Terkuras habis

1155 Words
"Ana, bahkan tidak mampu untuk bayar pengacara." Fay menatapku dengan pandangan penih iba. "Pinjam ponselmu." Aku melirik bang Arsen. Lalu menyodorkan ponselku padanya. Selama beberapa menit bang Arsen mengotak-atik layar ponsel entah sedang apa. Saat ini yang bisa aku lakukan hanya pasrah, dan menunggu takdir baik menghampiriku. "Dia sudah pergi jauh," ucap bang Arsen pada akhirnya. "Ada di Sumatera." Aku terlonjak dari tempat duduk. Mengambil cepat ponselku lalu memeriksanya. Entah aplikasi apa yang bang Arsen gunakan, tapi aku melihat sebuah peta di layar ponsel dan titik merah yang berada tepat di atas sebuah gambar dengan tulisan 'Sumatera'. Menandakan bahwa pemilik no telepon itu sedang berada di sana. Jadi menghilangnya Vivi tanpa kabar sudah jelas. Dia melarikan diri, membawa kabur uang-uangku. Vivian, bagaimana bisa dia melakukan hal kriminal seperti ini. Aku menenggelamkan kepalaku ke atas permukaan meja. Berharap semua ini hanya mimpi, tapi beberapa saat kemudian aku bisa merasakan cairan asin itu membasahi kulit pipiku. Itu artinya ini kenyataan. Makin lama air mata ini makin deras saja. Sampai-sampai d**a ini begitu sesak. Sulit sekali untuk sekadar mengambil napas. "Tenang, An, kita semua bantu, kok." Itu suara Nessa. Aku mendongak, menatap Nessa dengan berlinang air mata. "Kau punya uang 800 juta?" Dia menggeleng seraya berkata, "Bahkan penghasilan per tahunku di Bbc Bank juga tidak sampai segitu." "Kalau kau tidak punya uang 800 juta, artinya kau tidak bisa membantu." Mereka yang ada di sini terlonjak kaget saat aku dengan keras memukul permukaan meja kayu. Melihat wajah-wajah mereka satu per satu. Tidak ada yang tidak terkejut. "Tapi paling tidak kita ada untukmu." Ucap Nessa terbata-bata. Mencoba menyantuhku dengan gerakan takut-takut. "Semangat saja tidak cukup! Apa kalian bisa mengembalikan restauranku? Hah? Restauran yang aku bangun dari nol, dari hasil kerja kerasku." Suaraku melengking diiringi isakan tangis yang hebat. "Ini warisan An, bukan kerja kerasmu." Fay menimpali. Dia agak sedikit emosi. Aku tahu itu dari nada bicaranya. "Tapi kalau aku tidak bisa mengelola uang itu, warisan dari orang tuaku akan habis tak berguna." Mereka saling tatap satu sama lain. Tapi Fay masih saja melihatku dengan kedua matanya yang tajam. "Sekarang, kalian bisa apa? Aku akan kehilangan segalanya. Yang kalian bisa lakukan hanya menonton penderitaanku, dan kesengsaraanku saja." "Iya!" ucap Fay serta merta. "Kita memang hanya bisa seperti itu. Kita memang bukan sahabat yang berguna. Kita semua miskin, tidak punya uang 1 milyar untuk membayar hutangmu. Jadi, kita pergi saja dari sini." Fay bangkit berdiri, matanya mengajak orang-orang untuk ikut satu pendapat dengannya. Tapi mereka masih tetap diam di tempat seperti patung di museum. "Itu bukan hutangku, Fay!" Tandasku sambil menekan telunjuku di atas meja. "Itu juga hutangmu!" Telunjuk Fay mengarah padaku beberapa kali. "Kalau saja kau bisa lebih hati-hati menjaga aset-asetmu, kau tidak akan kena tipu temanmu sendiri." Aku terperangah mendengarnya. Bisa-bisanya dia menyalahkan aku. Sudah jelas-jelas di sini aku korbannya. "Pernikahanmu saja tidak bisa kau jaga, apalagi uangmu. Sekarang, selesaikan saja masalahmu sendiri. Cari uang 1 milyar di luar sana." Aku berdecak melihat Fay menyambar tasnya lalu pergi dari hadapanku. Heels sepatunya yang berbentur ubin sampai keras terdengar. Dia menghilang dari balik pintu yang ditutup dengan kuat. Suasana menjadi hening. Semua sahabatku hanya bisa saling tatap satu sama lain. Dan bang Arsen yang melongo menatap kami semua sambil menenggak minumannya. Bisa-bisanya bule gila ini masih bisa santai dalam keadaan genting seperti ini. "Kalian juga bisa pergi kalau kalian mau." Ucapku pada akhirnya. Aku sudah tidak ada gairah apapun lagi. Semuanya akan segera lenyap, terkubur dalam-dalam tanpa ada sisa. *** Aku masih tidak bisa menemukan jalan keluar yang baik untuk masalah ini. Jadi, ketika si penagih hutang itu datang kembali untuk menyita Read Eat, aku pasrah saja. Semua karyawan terpaksa aku berhentikan. Rencananya aku akan menjual mobil untuk membayar gaji mereka. Beberapa buku-buku sudah aku bereskan. Barang-barang yang bisa diambil sudah aku bawa. Semua yang ada di sini hanya tinggal kenangan. Bisnis yang aku bangun dengan susah payah kini berakhir begitu saja. Sekali pun tidak pernah menyangka kalau hidup ku akan selesai seperti ini. Setelahnya, seakan belum selesai aku kembali direpotkan dengan urusan pembatalan pernikahan yang ternyata prosesnya jauh lebih sulit dibanding dengan mendaftar pernikahan. Dan juga aku harus merelakan uangku yang sebagian sudah masuk untuk berbagai macam keperluan pernikahan. Untungnya Miss Joana sedikit berbaik hati padaku dengan mengembalikan 10% dari uang yang masuk. Sebenarnya ini uang dari Ben tapi aku belum mengatakan apa-apa padanya. Aku tidak tahu apakah ini benar-benar batal atau hanya ditunda, tapi Ben sudah mengurus surat-surat pembatalan ke KUA setelah pertemuannya dengan Sera. Lalu hubungan kami? Aku juga tidak tahu seperti apa persisnya hubungan aku dengan Ben saat ini. Aku menghubungi Ben, dan dia langsung datang begitu mendengar kalau Read Eat disita debtcollector. Ben datang dengan setelan kaus abu-abu dan celana jeans. Hari ini dia sedang bebas tugas. Ngomong-ngomong dia sudah dipindah tugaskan dari Surabaya ke Jakarta. "Ambil saja, untukmu." Dia kembali menggeser amplop coklat berisi uang yang diberikan oleh miss Joana. Aku hendak memberikannya pada Ben, tapi dia menolak. "Aku belum semiskin itu Ben, aku masih punya uang." Senyumku terasa getir. Merasa luar biasa menyedihkan di depan Ben. Namun Ben tidak, atau belum bertanya apa-apa soal masalahku. Ya, aku tidak heran. Dia memang sama sekali tidak sensitif. "Aku merasa tidak enak saja kalau menerimanya." "Jadi, bagaimana? Tidak mungkin kan aku kembalikan lagi pada miss Joana." Ben tidak menjawab. Dia diam seolah sedang berpikir. Aku menggigit bibir bawahku, sambil menatap amplop coklat yang tergeletak seolah tak berarti. Padahal isinya uang jutaan rupiah. "Untuk Rey saja," tiba-tiba Ben berucap. "Abi bilang, Rey akan masuk sekolah dasar." "Sudah beberapa hari ini aku belum bertemu dengannya." Aku menatap Ben sekilas. "Oh, ku pikir kalian.. " Ben tidak melanjutkan kalimatnya. Entah karena tidak enak atau sedang menertawakanku. Mengejek diriku yang meminta putus karena mencintai pria lain, tapi ternyata pria itu hanya mempermainkan perasaanku. "Bagaimana kau dengan Sera? Kalian sudah menyelesaikan masalahnya? Bagaimana dia bisa hidup lagi?" Ada hening yang panjang. Ben masih tidak menjawab pertanyaanku hingga bibirku kering. Aku terlonjak saat kedua tangan Ben meraih kedua tanganku, meremasnya dengan erat. Diam-diam aku melihat kedua tanganku yang dia genggam. "Aku akan membayar semua kesalahanku padanya, aku akan melakukan apa yang seharusnya aku lakukan padanya dulu. Aku tidak akan lagi melarikan diri. Untuk dia, dan juga untuk Rey." Genggaman tangannya mendadak terasa dingin. Aku sudah kalah. Tapi, bukankah ini yang aku inginkan. Menemukan jawaban atas perasaan Ben. "Kau.. Tidak keberatan?" Bibirku membentuk garis tipis. Merasa payah dengan pertanyaannya. Dia pikir aku bisa apa dengan keputusannya. Keberatan atau tidak toh dia sudah memutuskan. Dan kami juga sudah berakhir. Tidak ada yang perlu dimintai lagi pendapat. "Aku.. Lega Ben." Ucapku, perlahan aku menarik kedua tanganku. "Akhirnya kau tahu kalau kalian memang belum selesai. Aku sama sekali tidak keberatan, dan kita.. Kita juga sudah selesai. Iya, kan?" Ben hanya mengangguk. Dan aku resmi menjadi si kacang polong yang di singkirkan. Ben dan Abi akan kembali bertarung merebutkan cinta Sera. Siapa yang akan menang? Aku tidak peduli. Aku hanya ingin pergi saja dari sini. Dari kehidupan mereka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD