Kabar kepulangan Sera dan Rey dari rumah sakit di Bandung ke Jakarta aku dapatkan dari Sha. Aku baru mengetahui kalau Sha adalah satu-satunya orang terdekat Sha. Mereka berteman sejak ada pameran busana di Paris. Jadi, Sera selalu mengabari Sha apapun yang terjadi padanya. Dan saat ini, Sha tidak memihak kepada siapapun. Walau dia juga tidak membenarkan apa yang dilakukan oleh Sera. Tapi, Sha mengatakan padaku kalau Sera tidak sejahat yang terlihat. Ya, siapa sih orang jahat yang jahat kepada temannya sendiri.
Namun, Fay yang sekarang agak sentimen terhadap Sha. Dia punya pemikiran buruk kalau selama ini yang memberi informasi tentang aku kepada Sera adalah. Tapi itu tidak mungkin. Sha bukan orang seperti itu. Dia bukan tipe manusia yang mau mengurusi hidup orang lain.
Hari ini aku, Fay dan Vivi bertemu dengan Grey bersama si hacker kenalan Grey di sebuah mall di Jakarta. Kita sempat bingung akan bertemu di mana. Fay dan Vivi juga sempat berdebat tempat mana yang cocok untuk dijadikan tempat diskusi. Dan akhirnya setelah perdebatan panjang lebar, tidak ditemukan jalan keluar. Yang pada akhirnya aku yang menentukan tempat untuk diskusi. Agar semuanya sama-sama enak dan tidak terlalu jauh, aku memilih sebuah mall saja. Kalau Read Eat masih ada, pasti kita tidak akan bingung menentukan tempat janjian. Ya, kalau Read Eat masih punyaku, aku tidak akan pernah ada di sini bersama mereka.
Kedatangan Grey bersama si hacker itu membuat aku tersedak. Aku kaget bukan main. Jadi, hacker kenalan Grey itu adalah Hafidz. Aku sempat tidak mengenali sahabatku saat kami duduk di bangku kuliah. Dia sudah mengalami banyak oerubahan. Badannya yang dulu kurus, kini menjadi tambun. Rambutnya plontos, dan berkumis.
"Hafidz?"
Dia yang masih berdiri memandangiku seolah sedang mengingat-ngingat. "Ana?" Dia memiringkan kepalanya.
"Ya, aku Ana. Astaga Fidz, apa kabar? Sudah lama sekali kita tidak bertemu." Aku berteriak kegirangan. "Vi, ini Hafidz." Vivi tampak melongo di tempat. Lalu bangkit berdiri.
"Fidz, ini Vivi."
"Vivi?" Hafidz menyipitkan matanya. "Vivian?" Ulang lagi memastikan.
"Iya, Fidz. Vivian." Ucapku sambil tertawa.
"Ya ampun, Vivi.. Kau.. Operasi plastik.".
"Kurang ajar." Vivi meninju perut buncit Hafidz. Kemudian pria itu mengaduh memegangi perutnya. "Kau sendiri, kenapa jadi bengkak begini?"
"Everything has changed." Jawab Hafidz. "Aku, kau. Tapi Ana tidak banyak berubah. Masih tetap manis."
"Wah.. Cinta lama belum kelar nih." Ledek Vivi.
"Ah.. Sudah.. Sudah. Kita duduk saja."
Fay dan Grey hanya melihat reuni dadakan kami. Fay sebenarnya satu kampus denganku, tapi dia beda jurusan dan fakultas. Jadi Fay tidak mengenal Hafidz. Beda server.
"Jadi, kalian sudah saling kenal?" Tanya Grey dengan suaranya yang sengau.
"Kami semua satu almamater." Jawab Vivi.
"Cuma, dia tidak sampai di wisuda. Mogok tengah jalan." Timpal Vivi. Dan kami tertawa bersama.
"Oke, lebih bagus kalau begitu." Grey mengangguk.
"Saking pusingnya, aku sampai tidak ingat pada Hafidz." Aku memegangi kepalaku untuk menegaskan kesan kalau kepalaku benar-benar mau pecah.
"Jadi, ada apa ini?" Hafidz bertanya. Aku salah fokus pada barang bawaannya yang membawa ransel besar. Entah apa isi di dalamnya.
Aku melihat Vivi, dan Fay secara bergantian. Masih tidak tahu harus mulai pembicaraan dari mana. Seolah mengerti Fay mewakili ku.
"Emm.. Begini," Fay membuka ponselnya. Kemudian mengerikan sesuatu di sana lalu menunjukannya pada Hafidz. "Kau tonton dulu sampai selesai."
Fay sedang menunjukan isu video yang tersebar di internet. Terakhir aku melihat akun sosial media, video itu sudah menjadi tranding topic no satu. Semua orang memposting ulang video tersebut lalu, ramai-ramai menghujatku. Semuanya jadi tak terkendali. Aku terkenal lewat jalur fitnah.
Baru tadi pagi aku memperbarui akun instagramku menjadi private, karena banyak sekali yang sengaja bertandang ke akunku hanya untuk menyumpah serapah diriku. Semakin canggih teknologi, semakin cepat pula informasi yang sampai ke masyarakat. Dan semakin gila juga cara penangkapan dan pemahaman sebuah berita. Tidak dicerna, asal lihat, dan asal posting saja. Ya, aku memaklumi. Netizen bukan anggota detektif, mereka akan langsung menarik kesimpulan sesuai caption, tidak akan mencari tahu terlebih dahulu kebenarannya.
Wajah Hafidz berkerut. Lalu dia menatapku dengan wajah yang hampir marah. Nah, kan Hafidz saja langsung termakan berita hoax tersebut.
"Apa yang diberitakan di dalam video itu adalah bohong." Fay mengambil ponselnya di tangan Hafidz. "Isinya tidak seperti apa yang terjadi sebenarnya. Agak rumit kalau diceritakan. Yang kita mau, kau cari tahu siapa orang yang memublikasikan pertama kali, dan yang menyebarkan video tersebut. Karena itu fitnah besar." Fay menutup penjelasan.
"Tapi orang yang ada dalam video itu, kau?" Hafidz menunjuk padaku.
"Ya, itu benar Ana. Tapi tidak seperti yang diceritakan." Fay yang menjawab pertanyaan Hafidz seperti layaknya kuasa hukum.
"Bisa. Mudah, kok." Hafidz menganggukan kepalanya. "Mau aku kerjakan kapan?"
"Kalau bisa sekarang juga." Lagi-lagi Fay yang bicara.
"Ada beberapa pemenggalan video. Seperti sengaja di potong, dan ada beberapa percakapan yang bukan itu dialognya." Ucapku.
"Kalau ini benar fitnah, sebisa mungkin aku akan membantumu. Aku bisa cari siapa orang yang menyebar video ini pertama kali. Dan juga mendapatkan video aslinya."
Aku tersenyum menatap Hafidz. "Thanks," lirih ku.
"Biasanya untuk pekerjaan seperti ini, kau dibayar berapa?" Tanya Fay to the point.
Hafidz tidak langsung menjawab. Dia diam sebentar, kemudian menatap Grey. Lalu Grey mengedikkan kedua bahunya.
"Santai saja, Fidz. Untuk urusan bisnis kita perlu profesional. Anggap saja aku bukan temanmu. Tapi cuma rekan kerja. Jadi kau tidak perlu tidak enak hati memasang tarif." Kataku. Berusaha untuk memberi Hafidz kelonggaran.
"Oke," jawab pria tambun itu. "Aku pasang tarif harga teman." Kulihat senyum Fay mengembang. "20 juta."
"HAH?"
Aku, Fay dan Vivi berteriak bersamaan.
"Apa memang semahal itu?" Tanyaku tidak yakin.
Seketika Hafidz langsung tertawa terbahak. Membuat kami semua kebingungan.
"Tidak. Tidsk." Dia mengibaskan kedua tangannya. "Aku becanda. Murah, kok. Gampang lah, nanti saja setelah pekerjaanku selesai."
Aku mengembuskan napas. "Lebih baik dibicarakan sekarang saja, Fidz."
"Oke," katanya menurut. "3 juta?" Hafidz membuka penawaran.
"Ya, setuju." Ucap Fay tiba-tiba. Padahal kami belum melakukan tawar menawar.
Hafidz mengangguk. "Aku akan mengerjakannya di rumah saja. Nanti aku akan kabari setelah semuanya selesai. Aku boleh minta nomor ponselmu?" Hafidz menjatuhkan pandangannya padaku.
"Oh, boleh." Setelah itu kami saling bertukar nomor ponsel. Dengan Fay juga. Vivi juga tidak ketinggalan.
Setelah melakukan beberapa percakapan ringan, akhirnya Hafidz pamit karena masih ada keperluan lain lagi. Grey juga pamit pulang. Menyisakan aku, Fay, dan Vivi.
