Pagi menjelang, dan kesadaran kembali mengisi diri Jolicia. Perlahan, Jolicia membuka matanya dan kembali netra emasnya yang sendu terlihat menyapa dunia. Langit-langit mewah dan kelambu lembut yang mengelilinginya, masih sama dengan terakhir kali ia lihat. Jolicia sadar, jika dirinya berada di tempat kemarin. Jadi, apa yang didengarnya kemarin bukan mimpi. Lalu, apakah benar dirinya adalah istri dari Duke Darrance Baxter? Jika pun itu benar, lalu kenapa dirinya yang menjadi istri tuan Duke? Bukankah seharusnya kakaknya yang menjadi Duchess? Sebenarnya apa yang terjadi? Apa mungkin benar jika dirinya mengalami lupa ingatan hingga tidak bisa mengingat apa yang sudah terjadi?
Di tengah semua pertanyaan yang memenuhi benarnya itu, barulah Jolicia menyadari jika sudah ada seseorang yang menungguinya bangun. Jolicia menoleh dan saat itulah suara lembut terdengar. “Selamat pagi Nyonya Duchess Baxter. Semoga kesehatan selalu menyertai, Nyonya. Apa Nyonya sudah terbangun sepenuhnya? Mari, saya bantu untuk bersiap,” ucap seorang pelayan yang kini mendekat ke ranjang dan menyingkap kelambu yang menutupi ranjang. Saat itulah, Jolicia melihat seorang perempuan muda yang usianya hanya berbeda sekitar empat atau lima tahun dengannya. Namun, melihat bagaimana dirinya bersikap dan para pelayan yang tunduk padanya, Jolicia bisa menilai jika wanita itu memiliki status setidaknya sebagai kepala pelayan atau setingkat itu.
Wanita itu menyadari jika Jolicia masih belum memberikan respons dan malah terlihat tengah memikirkan sesuatu. Wanita itu mengulum senyum. “Maafkan saya, Nyonya. Saya hampir lupa pesan yang sudah Tuan Duke sampaikan pada saya. Perkenalkan, saya Freya Bedle. Saya kepala pelayan, sekaligus pelayan pribadi Nyonya. Jika membutuhkan apa pun, Nyonya bisa mengatakannya pada saya. Sekarang, mari saya bantu untuk bersiap. Nyonya tentu saja harus sarapan, setelah sekian lama berbaring di atas ranjang.”
Jolicia menerima uluran tangan Freya. Pelayan itu tampak begitu lembut memperlakukan Jolicia yang memang masih terlihat seperti seorang pasien yang baru saja bangun dari tidur panjangnya. Jolicia tidak mengatakan banyak hal, sebelum dirinya berendam dengan air hangat beraroma dan kelopak bunga yang memenuhi permukaan air yang menelan Jolicia sebatas bahunya. Di dalam kamar mandi yang luas dan mewah tersebut, hanya ada Freya yang memang melayani dan membantu Jolicia membersihkan diri. Tentu saja Freya masih mengingat jika nyonya muda ini sama sekali tidak senang saat banyak orang yang membantunya saat mandi.
Freya membantu menyuci rambut cokelat keemasan Jolicia yang selalu saja bisa membuatnya terpukau. Saat itulah, Jolicia tidak bisa menahan diri untuk terus terdiam. “Freya, bisakah aku bertanya sesuatu padamu?” tanya Jolicia membuat Freya menghentikan gerakan tangannya. Namun, gerakan tangan Freya kembali berlajut saat Freya mengulum sebuah senyuman. Freya tampak seperti seorang kakak yang menyayangi adik manisnya.
“Silakan, Nyonya. Saya akan menjawab semampu saya,” ucap Freya lembut, tetapi tidak meninggalkan rasa hormatnya pada istri dari sang Duke Baxter yang manis ini.
Entah kenapa, Jolicia merasakan jika dulu dirinya sudah memiliki ikatan yang kuat dengan wanita ini. Mungkin, ikatan ini lebih daripada ikatannya dengan kakak kandungnya sendiri. Jolicia menunduk dan menatap tangannya yang bermain di atas permukaan air yang tertutupi kelopak bunga. “Apa aku tidak sadarkan diri dalam waktu yang lama?” tanya Jolicia pada akhirnya. Jujur, ini adalah pertanyaan yang sangat ingin Jolicia ajukan. Sudah berapa lamakah dirinya tidak sadarkan diri dan berbaring di atas ranjang, hingga tubuhnya bisa selemas ini?
Freya mengulum senyum. Ia merasa lega karena pada akhirnya, nyonya yang sangat ia sayangi ini mengajukan pertanyaan ini. Jujur saja, tadinya Freya dan para pelayan lain merasa sangat cemas karena Jolicia sama sekali tidak mengajukan apa pun mengenai ingatannya. Padahal, semua orang di mansion Duke Baxter sudah mengetahui fakta jika Jolicia memang mengalami lupa ingatan yang membuatnya melupakan semua hal saat dirinya sudah menjadi seorang Duchess yang dicintai oleh rakyatnya. “Nyonya tidak sadarkan diri sekitar empat bulan,” jawab Freya.
Jelas saja Jolicia merasa terkejut. Jadi, ia sudah tidak sadarkan diri hingga empat bulan lamanya? Tapi kenapa dirinya bisa tidak sadarkan diri dalam waktu selam itu? “Ah, jadi itulah penyebab dari semua yang aku rasakan ini? Tubuhku terasa lemah, dan terkadang tubuhku tidak mengikuti instruksi yang kuberikan.” Jolicia masih saja memainkan tangannya di permukaan air. Freya yang melihatnya tidak bisa menahan diri untuk mengulum senyum. Meskipun lupa ingatan, kebiasaan Jolicia sama sekali tidak berubah. Jolicia masih senang bermain dengan air ketika dirinya berendam seperti ini.
“Tapi Nyonya tidak perlu cemas, Tuan Duke sudah memikirkan hal tersebut. Karena itulah, setelah mandi dan sarapan nanti, Nyonya akan melakukan terapi dengan ahli yang memang sudah didatangkan secara khusus oleh Tuan Duke,” ucap Freya. Itu memang jadwal Jolicia untuk hari ini. Jolicia harus melakukan terapi fisik agar dirinya bisa menjalani kesehariannya dengan normal kembali. Tentunya, setelah empat bulan terbaring di atas ranjang dengan keadaan tidak sadarkan diri, bisa membuat tubuh Jolicia mengalami penurunan fungsi. Karena itulah, atas sarang Chaiden, Darrance meminta ajudannya untuk memanggil terapis paling berpengalaman dan kompeten untuk membantu Jolicia.
“Aku tidak nyaman dengan orang asing.”
Freya tersadar saat mendengar ucapan Jolicia. Apa yang dipikirkan oleh Freya memang benar, Jolicia sama sekali tidak berubah. “Nyonya tidak perlu khawatir, saya akan mendampingi Nyonya. Saya tidak akan meninggalkan Nyonya lagi.”
Jolicia mengernyitkan keningnya. Tentu saja Jolicia merasa aneh dengan apa yang dikatakan oleh Freya. Namun, Jolicia tidak mencoba untuk mempertanyakannya. Jolicia tengah menahan dirinya. Ada beberapa hal yang memang harus Jolicia pastikan, tetapi Freya bukan orang yang bisa memberikan jawaban atas semua pertanyaan yang kini memenuhi benak Jolicia. Freya menatap keterdiaman Jolicia. Ia kini kembali melanjutkan kegiatannya untuk membilas rambut Jolicia yang ia keramasi.
Tidak memakan banyak waktu, Freya sudah selesai membantu Jolicia membersihkan diri. Kini, Freya kembali membantu Jolicia melangkah perlahan ke luar dari kamar mandi. Freya mengulum senyum, saat Jolicia duduk dengan patuh di kursi rias. Freya menyentuh bahu Jolicia. “Sekarang, saya akan merias Nyonya. Saya benar-benar merindukan kegiatan ini.”
Jolicia melihat pantulan Freya, dan merasakan hatinya yang menghangat. Sungguh, Jolicia merasakan jika Freya hadir dengan aura seorang kakak yang mengasihi adiknya. Jolicia merasa sangat senang dengan hal itu. “Silakan, aku mengandalkanmu, Freya,” ucap Jolicia lalu memejamkan matanya membiarkan Freya menjalankan tugasnya. Untuk saat ini, Jolicia akan melakukan apa yang diarahkan oleh Freya. Jolicia yakin, jika orang-orang yang ia temui di sini tidak memiliki niat buruk terhadapnya.
Setidaknya, Jolicia harus bersikap baik di sini. Walaupun semuanya bersikap hormat dan menyebutnya sebagai nyonya Duchess, Jolicia tidak bisa bersikap santai. Jolicia harus tetap waspada sebelum dirinya bertemu dengan Duke Baxter nanti. Ya, Jolicia harus bertemu dengan Duke untuk membicarakan semua ini. Jolicia harus mendengar detail dari semuanya, agar dirinya bisa menentukan langkah apa yang akan ia ambil selanjutnya.
**
“Nyonya,” panggil Freya cemas. Bagaimana dirinya tidak cemas, saat Jolicia memaksa untuk ke luar dari kamarnya dan menemui Duke yang memang sudah tiba di kediaman Duke Baxter ini. Freya tentu saja cemas, karena saat ini sudah tiba bagi Jolicia untuk beristirahat. Apalagi, tadi siang Jolicia sudah sibuk untuk menjalani terapi untuk pertama kalinya. Tentu saja hal itu sudah membuat tubuh Jolicia sangat lelah dan sakit. Meskipun Jolicia tidak mengatakannya, Freya mengetahui hal tersebut dari terapis yang memang menangani Jolicia. Bahkan sang terapis mengatakan pada Freya untuk berjaga, karena sangat mungkin jika di tengah malam Jolicia mengalami demam tinggi.
Saat ini saja, Freya sudah mendengar napas Jolicia yang terengah-engah menandakan jika Jolicia sudah sangat kelelahan. Meskipun Jolicia memiliki banyak waktu untuk beristirahat semenjak waktu terapi hingga malam tiba seperti ini, berjalan dari kamarnya hingga ke ruang kerja Duke tentu saja terasa sangat melelahkan bagi orang yang baru saja terbangun dari tidur panjang. Jolicia menoleh pada Freya yang masih setia membantunya berjalan. “Freya, tolong bersabar dan bantu aku sedikit lagi. Setelah aku berbicara dengan Tuan Duke, aku tidak akan melawan perkataanmu lagi,” ucap Jolicia.
Tentu saja Freya tidak bisa menolak apa yang diminta oleh Jolicia ini. Freya hanya bisa membantu Jolicia melangkah dengan perlahan, menyusuri lorong yang menghubungkan kapar pribadi sang Duchess dengan ruang kerja miliki Duke. Setelah perjuangan panjang yang membuat Jolicia banjir keringat, Jolicia bisa sedikit menghela napas lega saat sudah Freya mengatakan jika keduanya sudah hampir sampai pada ruang kerja Duke. Tiba di hadapan pintu besar berwarna hitam, Freya pun mengetuk pintu. “Tuan Duke, maafkan saya, tetapi Nyonya Duchess memiliki beberapa hal yang perlu dibicarakan secara pribadi dengan Tuan. Dan kini, Nyonya sudah bersusah payah untuk datang ke ruang kerja Tuan, jadi—”
Belum juga Freya menyelesaikan perkataannya, pintu ruang kerja tersebut sudah terbuka lebar. Namun, begitu dua orang pria ke luar dari sana, pintu itu segera tertutup kembali. Darrance menatap istrinya yang tampak dibanjiri keringat. Tentu saja Darrance mengernyitkan keningnya, lalu mengambil alih tubuh Jolicia dari tangan Freya. Dengan lembut, Darrance menyeka keringat yang membanjiri kening Jolicia, sebelum mengangkat tubuh ringkih Jolicia ke dalam gendongannya. Rupanya, Darrance malah membawa Jolicia kembali ke arah kamar. Jolicia menatap Freya yang tertinggal di belakang, dan tampak berbincang dengan Louis—ajudan setia Darrance.
Jolicia berniat membuka mulutnya, tetapi Darrance lebih dulu berkata, “Simpan semua yang ingin kau sampaikan. Kita akan bicara setelah tiba di kamar.”
Karena itulah, Jolicia memilih bungkam dan membiarkan Darrance menggendongnya hingga tiba di kamar. Kini, Jolicia di dudukkan di tepi ranjang, semua kelambu sudah diikat di masing-masing tiang. Karena itulah, Jolicia bisa leluasa duduk di tepi ranjang, dan Darrance duduk di kursi yang menghadap padanya. “Jadi, apa yang ingin kau bicarakan hingga nekat berjalan sejauh itu ke ruang kerjaku, hm? Apa kau ingin mati kelelahan?” tanya Darrance sedikit kasar pada Jolicia.
Namun, Jolicia tampak tidak tersinggung. Seakan-akan, dirinya memang sudah terlalu terbiasa menghadapi sikap Darrance ini. Jolicia malah merasakan jika kini hatinya menghangat. Entah kenapa, Jolicia merasa bahagia. Ia yakin, jika apa yang diucapkan oleh Darrance adalah bentuk perhatian dan kasih sayang yang memang sulit diucapkan oleh sosoknya yang terbiasa bersikap dingin pada orang di sekitarnya. Jolicia sendiri tidak mengerti dengan perasaan yang menyusup ke dalam hatinya ini, tetapi kini Jolicia tidak memiliki waktu untuk memikirkan hal itu. Jolicia memiliki hal yang lebih penting untuk dibicarakan dengan Darrance saat ini.
Jolicia menatap Darrance dan berkata, “Maafkan sikap tidak sopan saya Tuan Duke. Sa—”
“Alzel,” potong Darrance. Membuat kening Jolicia mengernyit dalam. Namun ketika Jolicia tersadar jika hal itu tidak sopan, Jolicia kembali menormalkan ekspresinya dengan cepat.
Netra emas Jolicia bertubrukan dengan netra biru gelap yang seolah-olah siap untuk menelan Jolicia saat itu juga. “Maksud Tuan?” tanya Jolicia.
Darrance terdiam beberapa saat. Wajahnya yang tampan tak menunjukkan ekspresi apa pun. Sebelum Darrance berkata, “Tidak. Lupakan hal itu. Lanjutkan apa yang ingin kau katakan.”
Jolicia tentu saja merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh Darrance dari sikap anehnya barusan. Namun, lagi-lagi Jolicia menepikan hal tersebut dan memilih untuk fokus dengan niat awalnya. “Saya ingin membicarakan mengenai diri saya sendiri,” ucap Jolicia. Meskipun terasa rancu, Darrance sudah bisa menangkap apa yang dimaksud oleh Jolicia. Tentu saja Darrance sudah lebih dari paham bagaimana watak wanita satu ini. Jolicia adalah seorang pemikir, tetapi Jolicia selalu segan untuk mengatakan apa yang ia pikirkan itu. Lebih tepatnya, Jolicia sulit untuk membuka diri pada orang-orang disekitarnya. Namun, begitu dirinya percaya pada seseorang, terkadang Jolicia dibutakan oleh kepercayaannya itu. Hal itu jugalah yang membuat Jolicia berakhir seperti ini.
“Kenapa bisa saya berakhir tidak sadarkan diri selama empat bulan? Sebelum itu, kenapa kini saya yang menjadi istri Anda? Seharusnya, Anda menikah dengan Kak Vivian. Anda harusnya menjadi kakak ipar saya, dan bukannya menjadi suami saya. Ini terlalu aneh untuk saya mengerti. Lebih aneh lagi, ketika saya tidak bisa mengingat apa pun mengenai hubungan kita. Saya masih yakin, jika kita tidak memiliki hubungan apa pun, bahkan kita hanya bertemu beberapa kali itu pun saat Anda mengunjungi kediaman keluarga saya,” ucap Jolicia mengeluarkan semua hal yang menumpuk dalam benaknya.
Apa yang Darrance tepat. Ternyata Jolicia memang sudah mengurutkan semuanya menjadi sederet pertanyaan yang tidak ada ujungnya. Kepala Darrance yang seharian ini dipusingkan oleh urusan kekaisaran yang dibebankan kepadanya, kini Jolicia malah menambah rasa pusingnya dengan setumpuk pertanyaan yang harus ia jawab satu persatu. Namun, Darrance tidak bisa menyalahkan Jolicia. Darrance malah merasa jika apa yang dilakukan oleh Jolicia ini adalah hal yang sangat normal, jika pun dirinya berada di posisi Jolicia, Darrance sudah bisa dipastikan akan melakukan hal yang sama.
“Apa Freya yang mengatakan jika kau sudah terbaring selama empat bulan?” tanya Darrance. Jolicia mengangguk sebagai jawaban.
Darrance menyandarkan punggungnya lalu menyilangkan kakinya dengan gerakan yang sangat elegan. Terlihat jelas jika Darrance memang seorang pria dari kalangan bangsawan yang sudah mendapatkan didikan sejak kecil untuk menjadi seorang bangsawan kelas atas. Darrance menatap sosok Jolicia yang masih duduk di tepi ranjang. Sinar bulan yang menembus jendela dan menyirami sosok Jolicia itu, tampak membuat Darrance terpana untuk beberapa saat sebelum kembali dengan akal seharnya.
“Aku mengerti jika banyak hal yang kau pikirkan dan ingin kau tau, tetapi aku tidak bisa menjawab semua pertanyaan yang kau ajukan tadi,” ucap Darrance seakan-akan siap untuk menutup pembicaraan yang bahkan baru saja dimulai.
Tentu saja Jolicia tidak akan melepaskan Darrance begitu saja. Jolicia sudah berusaha sejauh ini, entah untuk menahan diri untuk menanyakan pada sembarang, hingga memaksakan diri untuk menemui Darrance di ruang kerjanya yang terletak sangat jauh dari kamarnya. Karena itulah, Jolicia tidak akan membiarkan hal ini berlalu begitu saja. Setidaknya, Jolicia harus menanyakan apa alasan Darrance. Jika alasannya tidak masuk akal, maka Jolicia akan menekan Darrance untuk melanjutkan pembicaraan ini hingga menemukan titik terang.
“Tapi kenapa?” tanya Jolicia masih menatap netra biru gelap milik Darrance.
Darrance masih nyaman mengamati Jolicia yang dihujani cahaya bulan yang keperakan. Cahaya bulan tersbut, membuat Jolicia seakaan-akan semakin bersinar dan membuatnya semakin memesona. Darrance menghela napas. “Ini sudah terlalu malam, kau harus istirahat. Kita bisa melanjutkan pembicaraan ini esok hari.”
Jolicia menggigit bibirnya. Meskipun dirinya lelah, Jolicia tidak bisa beristirahat dengan tenang, saat kepalanya masih dipenuhi oleh pertanyaa-pertanyaan yang menjejal di sana. Jolicia menggeleng. “Saya tidak lelah. Karena itu, tolong lanjutkan pembicaraan ini. Saya benar-benar membutuhkan jawaban dari Anda,” ucap Jolicia setengah memohon.
Darrance yang melihat sikap keras kepala Jolica, mau tidak mau mengarasa agak kesal. Darrance mengernyitkan keningnya dalam. “Kau mungkin melupakan banyak hal, tetapi kau sama sekali tidak melupakan sifat keras kepalamu yang sering membuatku jengkel itu,” ucap Darrance lalu bangkit dari duduknya sebelum dalam sekejap mata mengurung Jolicia dalam kungkungan tubuh jangkuk dan besarnya. Kini, Darrance menumpukan kedua tangannya masing-masing di samping tubuh Jolicia. Sementara itu, wajah Darrance berada sangat dekat dengan wajah Jolicia yang kini mendongak tanpa sadar.
Posisi keduanya tampak begitu intim, dan jujur saja Jolicia merasakan jantungnya berdegup kencang. Degupan yang sangat menyenangkan dan entah kenapa sangat ia rindukan. Jolicia merasa dirinya gila, saat berharap jika pria berstatus Duke ini merengkuh dirinya ke dalam pelukan. Sepertinya Jolicia benar-benar sudah gila. Bagaimana mungkin Jolicia bisa berpikir seperti ini? Karena terlalu larut dalam pikirannya sendiri, Jolicia tidak menyadari jika kini Darrance tengah mengamatinya dengan saksama.
“Kau mungkin bisa berbohong jika kau tidak lelah, atau memaksakan diri untuk begadang. Tapi aku tidak akan membiarkanmu melakukannya. Lebih tepatnya, aku tidak akan membiarkan seorang ibu hamil melakukan hal itu,” ucap Darrance menarik Jolicia ke dunia nyata.
Jolicia mengernyitkan keningnya. “Ibu hamil? Maksudnya, aku … hamil?!”