Batman vs Superman

1017 Words
Ada banyak hal yang tidak aku mengerti akhir-akhir ini. Kenapa begitu banyak pertanyaan yang membuat otakku jadi penuh. Sera, Viona, Ben, Abi, Arsen. Siapa sebenarnya mereka. Apa sekarang aku harus mempercayakan insting seorang Fay yang memiliki sesuatu yang mengganjal terhadap Ben. Dan, apa aku memang benar-benar tidak mengenal Ben? "An," Tiba-tiba Vivi masuk ke private zone membuat aku terkejut. Sebelum masuk ke dalam Vivi sempat melirik ke arah Rey yang sedang menyuapkan nasi pesawatnya dengan lahap. "Apa?!" Kataku bengis. "Kau juga mau bilang kalau kau kenal dengan Sera?" "Bukan," Vivi tampak resah kemudian pelan-pelan mendekatiku dan berbisik di telinga. "Aku mau bilang kalau Ben dan Abi adu jotos di luar." "Hah?!" Seketika aku berdiri membuat Vivi terkejut dan memundurkan tubuhnya. "Kenapa tidak bilang dari tadi." Sebelum keluar menghampiri Ben dan Abi, aku memberi interupsi pada Vivi agar menjaga Rey supaya dia tidak keluar. Di bawah sudah penuh dengan orang-orang yang mengerubungi salah satu meja yang aku yakini itu meja di mana Ben dan bang Arsen duduk. Aku menerobos kerumunan yang begitu sulit. Orang Indonesia memang harus diubah pola pikirnya menjadi, di mana ketika melihat ada orang yang berkelahi bukan ditonton tapi dipisahkan. Memangnya apanya yang seru menyaksikan permasalahan orang lain. Dengan susah payah aku memaksa masuk diantara para pengunjung, dan akhirnya aku berhasil berada di barisan paling depan lalu dengan cepat menutup mulut melihat betapa mengerikannya wajah Ben dan Abi. Kenapa para pria itu senang sekali menyelesaikan masalahnya menggunakan otot. "Pertanyaan terakhir, Ben." Wajah Abi merah padam. Aku akan menghentikan mereka tapi pertanyaan Abi justru menghentikan pergerakanku. "Apa selama ini kau mencintai Sera?" Tubuhku seketika menegang. Mataku mendadak panas. Jantungku berdebar menunggu apa yang akan dikatakan Ben. Kedua tanganku mengepal di depan. "Bahkan sampai saat ini aku tidak bisa melupakan Sera." Tenggorokanku tercekat. Apa aku baru saja berurusan dengan pria paling berengsek di dunia. Apa aku baru saja menjadi wanita paling sial yang pernah ada, karena telah menjadi tunangan dari seorang pria yang bahkan masih menyimpan nama wanita lain di hatinya. Dan apa kakiku masih menapak di tanah? Karena aku merasa tubuhku mulai melayang. "Di mana Sera sekarang?! Katakan padaku di mana Sera?!" Aku bisa mendengar bagaimana kacaunya suara Ben. Dia menarik kemeja bagian depan Abi penuh amarah, tapi Abi hanya diam tidak ada tanda-tanda akan melakukan perlawanan. "Sera, meninggal, Ben." Aku terkesiap begitu telingaku mendengar suara bang Arsen. Perlahan Ben melepas cengkeramannya pada kemeja Abi. Lalu, Ben melihat bang Arsen yang memasang ekspresi datarnya. "Bagaimana Sera bisa meninggal?" Suara Ben terdengar begitu parau. "Bagaimana?" Ben mengulang. Kali ini suaranya lebih tinggi tapi tidak ada yang bicara. Abi diam. Bang Arsen diam. Semua diam. "Bi, please." Kali ini Ben meminta jawaban sepenuhnya pada Abi. "Aku belum mengatakan apapun padanya. Aku belum pernah mengatakan kalau aku mencintainya." Jangan tanya bagaimana perasaanku sekarang. Jangan tanya. "Arsen, beritahu aku sesuatu!" Seperti halnya Abi, bang Arsen tidak membuka suara. Seolah mereka sedang bersekongkol untuk tetap bungkam walau nyawa sudah di ujung tombak. "Oke," Ben menghela napas. "Baik, aku bisa cari tahu sendiri." Lalu detik berikutnya Ben menerobos kerumunan dengan wajah yang mengeras menahan segala kemarahan. Kakiku tanpa diperintah mengikuti Ben yang kini akan masuk ke dalam mobil. "Ben!" Aku menahan Ben yang akan pergi. Suaraku tercekat. Ben berbalik menatapku. Matanya merah dan sedikit berair. Ben, menangis? Tangannya melepas pintu mobil lalu menutupnya kembali. Tubuhku seketika lumpuh saat Ben memelukku dengan erat. Dia mengecup puncak kepalaku beberapa kali. Mataku panas. Dadaku bergemuruh. Aku bisa merasakan pelukannya tidak seperti hari-hari kemarin. Entahlah mungkin hanya perasaanku saja. "Maafkan aku." Ben mencium keningku lama sekali. "Maafkan aku Ana." Aku tidak bicara apapun. Karena aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Sampai pada akhirnya Ben menangkup wajahku, mengelusnya lembut. "Ada yang harus kau dengarkan, tapi tidak sekarang." Binar matanya meredup. Aku tidak sanggup marah atau memaksa Ben mengatakan apa yang ingin dikatakannya sekarang juga. "Apakah akan mengubah sesuatu diantara kita setelah aku mendengarnya?" Ben menunduk melihat tanah, kemudian menghela napas. Matanya kembali menatapku, dan ibu jarinya mengelus pipiku. "Semuanya tergantung padamu." Kepergiannya begitu cepat sampai aku tidak sadar kalau air mataku sudah banjir di pipi. Ben pergi dengan keyakinan yang begitu besar seolah akan mengejar hidupnya yang sempat hilang dan baru ditemukannya lagi. Dan aku? Bagaimana dengan hatiku? Apa aku baru saja resmi menjadi Tinkerbell? *** "Kenapa kau memukul Ben?" Aku dan Abi berada di ruang membaca VIP, dan membuatku kembali mempertanyakan kenapa ruang VIP ini tidak ada yang menyewa disaat aku memang sedang membutuhkannya. Seakan alam sudah merencanakannya. "Kau tidak terima, aku memukul tunanganmu?" "Jawab pertanyaanku, jangan berbelit belit." Abi meringis saat aku menekan kapas di pipinya yang membiru. "Kau tidak bisa melakukannya secara pelan-pelan? Kalau kau menekannya terlalu keras bisa-bisa wajahku tambah bonyok." Aku mendelik lalu melembutkan pergerakan tanganku yang mengobati lukanya dengan sedikit lebih lembut tanpa protes. "Alasan yang sama seperti kau memukulku di cafetaria." Katanya. Tanganku mengeluarkan plester kecil kemudian menempelkannya di pipinya, yang mendapat goresan kecil. "Ben selingkuh atau Ben menghamili istri orang lain?" "Ku kira pacarnya Nessa hanya selingkuh, tidak sampai menghamili istri orang." "Haruskah Nessa memberitahumu detail kisah percintaannya?" Baskom yang berisi air hangat ku geser ke sisi lantai setelah aku selesai dengan pekerjaanku. "Jadi, Ben selingkuh atau menghamili istri orang? Karena hanya dua alasan itu yang kupunya kenapa aku memukulmu di cafetaria." Abi memeriksa wajahnya di cermin yang kuberikan, lalu meringis melihat betapa parahnya lebam-lebam di wajahnya. "Bi." Aku menarik cermin yang sedang di pegangnya dan menyadari bagaimana nada suaraku saat menyebut nama Abi dengan merajuk dan tanpa embel-embel 'Pak'. Ku kira Abi akan protes, tapi dia malah tersenyum. "Jawab pertanyaanku." Bukannya menjawab pertanyaanku, tapi dia justru menyandarkan punggungnya di sandaran sofa. "Oke, biar aku ubah pertanyaannya dengan yang lebih mudah." Abi hanya menolehkan kepalanya padaku sementara tubuhku sudah sepenuhnya menghadap padanya. "Apakah Sera adalah ibu Rey?" Kalimatku terdengar begitu hati-hati. Abi diam sambil menatapku dan aku ikut terdiam menunggu jawabannya dengan was-was. "Ya," ucapnya pada akhirnya. Lalu dia menegakan tubuhnya dan menghadap padaku. "Sera adalah ibunya Rey." Untuk beberapa detik aku tidak merasa diriku bernapas. Sera ibunya Rey, yang berarti Sera adalah istri Abi yang telah meninggal dan kenapa Ben mencintai istri orang lain. Atau jangan-jangan...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD