Growing Pains

1208 Words
Aku tidak percaya, Ben, melakukan ini padaku. "An, please. Oke, aku janji hanya sebentar. Setelah aku selesai, aku akan segera pulang dan bertemu dengan miss Joana." Aku memejamkan mata kemudian memandang Ben kembali. "Tidak perlu. Miss Joana, bukan punya janji dengan kita saja. Biar aku yang pergi. Sendiri." Aku menekan kata 'sendiri' di sana. "An, kumohon, kau jangan cemburu seperti ini." "Apa? cemburu?" Aku menyemburkan tawa meremehkan. "Ini bukan masalah aku cemburu pada wanita yang bahkan tidak akan pernah bisa kau lihat lagi. Bukan juga masalah kau mau menikahiku atau tidak. Tapi apa kau pernah berpikir sedikit saja, di mana persisnya kau meletakkan diriku?" Aku bergerak maju selangkah. "Karena, aku merasa untuk berada di depan pintu hatimu saja, aku tidak mampu." Ben masih diam di tempat tidak bicara selain memandangku dengan wajah yang bingung. "An, please." "Lupakan, Ben." Tidak perlu menunggunya membalas kata-kata ku, kakiku beranjak dari sana, pergi dari kamar Ben, pergi dari hadapan Ben, yang luar biasa memuakan. "Ana, kau tidak bisa melupakan begitu saja. Kita bisa membicarakannya lagi." Aku berbalik saat akan keluar dari rumahnya. "Sebaiknya kau lihat dirimu di cermin. Siapa yang telah melupakan segalanya, siapa yang telah membuang sesuatu diantara kita begitu saja. " Dan kali ini aku benar-benar pergi dari hadapannya, dari wajahnya yang ingin aku tinju. *** "Cinta itu bukan perkara siapa yang lebih dulu kenal. Tapi, siapa yang porsinya lebih banyak di dalam hati dan pikiran kita." Entah kapan datangnya gadis ini di ruang VIP, yang jelas aku sudah menemukannya saat aku masuk ke dalam ruangan ini. Pakaian yang dia pakai pagi ini pun masih sama dengan yang kemarin dia kenakan. 1 hal yang melintas di otakku adalah, Naya menginap semalaman di sini. Tapi, aku tidak punya cukup energi untuk menanyakannya. Dia masih berada di depan layar komputer. Mengetik tesisnya yang dua detik kemudian dihapus, lalu mengetik baris baru dan dihapus lagi. Seperti itu berkali-kali sampai dia sendiri bosan. "Bagaimana jika yang memiliki lebih banyak porsi di hati dan pikiran Ben, bukan aku?" Aku menyesap teh hangat yang dibuatkan Lidia untukku. Gadis yang baru lulus SMA itu memiliki bakat menjadi pembuat teh yang andal. Menurut Lidia, teh hangat bisa membuat otak yang stress menjadi lebih baik. Sejauh ini aku percaya saja. "Untuk menjawab pertanyaanmu, aku mengutip kalimat dari Abi 'Maka kau harus membiarkan dia bahagia dengan caranya sendiri'." "Aaahhh... i dont wanna be a Thinkerbell." Kedua tanganku mengacak rambutku hingga helaiannya mencuat ke mana-mana. Ya, aku sudah mirip dengan si depresi yang patah hati. "Kita akan jauh lebih bahagia bersama dengan orang yang bersedia memenuhi hati dan pikirannya diisi oleh kita, daripada bersama dengan orang yang sedikit pun tidak menempatkan kita di hatinya." "Jika orang itu bukan Ben?" Naya turun dari kursi, lalu mendekat ke arahku. Ikut duduk bersimpuh di karpet bulu yang sudah bersih dari makanan bekas Naya kemarin. "Ben atau bukan, kau tetap akan bahagia." Naya mengambil teh hangatku kemudian menenggak isinya. "Jangan pernah keliru untuk menerima siapa yang pantas untuk dijadikan pilihan terakhir." "Bisakah aku mempercayakan hidupku pada psikolog yang punya psikolog?" "Bahkan guru taekwondo saja punya guru." Aku dan Naya terkekeh bersama. Tapi, mungkin dengan alasan yang berbeda. Aku dengan alasan menertawakan hidupku yang penuh dengan kejutan. Siapa yang akan menyangka jika hubunganku sebenarnya sudah diambang kehancuran. Demi Tuhan, aku akan menikah sementara tunanganku masih tidak peduli dengan persiapannya dan malah pergi ke Bandung merayakan hari ulang tahun mantan kekasihnya yang bahkan tidak bisa dia lihat. Suara ketukan di pintu kembali berbunyi. Kepala Lidia menyembul di arah pintu. Aku mengangguk tanda memberi dia ijin untuk masuk ke dalam. "Ada pelanggan Mbak, yang mau beli buku." Dahiku berkerut bingung. Bahwasannya, aku hanya menyewakan buku-buku yang ada di perpustakaan. Bukan