***
Kami memutuskan untuk berkeliling sebentar di mall ini. Dan pergi ke supermarket. Fay mendapat telepon dark Rafael, pria yang berprofesi sebagai chef itu kalau dia mau mengunjungi Fay di apartemennya. Lalu Fay menawarkan Rafael untuk memasak. Jadi, Rafael meminta Fay untuk berbelanja bahan makanan di supermarket. Pria itu akan memasakan sesuatu untuk kami.
Kalau urusan bahan masakan, aku sudah andal. Dari semua daftar bahan masakan yang Rafael berikan pada Fay, tidak ada yang aku tidak tahu. Kami berkeliling di food station. Membeli sayuran, daging sapi, ayam fillet, jamur, kemudian bumbu-bumbu lain yang dibutuhkan.
Semenjak masuk ke tempat bahan-bahan masakan, firasat ku sudah tidak enak. Seperti orang-orang di sini sedang memerhatikan ku. Firasat ku diperkuat ketika aku berpapasan dengan seorang wanita berkerudung merah yang sedang menggandeng seorang anak, melihatku dengan tatapan tajam. Seolah sedang merekam wajahku di ingatannya.
"Fay," aku berbisik pada Fay. "Sepertinya orang-orang di sini sedang mengawasiku."
Tidak jauh dari tempatku dan Fay berdiri, ada segerombolan wanita sedang mencuri pandang, lalu berbisik dengan kelompoknya.
Fay mengedarkan pandangannya ke sekeliling. "Hanya perasaanmu saja." Katanya. Lalu kembali mendorong stroller ke tempat buah-buahan. Aku mengerikan bahu. Mungkin benar hanya perasaanku saja.
Baru beberapa langkah aku berjalan, tiba-tiba aku merasakan nyeri di kepala bagian belakang. Tak berselang lama tercium bau angir. Dan aku merasakan ada yang mengalir dari atas kepalaku. Aku memang rambutku yang terasa lengket. Detik itu juga sebuah cairan kuning berbau amis jatuh ke lantai.
Ada yang melempar kepalaku dengan telur. Aku membalikan badan. Seorang wanita dengan rambut pendek berdiri di belakangmu, sambil menenteng keranjang belanjaan. Sepintas aku melihat di dalamnya ada kantung plastik berisi telur. Aku mengernyit bingung.
Sebelum aku mengeluarkan sumpah serapah, wanita itu sudah mendahului ku.
"Dasar wanita tidak tahu diri! Pengganggu rumah tangga orang harus dimusnahkan."
Kemudian semua orang yang ada di dalam supermarket ini mengelilingiku. Ada yang merekam dengan ponselnya. Bukan hanya satu tapi banyak. Aku jadi tontonan. Tidak cukup sampai disitu, wanita itu mengambil botol air mineral di dalam keranjang kemudian membuka tutupnya, dan menumpahkan nya ke wajahku, dan kepalaku. Cairan telur dan air mineral itu bercampur aduk membuat bau amis ini semakin pekat. Aku nyaris memuntahkan isi perutku.
Semua yang menyaksikan perundungan ini bersorak. Terutama menyoraki ku.
"Wanita tidak tahu diri!"
"Tidak punya malu!"
"Dasar, kau seharusnya di tenggelamkan di palung Mariana!"
Semua kalimat itu terdengar jelas di telingaku, dan tembus ke hati. Aku tidak bisa lagi melihat wajah orang-orang itu. Aku hanya bisa menunduk menatap lantai yang penuh dengan telur mentah. Tubuhku bergetar hebat, serta mengigil saat kurasakan punggungku basah oleh air dingin. Aku hanya mengenakan kaus polos putih. Otomatis aku memeluk tubuhku karena pasti bajuku tembus pandang.
Fay datang membelah kerumunan. Diikuti oleh Vivi.
"Semuanya, bubar! Atau aku akan laporkan kalian semua pada polisi." Fay berteriak nyaring. Sedangkan aku masih kedinginan.
Mereka bukannya bubar malah meneriakiku kami, lalu melempar kami dengan berbagai macam sayuran mentah. Di tengah bar-bar nya pada pengunjung, ada yang membungkus tubuhku oleh sebuah jaket hitam. Aku tidak bisa melihat siapa orang itu. Sampai dia mendekapku ke pelukannya, menerobos kerumunan dan membawaku keluar dari supermarket.