Part 4. Memikirkan Dendam Baru

822 Words
Mas Harris mengejarku ke westafel. Benarkah dia tahu kalau aku mengaduk buah-buahan itu dengan pir? Kali ini dia pasti akan membunuhku. Bulu kudukku meremang membayangkan kematianku di tangan pria tampan yang mirip suamiku itu. ------- Rasanya nyaman sekali bisa membaringkan tubuh di atas kasur. Seharian tadi sama sekali tidak bisa istirahat karena menyiapkan acara malam ini. Mbak Tutik, karena suaminya bekerja jadi baru bisa datang setelah jam lima sore. Begitu juga Mbak Sofia, istri Mas Rasyid, dan Mbak Aulia istri Mas Ibnu. Anak Mama hampir semuanya pekerja kantoran kecuali Mas Harris. Mas Harris memiliki banyak usaha. Menurut Mama, anak-anaknya yang paling telaten dan tekun memang cuma Mas Harris. Sehingga dia yang terlihat paling sukses. Berapa pun modal yang diberikan orang tua kepada Harris semua berwujud menjadi usaha. Berbeda dengan Arsen, yang selalu meminta modal usaha namun tidak pernah terlihat hasilnya. Sampai bosan yang memberikan modal. “Tapi dia jadi bangkrut setelah ditipu temannya sendiri, Na,” kalimat Mama setahun lalu kembali terngiang. “Harris tu gak tegaan, makanya suka dimanfaatin orang,” Ingatanku masih lanjut mengenang ucapan Mama. “Apa kata Mama? Harris gak tegaan? Dia sejahat itu kepadaku!” aku mendecih kesal. "Helena!" Belum puas aku membaringkan tubuhku, sebuah suara menggema, mengagetkanku. "Iyaaa." Aku langsung berjingkat. Jangan sampai dia masuk ke kamarku untuk balas dendam. "Keluar! apalah kamu nie, masih sore dah tiduran aja. Kayak ada suami saja. Beresinlah dulu itu meja." Suara Mas Harris masih menggema. Aku turun dari ranjang, membuka pintu kamar, dan keluar lagi. Kulihat Mas Harris sedang menatapku dengan penuh kepuasan mengerjaiku. Merah-merah di kulitnya sudah dibalurin dengan ramuan buatan Mama. Sedang sekarat pun masih sanggup teriak aja nih orang. Aku membatin. "Biarin ih Harris. Capek dia. Dari pagi dah di dapur sama Mama" Mama membela. Nyes, rasanya aku bahagia memiliki ibu mertua yang menyayangiku. Sayangnya keberadaanku di sini karena tertipu oleh Arsen. Kalau tahu dia dah mirip benalu di keluarganya, mana mau aku nikah sama dia. Aku memang mencintainya, tetapi aku bukan type orang yang mudah dibutakan oleh cinta. Terus ini apa dong? Aku terjebak. "Iya itu si Harris bawel banget." Mbak Tutik menimpali. "Cepatlah kawin lagi kau tu Harris, biar tidak reseh." Mas Ibnu ikut menyumbang suara. Semua tertawa. Tubuhku terasa melambung, karena bahagia peroleh banyak pembelaan. "Kawin mah gampang. Cari wanita yang betul-betul itu sulit." Sahut Harris. "Yang juga royal sama Mama." Aku mendengus. Memohon pada Tuhan dalam hati, semoga mulut lamis itu terkunci dari menyinyiriku kali ini. Aku mengambil lap, membasahinya dan berniat mengelap meja. "Kalo beliin sesuatu buat Mama gak pilih yang murahan" Lanjut Mas Harris. Seketika tanganku berhenti bergerak. Tuh kan? Dia pasti nyinyir dan menyindir durian yang kubeli? Ingin rasanya aku menyumpal mulut nyinyirnya itu dengan serbet basah ini. Sepertinya aku harus membuat dia mengalami balasan yang lebih dari malam ini. Kambuhnya alergi saja tidak dapat membuatnya tobat. Kulanjutkan gerakan tanganku mengelap meja dengan cepat, sambil memikirkan apa yang bisa kulakukan, untuk memberi pelajaran kepada seorang Harris. "Helena, aku minta maaf ya untuk kejadian tadi." Tiba-tiba Mbak Tutik mendekatiku. "Apa Mbak? Tanyaku. "Lipstikmu." Sahut Mbak Tutik. Dia merasa bersalah karena lipstikku dihancurin oleh Wildan. "Oh tidak masalah." Sahutku tulus. Sayangnya ketulusanku itu langsung ternoda oleh mulut lamis Mas Harris yang tiba-tiba kembali nyeletuk. "Kenapa kamu Tutik, lipstik murahan gitu, kamu beli 10 juga dapet buat menggantinya." "Tau apa kamu soal lipstik, bawel!" Mbak Tutik meraih lap di meja, dan dilemparkannya ke muka Harris. Seperti sebelumnya, pria itu berusaha menghindar. "Sudah ayo siap-siap yang mau pulang." Mama mengingatkan. "Yang mau menginap ya menginap. Itu kamar cukup buat kalian semua." Seketika yang masih tiduran pada bangun, mencari barangnya masing-masing dan bersiap untuk pergi. Mas Rasyid beserta keluarganya, begitu juga Mas Ibnu dan Mbak Tutik. Jam menunjukkan angka 23:30 menit. "Pulang semua?" Tanyaku. Biasanya Mbak Tutik suka menginap. "Iya, Na. Besok masih ada acara keluar." Sahut Mbak Tutik. "Ya udah hati-hati, Mbak." Balasku. Kami mengantar keluar. Sampai mereka masuk ke mobil masing-masing dan meninggalkan halaman rumah. Mas Harris berinisiatif menutup gerbang. Mama masuk rumah lagi, aku berniat mengikutinya ketika tiba-tiba suara Mas Harris kembali mengusik. "Woi, Helena!" Aku berhenti, kembali memutar tubuh menghadapnya. "Apa?" "Kamu tidak lihat? Aku sedang kepayahan begini, kamu tidak ada inisiatif membantu gitu?" "Lah, ngapain pulak aku membantu? Itu tugas Mas Harris nutup gerbang!" Sahutku seraya memutar tubuh kembali. "Bantuin, Na. Masmu lagi sakit itu." Rupanya Mama masih mendengar suara kami. “Gak papalah, Ma. Kuat dia tu.” Aku coba menawar. “Hush, jangan gitu. Sana bantuin dulu, gerbangnya agak rusak, berat.” Mama masih mengharap. "Baik, Ma." Sahutku akhirnya. Terpaksa berputar lagi untuk membantu Mas Harris. Dasar manja! Cuma gitu doank minta bantuan! Gerutuku. Kaki melangkah mendekati tempat Harris berada. Namun, sebelum aku sampai di gerbang, kulihat Mas Haris bertindak mencurigakan. Kepalanya mengarah ke rumah, matanya memperhatikan kamar Mama. Dia pasti sedang memastikan apakah Mama sudah masuk kamarnya atau belum. Aku canggung, dadaku berdebar, teringat kejadian di westafel tadi. Apa yang akan dia lakukan padaku kali ini?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD