekali Barra tak menanggapinya. Sehingga hal ini cukup membuat Trio merasa malu. “Eum, baik, Pak Angga. Saya janji akan mengerjakan tugas dari, Bapak, dengan sebaik mungkin,” jawabnya yang berusaha untuk mengatakannya sebisa mungkin.
“Alhamdulillah. Terima kasih ya, Mas. kalau begitu saya kembali kedalam dulu. Barra, belajarlah dengan baik ya, Nak,” ucap Papa seraya ia tepuk bahunya pelan. Yang sungguh hal ini cukup membuat Barra merasa begitu muak oleh karenanya. Namun kali ini ia merasa jika ia tak dapat melawan setiap permintaan sang Papa.
Kini Barra mulai menduduki sofa itu masih dengan tatapa sinisnya. “Eum, Barra. Besok pelajaran apa disekolah kamu? Apa pelajaran yang malam ini mau kita pelajari?” tanya Trio dengan sopan.
Barra pun tersenyum miring seraya menatap Trio penuh ejek. “Lo kan guru privat gue! Ya seharusnya lo juga udah cari tahu banyak dong tentang gue! Ya masa iya kita mau belajar dan gue yang harus nentuin! Gak jelas lo ya!” makinya dengan begitu kasar juga terkesan tak ada sopan santunnya. Yang sengaja hal ini Barra lakukan untuk membuat si pengajarnya itu tak betah karena merasa terhina. Hingga memutuskan untuk mundur dari tugasnya.
“Oh, hehe. Begitu ya, Barra. Okay, untuk hari selanjutnya saya akan mencari tahu semua tentang kebutuhan, kamu. Saya minta maaf, ya. Untuk hari ini, saya ingin kamu saja yang memutuskannya. Agar kamu bisa lebih bersemangat belajar,” ucapnya dengan begitu santai menghadapinya. Yang hal ini cukup membuat Barra merasa begitu terkejut dengan responnya.
“Okay. Gue mau lo ajarin gue pelajaran fisika, kimia, dan matematika. Gue gak jago di tiga mata pelajaran itu. so, gue harap sih lo mampu ya memberikan sebuab pengajaran yang terbaik buat gue,” pintanya lagi yang lagi-lagi selalu saja tak sopan padanya.
“Baik. kita mulai dari pelajaran matematika saja, ya. Eum, kamu sudah belajar sampai dimana, ya? Jadi saya mau mengevaluasi dulu seperti apa hasil jawaban kamu dan saya bisa tahu kebutuhan kamu yang harus bisa saya jelaskan dan ajarkan ke kamu,” tanyanya lagi memastikan.
Barra pun memutar bola matanya malas seraya merapatkan birinya. “Integral. Gue udah belajar sampai disana kemarin. Gimana? Lo ngerti gak sampai disana?”
Trio pun mengangguk pasti seraya ia tersenyum. “Tentu saja saya bisa. Okay, saya akan memberikan sebuah soal untuk kamu dan saya minta kepada kamu untuk menjasabnya, ya,”
“Lo, belum ngejelasin apa-apa ke gue, kok minta langsung gue ngerjain soal sih? Kehadiran lo disini bukan untuk makan gaji buta, kan?” tanya Barra yang mulai emosi.
“Iya, Barra. Sebelumnya kan saya sudah bilang jika saya ingin mengevaluasi kamu. so, kamu paham kan dengan hal yang saya maksudkan ini?” Trio bertanya balik dnegan gaya Barra.
Yang karenanya kini Barra merasa begitu kesal dan ia hanya bisa menerima sebuah soal yang telah Trio buat. Dan kini dengan segera ia mulai mengerjakannya. Barra mengerjakannya dengan secara asal sebab selain tak mengerti soal itu ia sama sekali tak berniatan untuk mengerjakannya. Maka kini tak butuh waktu lama kembali Barra berikan buku itu kepada Trio. Yang tentunya berisis sebuah jawaban yang salah. Membuat Trio tersenyum miring memandanginya. Sebab soal yang ia berikan saat ini adalah sebuah soal yang termudah dan begitu mendasar. Yang sebenarnya Trio yakini jika sudah Barra akan berhasil menjawabnya dengan baik.
“Barra. Saya yakin kalau kamu mengerjakan soal yang saya berikan ini pastinya main-main ya? Karena ini, hanyalah sebuah soal yang begitu mendasar yang saya yakin jika sudah pasti kamu bisa menjawabnya dengan sebuah jawaban yang benar,” ucapnya setelah ia memeriksanya.
“Oh ya? Gue udah serius kok ngerjainnya. Kan, udah gue bilang kalau gue emang gak paham sama sekalu sama pelajaran ini. Lo nya aja yang ngeyel, gak mau ngejelasin dulu ke gue sebelum lo kasih soal itu ke gue,” jelas Barra yang lagi-lagi mengatakannya dengan gayanya yang sungguh pongah.
Trio tarik napasnya dalam seraya ia buang dengan perlahan. Lalu kini kembali ia berikan sebuah senyuman kepada Barra. “Okay, Barra. Saya akan mencoba untuk menjelaskannya ke kamu. Bagian ini, kan, memang pelajaran di awal ya. Jadi saya rasa, setelah saya jelaskan kepada kamu meski tidak banyak saya rasa kamu akan dapat dengan mudah mengingatnya,”
“Up to you. Go ahead,” jawabnya dengan begitu santainya. Yang kini dengan segera Trio buka papan tulisnya dan mencoa ia jelaskan secara detil namun singkat. Berharap jika memang benar Barra akan memahami setiap imu yang ia berikan malam ini.
Namun nihil. Selama Trio menjelaskannya. Sama sekali, Barra, tak menyimaknya. Karena kini dengan sengaja Barra mainkan ponselnya tanpa sedikit pun merasa sungkan kepadanya. Hingga kini lagi dan lagi Trio merasa tak habis pikir dengan sikapnya itu. Tetapi ia juga merasa jika ia tak punya pilihan dan akhirnya hanya Trio diamkan sikap menyebalkannya itu seraya kini kembali ia berikan sebuah soal baru yang ia minta untuk segera Barra kerjakan. Dan menyebalkannya seorang Barra, kembali ia selesaikan soal itu dengan sikap tengilnya juga secara asal. Hingga jawaban yang ia berika n sama sekali tak ada yang benar. Membuat Trio kembali merasa begitu kesal juga menyesal. Kesal dengan setiap perkataan kasarnya dan menyesal karen ia menerima tawaran dari Pak Erlangga untuk mengajari putranya yang ternyata begitu menyebalkan.
“Sepertinya kamu memang benar-benar sedang jenuh saat ini. Karena sejak awal saya perhatikan kamu itu seperti gak serius. Kamu memang sengaja menyalahkan semua soal ini. But it’s okay. Karena saya datang kesini hanya ingin mengajar kamu dan saya bisa membuktikan jika saya mampu. Saya juga akan megajar kamu dengan baik sesuai dengan imbalan yang, Papamu, berikan kepada saya,” ucap Trio yang mengatakannya masih berusaha setenang mungkin.
“Sok tahu banget lo! Kan, dari awal gue sudah bilang jika gue memang gak mengerti soal ini. Lo juga ngejelasinnya gak jelas begitu, gimana gue bisa ngerti,” bantah Barra masih dengan gaya pongahnya.
“Okay. Jika begitu kita sudahi saja pelajaran hari ini. Sejak awal saya sudah berusaha memberikan materi yan terbaik untuk kamu, tapi nyatanya kamu memang tak pernah ada niat untuk belajar. Bisa minta tolong untuk panggilkan, Papa, kamu? ada hal pentig yang ingin saya bicarakan,” pinta Trio yang membuat Barra cukup merasa senang. Sebab ia yakin jika saat ini Trio akan memilih untuk menyerah. Yang karenanya kini, Barra hanya mengangguk setuju seraya ia minta kepada Bi Tina untuk segera memanggilkan sang Papa.
Papa mulai menghampiri mereka dengan senyuman manisnya. “Ya, Trio. Ada apa ya? Apa sudah selesai pembelajaran hari ini? Sepertinya seru sekali ya,”
“Benar, Pak Erlangga. Kami baru saja menyelesaikan pembelajaran hari ini. tapi, Pak. Saya mohon maaf sebelumnya. Sepertinya putra, Bapak, ini tidak cocok diajari dengan saya. Mungkin, Barra, punya kriteria tersendiri untuk seorang pengajar yang terbaik untuknya. Jadi, saya ingin berhenti mengajar perhari ini, Pak Erlangga. Sekali lagi saya minta maaf ya, Pak. Terima kasih karena, Bapak, telah memberikan kesempatan kepada saya untuk menjadi guru privat, putra Bapak,” jelas Trio yang sungguh hal ini membuat Papa begitu naik darah seketika. Sebab ia yakin jika saat ini sudah pasti Barra sudah membuat kesalahan yang fatal pada Trio. Terlebih dikala kini ia dapati Barra yang tengah tersenyum penuh kemenangan.
“Ehehe, ini sebenarnya ada apa ya, Trio? Apa gak dipikir-pikir dulu? Oh atau, Barra, ada buat kesalahan sama kamu? Tidak apa-apa, kamu jujur saja ke saya,” pinta Papa lagi yang hal ini cukup membuat Barra begitu kesal.
“Tidak ada apa-apa, Pak. Sekali lagi saya mohon maaf ya, Pak. Saya permisi. Assalamu’alaikum,” jawabnya lagi seraya ia berpamitan untuk dapat segera pergi dari sana.
“Wa’alaikumussalam. Terima kasih, Trio, hati-hati,” jawab Papa seraya kini ia tengah menatap dengan tatapan yang tajam juga sinis kepada seorang Barra yang sejak tadi terlihat begitu santai. “Apa yang sudah kamu lakukan, Barra? Apa yang membuat, Trio, memilih untuk berhenti menjadi guru privat kamu? Kamu tahu kan, kalau dia itu seorang pengajar terbaik?! Dia itu dosen muda yang berprestasi! Mau ditaruh mana wajah, Papamu, ini, Bar! Ayo jawab, Papa!” lanjut Papa dengan emosi yang berapi api. Namun Barra tetap menanggapinya dengan santai seraya kini ia meatap sang Papa balik masih dengan tatapan menyebalkannya. Yang sungguh sebenarnya Papa ingin memukulnya tapi tetap ia berusaha untuk menahan emosinya.
***
“Menyakiti hanya akan membuatmu tersakiti. Karena yang kau sakiti membuatmu merasa penuh dosa.” -Tulisannisa-