Love is a war

1069 Words
"LOVE is a war, An!" Fay menggeram, matanya melotot seakan baru saja menemukan jawaban atas pertanyaan yang sulit. "Hah? War?" Dahiku berkerut bingung. "Perang An, perang! astaga, berapa sih nilai bahasa inggrismu?" Fay memberikan tatapan meremehkan padaku. Sementara aku memutar bola mata kemudian menaruh ponsel di atas meja. "Maksudku, perang bagaimana?" "Oh," katanya santai. "Begini An," tangannya melambai ke atas dan detik itu juga seorang pelayan laki-laki datang. Menurutku laki-laki ini sangat tidak cocok untuk ukuran seorang pelayan. Dengan wajah yang eemm tampan, postur tubuh atletis, kulit putih bersih. Minimal dia menjadi bintang film terkenal. "Aku mau cheesy lasagna 1, dan ice lemon tea 1." Lalu Fay mengalihkan pandangan dari buku menu padaku. "Kau mau apa?" "Samakan saja." Jawabku. Mengingat memang aku belum sarapan. "Oke, 2 porsi kalau begitu." Fay memberikan buku menu tersebut pada pelayan tapi buku menu itu tergantung di udara karena pelayan itu masih menuliskan pesanan kami. Tangan Fay berkelit saat pelayan tersebut akan mengambil buku menu. "Enggak pakai lama, aku tidak suka menunggu." Aku sedikit terkejut mendengar perubahan suara Fay. Pelayan tampan itu menaikan sebelah alis tebalnya yang sampai saat ini tidak bisa kulakukan. "As your wish." Aku terpana mendengar suaranya yang seksi dan juga senyumannya yang disunggingkan ke arah Fay. "Thanks, Rafael." Aku menyatukan ujung alisku, lalu mataku menemukan name tag bertuliskan 'Rafael' yang menempel di baju pelayan itu. Aku berdecak saat pelayan itu pergi. "Fay, please dia pelayan." "So, why?" Jawabnya santai. "Lagipula kita tidak boleh membeda-bedakan kasta, semua manusia di mata Tuhan sama saja." Wanita ini berkata seperti bukan dirinya. Maksudku, Fay itu tidak pernah berbicara religius seperti ini. Jadi, aku mulai mencemaskan dirinya. "Bisa mendesah dan terangsang." Dia melanjutkan kata-katanya dan seketika kecemasanku hilang. Gelak tawaku menandakan bahwa Fay masih normal. "Kupikir kau sudah mulai waras." "Sialan," Fay ikut tertawa terbahak. "Jadi, apa rencanamu?" Kepalaku tersentak saat ponselku bergetar, aku tersenyum tipis saat melihat sebuah nama di layar ponselku. Aku mulai mengetikkan sesuatu untuk membalas pesannya. "Menyusul Ben ke Bandung." "Are you kidding me?" Fay memekik. "Memangnya kau tahu Ben di mana?" "Ben di Bandung." Jawabku tapi mataku masih terpaku ke ponsel saat aku membaca balasannya yang konyol hingga aku terkikik. "Aku bisa mencarinya dimana-dimana dan setelah aku menemukannya aku akan langsung menuntut penjelasan." Pandanganku yang tadinya fokus pada layar ponsel, kualihkan ke Fay. "Penjelasan yang paling utama yang harus dia lakukan adalah," aku menekan ujung jariku di atas meja dengan emosi. "Kenapa dia pergi dengan Viona padahal aku masih hidup dan menyandang sebagai tunangannya. Apa yang dia lakukan sekarang itu sudah mencoreng mukaku, asal kau tahu." "Simpan amarahmu An," Fay berusaha menyingkirkan jariku yang sekarang ada di depan wajahnya. "Sekarang kau pikirkan. Bandung itu luas, kau mau cari di mana? Coba kau pakai sedikit otak cerdasmu itu, An." "Aku lahir dan dibesarkan di Bandung, Fay." Kembali aku fokuskan pandanganku ke layar ponsel. Entah kenapa pesannya begitu sangat menarik perhatianku. "What?!" Kudengar Fay protes. "Kau pikir kau siapa? Orang yang punya air di dalam baskom dan bisa menemukan keberadaan Ben hanya dengan mengucapkan mantra, lalu wajah Ben muncul di permukaan air tersebut?" "Tidak Fay, bukan begitu, tapi," aku tersenyum kembali saat balasan pesan masuk ke ponselku dan kali ini benar-benar membuat aku tertawa. Dia memang punya potensi menjadi pelawak. "Tapi?" Fay bertanya. "Sebentar." Aku mengangkat sebelah tanganku pada Fay. Kemudian menekuri ponselku kembali. "Ben sudah menghubungimu?" "Belum. Bahkan ponselnya mati." Astaga, dia tidak kehabisan kata-kata lucu. Jari-jariku semakin lincah mengetik balasan leluconnya. "LALU KAU SIBUK DENGAN SIAPA SAMPAI-SAMPAI TIDAK MENATAP AKU, PADAHAL AKU BICARA DI DEPAN WAJAHMU?!" Ponsel yang tadinya ku pegang langsung berpindah tangan ke tangan Fay dalam sekejap. Suaranya yang melengking membuat para pengunjung memerhatikan kami dengan tatapan terganggu lalu aku menganggukan kepala tanda permintaan maaf pada mereka. "Fay," aku mendesis kesal. "Abi?" Dia menatapku heran. "Abi ayahnya Rey? Sejak kapan kau sedekat ini dengannya?" Aku segera merebut ponselku dari tangannya. "Bukan, aku hanya.. Ya ampun ini hanya chat biasa. Aku tidak. Tidak terlalu dekat." "Kau punya hubungan gelap dengannya?" "Tidak, Fay!" Nada suaraku meninggi. "Demi Tuhan, aku hanya. Ini biasa saja." "Tidak perlu gugup begitu dong," Fay tersenyum jahil. "Darl, ini normal. Akan ada saatnya seseorang datang disaat hubunganmu mulai merenggang." "Aku tidak seperti itu." "Let's see," Fay mengerling padaku. "Segalanya harus punya cadangan karena akan ada waktunya satu yang kau punya tidak berfungsi lagi dengan baik. Dan secara naluri, kau akan mencari hal yang dapat membuatmu lebih bahagia." "Fay, aku tidak semudah itu." "Gampangan juga tidak apa-apa asal dengan orang yang tepat. Dan Abi," dia menggantungkan kalimatnya. "Tinggal tunggu kapan kalian menyadarinya." "Ini tidak seperti yang kau pikirkan. Aku hanya sebatas, ya.. teman saja." Fay menyemburkan tawa meremehkan. "Teman tidak menunjukan wajah berseri-seri saat temannya mengeluarkan candaan. Lagipula pria dan wanita tidak di takdirkan untuk berteman." "Fay," "Trust me, dan kau akan bahagia." "Kau pikir, kau Tuhan." Fay tertawa bahagia tapi tawanya segera mereda saat Rafael sang pelayan datang membawakan pesanan kami. "Selamat menikmati." Mata Rafael mengerling pada Fay. Ucapan selamat yang terselubung. "Terima kasih." Fay menjawab tidak kalah menggoda. Anak ini tidak tahu tempat. Kemudian mataku terbelalak dengan mulut menganga saat Fay merentangkan selembar tisu padaku. Di sana jelas tertulis sebuah nama dan nomor ponsel. Aku segera merebut tisu yang Fay pegang dan membaca sebaris kalimat di sana. Damn, He is so crazy. 'Bagaimana dengan cheesy lasagna kedua untukmu, di tempatku.' "See, takdir itu adalah peristiwa yang tak terduga." "Kau setuju dengan ajakannya?" "Why not?" "Gila." Fay tertawa jalang sambil memasukan tisu tersebut ke dalam tasnya. "Oke, simpan rencanamu. Pakai rencanaku saja." Saat Fay akan berkata tiba-tiba ponselku berbunyi lagi. Tapi belum sempat tanganku menggapai ponselku Fay sudah melotot tidak terima. Jadi kuurungkan untuk membuka pesannya yang sangat menggoda untuk dilihat. "Kita butuh seseorang yang mau membuka mulut tentang rahasia Ben." "Siapa?" "Orang terdekat Ben." "Viona?" "An, jangan bodoh." Fay memejamkan mata jengah. "Seseorang yang akan membantu kita membongkar siapa sebenarnya Ben." "Iya, tapi siapa?" Fay nampak berpikir. "Arsenio." "Hah? bang Arsen?" "Biar dia jadi urusanku." Fay memasukan satu sendok lasagna kedalam mulutnya. "Aku yakin mereka memiliki sejarah dan Arsenio tahu bagaimana ceritanya, tapi Arsenio bukan orang yang sembarang membuka mulut." "Nah, jadi bagaimana?" "Harus dipancing." "Dengan?" Fay diam lagi. Kini menatapku dengan serius. "Ini yang sedang aku pikirkan." "Kenapa tidak kau saja yang menjadi umpannya?" "Aku?" Dia menunjuk dirinya sendiri. "Bisa saja, tapi aku tidak yakin. Karena Arsenio sulit untuk di dekati dua kali." Kedua bahuku merosot. "Tenang An, semua pasti beres." Ya semoga saja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD