Rona jingga menghias cakrawala bagai lukisan penyambut malam. Cahaya terang berangsur menghilang berganti temaram. Seharusnya aku dan Mama menghabiskan waktu bersama sore ini untuk bersantai, tapi pemandangan yang tertangkap netraku membuatku merasakan cemas yang mendalam.
"Ma, sudah, berhenti mengepel lantainya. Kalau Oma melihat, Mama pasti kena semprot lagi." Aku memperingati Mama yang sedang mengepel lantai ruang makan.
"Nggak apa-apa, Rissa. Mama, kan, sudah biasa mengepel lantai dan mencuci."
"Tapi kalau Oma lihat, Mama pasti kena marah lagi." Aku mengedarkan pandangan mencari tahu keberadaan Oma, penguasa rumah besar dan mewah bak istana ini. Wanita baya itu bisa murka melihat Mama mengepel layaknya asisten rumah tangga. Menurutku, tidak ada yang salah dengan yang Mama lakukan. Kami terbiasa melakukan hal itu sebelum tinggal di sini. Namun, bagi Oma hal itu dianggap hina. Aneh, aku kadang tidak mengerti cara berpikir Oma yang terlalu mengagungkan kasta.
Sudah hampir sepuluh tahun aku dan Mama tinggal di rumah keluarga besar Papa, tetapi baik Oma maupun Mama Lastri, istri pertama Papa, tidak pernah menganggap aku dan Mama sebagai keluarga mereka. Mereka seakan mengabaikan keberadaan kami. Segala usaha kami untuk bisa diterima di keluarga ini sepertinya sia-sia. Aku selalu ingin menangis jika mengingat hal itu. Semua yang aku dan Mama lakukan di rumah ini selalu saja salah.
Sebelumnya, kami tinggal di apartemen sederhana di jantung kota, lalu Papa meminta kami tinggal bersamanya dan juga keluarga besarnya. Awalnya, Mama menolak. Namun, Papa memaksa. Di sinilah aku dan Mama tinggal sekarang. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Papa mempunyai dua istri dan dua orang anak dari istri yang berbeda.
"Ranti! Ngapain kamu pegang kain pel itu? Kasih ke Mbok Darmi kain pelnya. Sungguh memalukan sebagai nyonya kedua rumah ini kamu masih pegang kain pel. Kalau ada orang lain yang melihat, bagaimana? Seorang menantu keluarga Pratama, kok, ngepel lantai? Benahi diri kamu biar penampilan kamu kayak Lastri, tidak memalukan kayak pembantu begini!"
Seperti itulah kata-kata yang sering terlontar dari mulut nenek tua itu. Aku tidak membencinya. Hanya saja, aku tidak suka dengan ucapan yang selalu dilontarkannya pada kami yang seakan-akan menganggap aku dan Mama memang sangat tidak pantas berada di sini. Mungkin karena Mama berasal dari keluarga sederhana dan tidak datang dari keluarga kaya raya seperti Mama Lastri. Di mata Oma, setiap anggota keluarga Pratama harus berlaku seperti seorang putri kerajaan yang sempurna.
Aku dan Mama bisa bertahan selama ini karena Papa yang sangat menyayangi kami. Saking sayangnya padaku, Papa kadang berlebihan memanjakanku dan acap kali membuat kakakku, Abs, iri. Mungkin itu yang membuat Abs tak pernah menyukaiku. Iya, semua orang di rumah ini dan teman-temannya memanggil Abraham, kakakku, dengan panggilan Abs seperti kependekan populer dari salah satu otot perut, abdominis atau biasa dikenal dengan six packs alias roti sobek. Bisa jadi, mereka memanggilnya Abs lantaran tubuh atletis Abs memang diperindah oleh lekukan otot-otot yang menonjol di perutnya.
"Maaf, Nyonya Besar. Bu Ranti hanya membantu saya. Saya tadi mematikan kompor dulu." Beruntung, Mbok Darmi segera muncul dan membela Mama. Asisten senior itu selalu bersimpati pada kami. Mungkin, karena dia melihat perjuangan kami di sini yang tidak mudah.
"Lain kali, kerja jangan borongan. Suruh asisten lain yang mematikan kompor!" tandas Oma.
"Baik, Nyonya." Mbok Darmi sedikit membungkuk lalu mengambil alih gagang alat pel dari tangan Mama sambil berkata pelan, "Terima kasih, Bu."
"Sama-sama, Mbok."
"Kamu, Ranti. Kamu itu harus tahu diri. Kamu itu Nyonya. Tidak boleh sembarangan pegang kerjaan rumah. Ingat, harga diri keluarga Pratama itu lebih besar daripada harga dirimu!" Kini, Oma melontarkan kata-kata pedasnya untuk Mama.
Mama hanya mengangguk sambil tersenyum tipis merespons ucapan Oma. Wanita yang selalu menjadi panutanku itu seperti batu karang yang tahan dihantam ombak jutaan kali. Ia selalu bersikap manis kepada siapa pun, meskipun tersakiti. Aku bangga padanya.
***
Hari ini hari pertama aku berkuliah. Aku mengambil jurusan Manajemen Bisnis. Aku ingin kelak bisa membantu Papa menjalankan perusahaannya. Seperti ketika masih bersekolah di SMA dulu, aku selalu berangkat diantar Papa sementara Abs mengendarai mobilnya sendiri. Saat ini, kami berkuliah di universitas yang sama. Papa tidak mau membeda-bedakan aku dan Abs.
Sebagai adik dari mahasiswa yang paling populer di kampus, tentu saja aku lebih cepat dikenal teman-teman seangkatanku dan angkatan Abs yang terpaut dua tingkat di atasku. Everything runs so smooth. Dua mata kuliah terlewati tanpa terasa. Biasalah, masih baru. Masih bersemangat empat puluh lima. Menjelang memasuki jam mata kuliah ketiga, salah satu teman sekelasku menginformasikan bahwa sang dosen berhalangan hadir hari ini. So, untuk mengulur waktu hingga Papa menjemputku, aku menunggu di kantin.
"Hai, gue Talita. Lo pasti adeknya Abs, ya?"
Seorang gadis cantik berambut ikal hitam sebahu menghampiriku saat aku duduk seorang diri sambil menyesap minuman yang baru saja kubeli.
"Mmm, iya." Aku menyunggingkan senyum canggung.
"Kok nggak bareng Abs?" Talita celingukan mencari sosok Abs.
Bareng Abs? Aku hanya tersenyum menanggapi pertanyaannya.
"Oh, pasti lo malu ya kalau deket-deket abang lo? Takut nanti dikira manja?" Talita mengangkat alis dan menipiskan bibirnya seolah-olah sedang menduga.
Aku sebenarnya ingin seperti itu. Namun, Abs tidak pernah menganggapku ada dan tidak pernah menganggapku sebagai adiknya.
Aku kembali tersenyum. Penilaian orang-orang di luar sana sangat berbeda dengan yang kurasakan. Aku yakin sekali citra yang dibangun dan diperlihatkan ke khalayak ramai oleh keluargaku sangatlah sempurna. Harmonis. It's a fake.
"Ya sudah, gue temenin, ya. Eh, Carissa, kan, nama lo?"
"Iya. Panggil saja Rissa."
"Lo panggil aja gue Lita." Talita tersenyum padaku.
Aku dan Talita memulai obrolan ringan. Sekali-kali Talita bertanya tentang Abs yang hanya bisa kujawab dengan ya, tidak, atau bahkan hanya dengan senyuman. Aku tidak mengetahui banyak hal tentang Abs meskipun aku tinggal serumah dengannya. Yang aku tahu Abs adalah seorang pemarah yang menyebalkan.
Beberapa menit kemudian aku melihat Abs dan teman-temannya masuk ke kantin. Abs dengan cepat mengalihkan pandangannya saat tatapan kami bertemu. Hmm, aku sudah terbiasa diperlakukan Abs seperti ini. Mungkin saja dia malu mempunyai adik dari istri simpanan papanya. Aku bisa mengerti. Namun, rasa diabaikan sedikit terobati ketika salah satu teman Abs dari masa SMA-nya menghampiriku dan Talita.
"Halo, cantik. Minum apa, nih?" Andra, teman Abs, berdiri di sampingku sambil senyum-senyum tidak jelas ketika kumengangkat pandangan ke arahnya. Kebiasaan buruk Andra memang seperti itu, tapi lucu juga.
Dibanding Abs, kurasa Andra lebih pantas menjadi kakakku. Sikapnya selalu ramah dan perhatian layaknya seorang kakak pada adik. Sementara itu, kulihat Abs duduk menjauh dengan dua orang temannya yang lain.
"Jus melon, Kak," balasku sambil mengangkat gelas minuman yang kupegang.
"Mau, dong." Andra langsung menyambar gelas minumku dan menyesap jus melon itu sampai hampir habis.
"Ih, Kakak, kok dihabisin, sih?" Aku melihat gelasku yang hampir kosong. Kesal sih, tapi senang karena Andra menjadi satu-satunya orang yang mengamuflasekan ketidakharmonisan hubungan kakak-beradik antara aku dan Abs. Andra membuatku seolah-olah tidak mau berdekatan dengan Abs, tapi dengannya aku masih mau bercanda.
"Masih ada itu." Andra menunjuk ke gelasku.
"Ya, ampun! Ini sih tinggal ampasnya doang." Aku mengerucutkan bibir berpura-pura marah.
"Marah?" Andra mencubit pipiku, lalu mengalihkan pandangannya pada Talita. "Eh, ada yang cantik lagi, nih. Temen lo, Riss?"
"Iya. Kenalin, Kak. Ini Talita." Aku memperkenalkan Talita pada Andra dan sebaliknya. "Lita, ini Kak Andra. Temannya Kak Abs."
Andra dan Talita berjabat tangan dan saling memperkenalkan diri. Tak berapa lama, salah seorang teman Abs yang duduk bersamanya memanggil Andra untuk kembali bergabung dengan mereka. Aku melihat tatapan tidak senang Abs saat Andra kembali mencubit pipiku. Mungkin Abs pikir aku gadis genit. Whatever-lah!
"Asyik ya hidup lo dikelilingi cowok-cowok ganteng," celetuk Talita.
Aku kembali tersenyum. Andai saja kamu tahu, hidupku tidak seindah dugaanmu, Lita.
"Habis ini lo langsung pulang?"
"Iya."
"Pulangnya bareng Abs?"
"Ya nggaklah. Abs pulang bareng temen-temennya. Gue nunggu jemputan bokap,"
Papa tidak memperbolehkanku naik angkutan umum atau taksi. Papa posesif sekali padaku. Mungkin karena aku anak perempuan. Aku menelepon Papa yang tak kunjung menjemputku. Namun, lama tak ada jawaban. Sepertinya, Papa sedang sibuk. Aku menelepon Pak Asan, sopirnya Papa, pun tidak diangkat. Hari semakin sore dan awan pekat sudah menyelimuti bumi. Pasti akan turun hujan deras. Sementara itu, Talita sudah pulang lebih dulu dan aku sendirian.
Benar dugaanku, beberapa saat kemudian rintik hujan mulai membasahi bumi. Bau tanah tercium dan menyeruakkan wangi khasnya yang menyejukan jiwa. Bumi tak lagi menahan dahaganya. Aku berdiri di teras kantin yang kebetulan menghadap ke tempat parkir kendaraan roda empat. Aku sengaja berdiri di sana agar Papa dengan mudah mengenaliku dan tidak repot-repot meneleponku saat menjemput.
Kenyataan kadang tak seindah harapan. Aku menanti kedatangan Papa, tapi yang melintas di hadapanku mobilnya Abs. Abs seperti sengaja menurunkan kaca jendela dan membiarkan air hujan menerpa wajahnya hanya untuk melemparkan senyuman mencemoohnya padaku. Tak ada sedikit pun rasa iba dalam tatapannya melihatku berdiri sendiri di sini.