untuk dijual. "Kita tidak menjual buku, Lidia." "Sudah saya beri tahu Mbak, tapi dia tetap ngotot." Aku berdecak. Apa lagi ini ya Tuhan. Saat aku menuruni anak tangga, terlihat ada seorang wanita yang begitu sangat mencolok. Tubuhnya tinggi, langsing seperti dirawat dengan diet ketat serta olahraga, rambutnya coklat gelap bergelombang. Kulitnya putih bersih seolah dia selalu mandi s**u setiap hari. Pakaiannya bagus. Dres tanpa lengan selutut warna pastel. Sepatunya cantik. Heels warna nude dengan bagian depan yang tertutup. Feminin sekali. Ku lihat di tangannya ada buku karangan Sagala Agung. Penulis jaman dahulu kala yang bukunya saja sudah tidak beredar. n****+ cinta yang tragis namun aku suka. "Ini Mbak, orangnya." Ucap Lidia begitu kami sampai di depan wanita itu. Dia memalingkan wajahnya. Cantik banget. Sumpah. Kalau aku seorang pria pasti aku sudah jatuh cinta. "Hai," dia tersenyum manis. Bibirnya pink dan tipis. Dia mengulurkan tangannya yang segera aku jabat. "Hai." "Saya, Sera." Katanya memperkenalkam diri. Apa dia bilang tadi? Sera? "Bisa kita bicara sebentar?" "Oh boleh, silakan." Kami duduk di bangku kosong. Seketika jantungku berdegup nyeri. Padahal aku sama sekali tidak memiliki riwayat penyakit jantung. Mungkin namanya saja yang mirip. "Saya ingin membeli buku ini." Katanya to the point. "Maaf Mbak, tapi kami tidak menjual buku di sini. Kalau Mbak ingin membacanya, boleh meminjam saja." Dia tersenyum sambil membolak balikan buku tersebut. "Tapi, saya ingin beli." katanya lagi. "Saya bayar berapa pun yang kau mau." Hah?! Buku dengan judul Kidung Sunyi itu memang sudah tidak dijual sejak lama. Dan sangat langka. Aku saja sampai berburu dan beruntung bisa mendapatkannya dari seorang kolektor. Mana mungkin aku bisa menjualnya. "Maaf, tapi saya tidak bisa. Karena buku ini," "Langka." Ujarnya. Sengaja memotong kalimatku. "Saya sudah berkeliling seluruh Indonesia, hanya di sini bisa saya temukan. Jadi, saya mohon kau bisa menjualnya untukku." Lama-lama dia mulai menyebalkan. Apa dia tidak mengerti arti langka, dan alasan aku tidak ingin menjual buku itu. "Iya, tapi itu milik saya." "Kenapa kau memajangnya di tempat umum kalau tidak ingin menjualnya?" "Aku pajang bukan untuk dijual, tapi untuk disewakan." "Kalau begitu, aku sewa." "Tidak di bawa pulang." Wanita itu menyipitkan mata. "Tidak di bawa pulang?" "Ya, kau baca saja di sini sampai habis." "Aku sudah tahu isinya." "Kalau sudah tahu, lantas kenapa mau membeli?" "Aku ingin memilikinya." Katanya begitu tegas. Sebelum dia kabur membawa bukuku, segera aku merampas buku tersebut dari tangannya. Dia terkesiap dengan gerakanku yang tiba-tiba. "Tidak bisa, ini milikku." Kataku lagi. "Kalau kau tidak mau membacanya di sini, kau bisa pergi." Dia terdiam memandangiku dan buku ini bergantian. Tidak pernah aku menemukan fans Sagala Agung sefanatik ini. Dia nyaris seperti perampok. Walau dia bilang dia akan membayar berapa pun yang aku minta, tapi aku tetap tidak ingin menjualnya. "Oke, maaf sudah menganggumu. Permisi." Dia menyambar tasnya, menatap buku kidung sunyi sebelum dia pergi meninggalkan Read Eat. Ya Tuhan kenapa ada orang seperti itu. Aku berniat membawa buku ini pulang untuk mengamankannya. Berjaga-jaga siapa tahu dia kembali dan diam-diam mengambil buku ini. Ah, apa aku harus memasang cctv. Secara bersamaan dering ponselku berbunyi, menampilkan nama Abi di sana. "Ya, Bi, ada apa?" "Yang mulia ratu." "Rey? Ada apa, Rey?" "Yang mulia ratu, ayah sedang diperiksa dokter. Ayah di operasi." "Hah? Operasi? Maksudnya, operasi bagaimana? Kau ada di mana sekarang?" "Di rumah sakit." Tanpa peduli lagi dengan pelanggan aneh tadi, aku berlari ka atas menuju ruang vip. Naya terkejut karena pintu mendadak dibuka. Tanpa memberi penjelasan pada Naya yang terlihat bingung, aku menyambar kunci mobil dan melesat pergi meninggalkan Naya menuju rumah sakit. Bayangan Abi yang berbaring tak berdaya di ranjang ruang operasi terus memenuhi pikiranku sepanjang perjalanan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD