All to well

1140 Words
Mungkin aku harus menyewa tabung oksigen di rumah sakit ini. Setiap kata yang keluar dari mulut Asti, mamanya Brian, tidak pernah membuatku emosi. Aku tidak suka dengan rambut panjang bergelombang yang dia cat warna merah itu, serta tubuh tinggi besarnya yang membuat ruangan ini sesak. Dari caranya berbicara, yang ingin terlihat dirinya tinggi, justru malah membuatnya terlihat norak. Bahkan dia sama sekali tidak meminta maaf atas kesalahan anaknya yang telah membuat Rey patah tangan. Dia terus berkilah, kalau semua ini hanya kenakalan anak-anak biasa pada umumnya. Tapi, semua anak perlu diberi tahu, dididik, agar mereka bisa mengerti kalau apa yang mereka lakukan adalah hal yang tidak baik. "Begini, ya, Jeng Ana. Semua anak-anak seusia Rey dan Brian, melakukan kenakalan." "Tapi, Jeng, tangan anak saya patah. Pa-tah, Jeng." Aku menekan kata patah di sana, agar dia paham bahwa ini bukan hanya sekadar kenakalan. Ini sudah melampaui batas nakal. Buandell. "Iya, saya tahu," Asti yang menyangklong tas jinjing besarnya, menggerakan kedua tangannya. Cincin-cincin di jemarinya serta gelang besar di tangan kiri dan kanan, terayun-ayun ke atas dan ke bawah. Aku ragu kalau perhiasan yang dipakai Asti adalah betulan. Itu pasti imitasi. "Biasanya, Brian tidak sebrutal itu." Nah, dia paham kalau anaknya brutal. "Nanti semua biaya rumah sakit, biar saya yang tanggung. Jeng Ana tinggal kirimkan saja tagihannya." Ini yang aku tidak suka. Dia menganggap enteng masalah ini. Dengan cara dia mau ganti rugi semua biaya rumah sakit, lantas bukan berarti anaknya lepas didikan. Tidak semua bisa diselesaikan dengan uang. Ada hal-hal lain yang bisa diatasi dengan perilaku baik. "Tidak perlu, Bu. Biaya rumah sakit sudah ditanggung asuransi." Celetuk Abi, di tengah-tengah perdebatanku dengan Asti. Dan aku ingin mencekiknya sekarang juga. "Nanti saya kirim semua tagihan rumah sakitnya." Tidak memedulikan perkataan Abi, aku menandaskan ucapanku pada Asti. Bisa kulihat, dia memutar bola matanya ke bawah. "Baiklah," Asti mengangguk. "Dan saya mau menyampaikan keberatan atas tindakan pria yang mendorong Brian kemarin. Omnya Brian, yang polisi itu," Asti memperjelas kata 'polisi'. "Saya juga melihat videonya. Pria yang kemarin itu, ke mana?" Asti menjatuhkan tatapannya padaku dan pada Abi, secara bergantian. Yang dilontarkan Asti seperti bukan pertanyaan. Tapi, seakan dia memperjelas ada pria lain bersamaku, yang tidak diketahui Abi keberadaannya. "Itu pamannya Rey, Bu." Abi yang menjawab pertanyaan itu. Dan seketika wajah Asti langsung berbinar, karena merasa malu. "Ya, jadi saya ingin ada permohonan maaf dari pamannya Rey kepada Brian, karena sudah mendorong bocah di bawah umur. Keluarga saya banyak yang polisi, jadi saya harap masalah ini segera di selesaikan. Saya ingin bertemu langsung dengan pamannya Rey." Aku memutar bola mata. Dia terus-menerus memamerkan keluarganya yang abdi negara. Mungkin ingin membuat kita takut atau apa. "Nanti kami telepon, pamannya Rey. Dan memintanya untuk bertemu dengan Jeng Asti." Kataku sebal. Tapi, tiba-tiba ada yang membuka kamar rawat Rey, dan yang masuk ke dalam adalah Ben. Dia datang dengan seragam tentaranya yang loreng-loreng. Tubuhnya yang tinggi dan tegap, serta kulitnya yang sawo matang membuat dia nampak gagah dan menyeramkan di waktu yang bersamaan. Aku melirik pada Asti. Dia sedang mematung di tempat, dengan wajah yang terpana. Matanya membulat besar, mulutnya menganga lebar. Dia nyaris limbung, dan mencengkeram tali tasnya erat-erat. Aku yakin, dia pasti sedang sulit bernapas. "Nah, tidak perlu di telepon. Pamannya Rey, sudah datang. Silakan Jeng, kalau mau bicara." Aku melambaikan tangan ke arah Ben. Tersenyum puas penuh kemenangan. Aku tidak perlu berkoar-koar kalau pamannya Rey juga anggota kemiliteran. Biar dia lihat sendiri. Ben, berdiri di hadapan jeng Asti. Aku yakin, dia bukan bermaksud sedang mengintimidasi. Tapi, cetakan wajahnya memang seperti itu. Dingin, dan tidak bersahabat. Kalau pun senyum, harus ada yang benar-benar membuatnya terkesan. Dia jarang tertawa. Mungkin karena selera humornya memang rendah. Jeng Asti melirikku sekilas, lalu melihat ke bawah dan tersenyum kikuk. Dia bergerak tidak tenang, sambil menyingkap rambutnya ke belakang telinga. Dan aku tahu, gerakannya itu pasti untuk menghilangkan rasa gugup. "Nah, Ben, ini Jeng Asti. Beliau ingin bertemu denganmu, dan mengatakan sesuatu." Kataku tidak sabar. Jeng Asti terlonjak, seperti ada yang menyudutkannya dengan api. Dia megap-megap di tempat sambil menatap Ben takut-takut. Lalu tersenyum kikuk lagi padaku. Rasakan! "Bicara apa?" "Emm," jeng Asti menggoyang-goyangkan tubuhnya persis seperti ondel-ondel. "Jeng Asti ini mamanya Brian, anak yang kemarin memukul Rey hingga menyebabkan patah tangan." Terangku. Mata Jeng Asti membulat. Ben menegakkan tubuh. Sepertinya dia baru ingat siapa yang berdiri di hadapannya. Ibu-ibu yang memarahinya kemarin saat Ben memisahkan Brian dan Rey. "Saya minta maaf," serobot jeng Asti, membuatku tercengang. "Saya sudah katakan pada Jeng Ana, bahwa saya akan membayar tagihan rumah sakit Rey. Dan saya akan memberitahu Brian untuk meminta maaf kepada Rey secara langsung. Saya harap masalah ini bisa cepat di selesaikan." Aku menganga tidak percaya. Asti mengatakan rentetan kalimat itu dalam satu tarikan napas. Seolah dia sedang melihat hantu di diri Ben. Kemudian Asti pamit pulang, dengan alasan ada urusan mendadak. Padahal tadi gayanya sok paling berkuasa. Dan sama sekali tidak ada kata permohonan maafnya pada kami. Ben menatap bengong pada Asti yang sudah menghilang keluar dari kamar rawat Rey. "Dia ingin mengatakan itu padaku?" Ben menunjuk pada dirinya sendiri. "Seragammu yang membuat dia lari tunggang langgang." Selosor Abi. Dia melirik Ben dengan sinis. Ben, hanya menggelengkan kepalanya. "Rey, mana?" tanya Abi. "Sedang fisioterapi. Besok dia sudah diizinkan pulang. Tapi harus tetap terapi sampai benar-benar sembuh." Jelasku. "Aku mau makan, An." Abi menarik lenganku. "Kita ke ruang fisioterapi dulu, lihat Rey." Kataku. Kebetulan saat aku sedang menemani Rey di sana, Asti mendadak datang. Dan aku pamit sebentar untuk menemui Asti. Sementara Rey, ditemani Bu Rina, ibu mertuaku. "Biar aku saja yang temui Rey." Ben menawarkan. Dan aku setuju. Abi hanya mengangguk kecil, kemudian melangkah keluar. Aku mengekor di belakangnya. *** "Kalau sikapmu seperti ini pada Ben, dia akan tersinggung." Kami sedang berada di kantin rumah sakit. Mengingat memang sejak padi kami belum makan. Sibuk mengurus segala sesuatu keperluan Rey. Dan aku juga sempat pulang dulu untuk menemui Ruby. Bersyukur Fay dan Naya menginap di rumahku untuk menjaga Ruby. Mereka memang segalanya untukku. Bukan cuma sekadar sahabat, tapi sudah selayaknya saudara. "Dia terlalu banyak mencampuri urusan rumah tangga kita." "Urusan rumah tangga kita yang mana?" "Dia terlalu jauh, terlibat dalam urusan Rey." Astaga! dia merusak acara makan siangku saja. Daging rendang yang sedang aku kunyah mendadak jadi hambar. "Ben, sudah melakukan semuanya sesuai batasannya." "Tidak, An." Tandanya kembali. "Dia itu terlalu protective sebagai seorang paman kepada Rey. Bulan kemarin," katanya. "Dia kembayar sekolah Rey, les bahasa inggrisnya, kemudian berencana mendaftarkan Rey ke kelas melukis tanpa memberitahuku dulu. Bukannya kita sudah sepakat kalau hak asuh jatuh ke tanganku. Dan itu berarti semua menjadi tanggung jawabku. Bukan dia." Aku menatapnya jengah. Sekarang aku sudah benar-benar kehilangan selera makanku. Aku menggosok keningku yang mendadak berdenyut nyeri. "Kebetulan saja, Ben ada di saat penting. Dia ada, ketika Rey sedang membutuhkan. Lagipula kita juga bukannya sudah sepakat untuk berbagi." Rahang Abi mengeras. "Hanya Rey, bukan kau." Astaga!!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD