11. Titik Yang Sama

1260 Words
"Beli ini juga boleh, Beb." cengir Virgo hingga menampilkan deretan gigi putihnya. "Ada warna apa saja, Mbak?" tanya Bebby. "Ada kuning, hijau, biru, abu-abu, putih, merah sama pink." sahutnya sembari memberi tahu warna apa saja yang ada. "Mau warna apa?" Bebby tidak ingin memutuskannya sendiri, dia meminta pendapat dari Virgo dulu karena lelaki itu yang menginginkannya membeli gaun tidur ini. "Putih saja." sahutnya tanpa dosa. "Ngarang saja, sudah transparan ambil warna putih." sembur Bebby sambil memukul pelan lengan Virgo. Yang dipukul hanya terkekeh. Pelayan toko itu pun ikut terkekeh mendengar obrolan Virgo dan Bebby barusan. "Atau mau yang model lain juga ada, Kak." pelayan tadi mencoba menawarkan barang lainnya. Seisi toko itu ternyata yang dijual semuanya adalah pakaian seksi. Bukan hanya pakaian transparan saja, tapi pakaian yang suka dipakai para penyanyi-penyanyi seksi yang memperlihatkan d**a atas hingga leher serta pahanya juga ada di sana. "Mas, aku boleh pakai ini?" Bebby iseng, dia menunjuk sebuah setelan yang hanya menutup bagian d**a serta pantatnya saja. Bahkan di bagian pusarnya terbuka dan baju itu tidak berlengan. "Boleh Beb, di kamar pakainya." "Ya pakaian begini mah dipakainya ke pantai, kalau liburan ke Bali gitu. Masa di dalam kamar, percuma dong." ujarnya yang membuat Virgo kembali tertawa. "Yang merah saja." sahut Virgo lagi. "Apa? Yang merah? Yang ini?" Bebby menunjuk manekin yang dibalut gaun tidur transparan tadi. Tidak ada sahutan dari Virgo, lelaki itu hanya mengangguk saja. Bebby melihat lagi gaun tidur tadi. "Ya sudah Mbak, yang merah katanya." "Habis ini kita makan dulu." ajak Virgo. "Hem..." *** Siapa sangka, jika tadi mereka bercanda-canda saat di penginapan dan saat sedang belanja. Tapi sekarang setelah menuju rumah Asep, hati keduanya sama-sama gelisah. Terutama Virgo, dia harap Chacha akan mengerti keputusan yang dia ambil. Bercandaan mereka tadi hanya sebagai penutup rasa gelisah mereka saja. Meski candaannya juga tidak bohongan, tapi mereka sama-sama tidak bisa memungkiri kegelisahan mereka saat ini. Sampailah mobil yang dikendarai Virgo di depan pelataran rumah Asep. Bisa Virgo lihat jika Chacha menunggunya di depan rumah. Istri keduanya itu terlihat bahagia mengetahui kedatangannya. "Apa tidak sebaiknya tentang perceraian itu dibicarakan nanti saja, Mas? Aku takut terjadi apa-apa sama kandungannya Chacha." Bebby kasihan saat melihat wajah madunya memerah dan bengkak karena banyaknya air mata yang dia keluarkan. "Lebih cepat lebih baik, Beb. Dari pada aku malah memberi harapan palsu buat Chacha, itu akan membuat dia lebih sakit hati lagi." Mereka berdua turun dari mobil. Sekarang sudah selesai isya, niat pulang usai salat ashar. Tapi tersita jalan-jalan, belanja dan makan serta perjalanan. Jadilah Virgo dan Bebby baru sampai di kediaman Asep jam delapan malam. "Assalamualaikum..." "Waalaikumsalam, Mas. Ya Allah, Mas. Kamu dari mana saja?" Chacha tidak menghiraukan Bebby sama sekali. Wanita berbadan dua itu langsung menarik tangan Virgo dan menyalami punggung tangannya. "Aku semalam tidur di penginapan sama Bebby." jawab Virgo tanpa ingin menutup-nutupi. "Ada yang mau aku bicarakan sama kamu dan keluarga, Cha." ujar Virgo tak ingin berlama-lama. "Tentang apa, Mas?" Chacha pura-pura bodoh, dia ingin melupakan kejadian kemarin. Wanita itu masih menangis meski Virgo sudah pulang. Tak ingin mengulur waktu lagi, Virgo mengajak Chacha masuk dan duduk di ruang tamu. Bebby ditugaskan oleh Virgo agar memberi tahu Aisyah untuk meminta Astri dan Asep menyusul ke ruang keluarga. Chacha merangkul tubuh Virgo, dia memeluk suaminya dan mencium tangannya berulang kali. Wanita itu sungguh ketakutan, dia takut ditinggal oleh Virgo. "Cha, kendalikan emosi kamu." tegur Virgo, dia malu dilihat Asep dan Astri dari jauh karena Chacha barusan mencium pipinya. Bebby duduk di sebelah kiri Virgo. Memang lelaki itu yang meminta agar Bebby duduk di sana. Disusul oleh Asep, Astri dan Aisyah yang juga akan menyaksikan apa yang akan Virgo putuskan. "Ada apa nak, Virgo?" Astri sangat penasaran sekali. "Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh." salam Virgo sebelum memulai pembicaraan. Semuanya menjawab salam yang Virgo ucapkan tanpa terkecuali. Lelaki itu masih membiarkan saja Chacha merangkul lengannya. Istri keduanya itu juga sudah mulai berhenti mengisak. "Sebelumnya aku minta maaf atas keributan yang terjadi kemarin. Tak ingin berbasa-basi karena ini juga sudah malam." Virgo menghela nafas sebentar. "Mengingat dan melihat kenyataan yang sudah terjadi di keluarga kami, keluargaku dan keluarga Abah. Dan setelah aku berpikir semalaman. Aku memutuskan untuk memulangkan Chacha kepada Abah sama Mama setelah nanti Chacha melahirkan." sekuat tenaga Virgo mengatakan hal ini. Terdengar helaan nafas serta kata-kata istighfar dari Asep, Astri dan Aisyah di sana. Tangisan Chacha kembali menjadi-jadi. Wanita itu tidak bisa menerima semua ini. Hatinya hancur, dalam kata lain Virgo sudah menalaknya. Tapi karena dirinya sedang hamil, maka tidak jatuh talak. "Mas... Aku tidak mau pisah sama kamu. Bagaimana dengan anak kita nanti, Mas?" Chacha memohon pada Virgo agar tidak menceraikannya setelah nanti melahirkan. "Apa tidak ada solusi lain, Go?" Astri mencoba bernegosiasi, barang kali menantunya bisa pindah haluan. "Menurut aku, ini yang terbaik bagi kita semua Ma. Sudah cukup Mamaku terluka dan sakit hati sekali saat suami pertamanya berselingkuh dengan Mama dulu. Aku tidak mau menjadi anak durhaka yang menyakiti Mamaku lagi dengan mempertahankan Chacha." meski berat mengatakan demikian, tapi Virgo harus memiliki rasa tega. "Tapi Chacha kan tidak salah, Go." namanya juga ibu, pasti ingin melihat putrinya bahagia. "Memang Chacha tidak salah, Ma. Tapi hingga sejauh ini, Mamaku belum juga bisa menerima Chacha. Jika pernikahan kami tetap dilanjutkan, bukan hanya Mamaku yang terluka. Tapi Chacha juga terluka karena tidak diterima Mama mertuanya." sungguh, Virgo tidak ingin ada yang ditutup-tutupi lagi. "Tapi kamu mencintai Chacha kan, Go?" Asep ikut bicara. "Dalam rumah tangga, cinta saja tidak cukup Bah. Harus ada rasa saling pengertian, menghargai, menghormati, percaya dan menyayangi. Selain itu harus bisa menciptakan surga di dalam rumah. Dan dengan keberadaannya, bisa membuat ikatan keluarga serta persaudaraan semakin erat." Virgo kembali menghela napasnya sebentar. "Jika hanya bermodalkan cinta, tidak akan cukup. Mencintai itu mudah, asalkan bersama pasti rasa cinta akan tumbuh dengan sendirinya. Tapi yang sulit adalah, menjadikan dua jalur itu bertemu pada titik yang sama." Sampai kini belum ada yang berniat memotong ucapan Virgo. Mereka masih mendengarkan meski diiringi tangisan yang Bebby keluarkan. "Dua jalur itu adalah, antara istri dan keluarga laki-laki. Begitu pun sebaliknya, antara suami dan keluarga istri. Kalau keduanya sudah tidak pada satu jalur, tapi masih berada di tujuan yang sama. Maka akan tetap sampai di titik yang sama. Tapi jika keduanya sudah tidak berada di jalur yang sama dan beda arah, hingga kapan pun tidak akan sampai di titik yang sama." sulit sekali Virgo membuat perumpamaan seperti ini. "Karena bagaimanapun, yang namanya hidup di antara dua jalur yang beda arah itu sulit. Mohon maaf kalau aku harus berkata seperti ini." Virgo menatap kedua orang tua istri keduanya secara bergantian. "Jadi yang kamu maksud, istri yang bisa satu jalan dengan keluargamu adalah Bebby begitu?" Asep memajukan tubuhnya. "Aku hanya melihat sebuah kenyataan, Bah. Bagaimanapun selama ini, Mama selalu emosi setiap melihat Chacha. Jika terus-menerus rumah dipenuhi emosi, apa itu yang dinamakan surga dalam rumah?" "Tapi aku tidak mau bercerai sama kamu, Mas." mohon Chacha lagi. "Aku yakin Cha, kamu nanti juga akan dipertemukan dengan orang yang lebih baik dari aku. Mungkin memang dari awal kita tidak berjodoh. Pernikahan kita sudah terhalang oleh pernikahanku dengan Bebby, mungkin itu pertanda. Jadi mau dipaksakan juga tidak akan menemukan titik yang sama." Virgo memandang Chacha, dia tidak ada niat menghapus air mata di wajah Chacha. "Tapi bagaimana dengan anak kita?" "Aku akan tetap bertanggung jawab, bagaimanapun dia darah dagingku. Kamu tidak usah khawatir untuk itu. Aku dan Bebby akan menengok ke sini kalau ada waktu senggang." Bebby hanya diam, dia tidak merasa harus bicara. Jadi dia memilih diam, mendengarkan dan merekam semua obrolan mereka di otaknya. "Pasti Bebby yang meminta kamu buat menceraikan aku kan, Mas?" *** Next...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD