Lourmarin

1027 Words
Gaya vintage ala-ala Eropa kuno langsung menyergap, begitu kami masuk ke dalam cafe. Abi memilihkan bangku paling ujung dekat dengan pagar balkon, sehingga aku bisa melihat pemandangan rumah-rumah klasik di Lourmarin. Hari mulai sore, dan karena waktu siang hari di Paris lebih singkat, jadi matahari sudah mulai turun ke peraduannya. Sama sekali tidak salah, kalau Paris dijuluki kota paling romantis. Tidak pernah aku melihat senja seindah ini. Seumur hidup, aku memang tidak begitu suka dengan pemandangan matahari sore. Sekalipun kau melihatnya di bibir pantai. Karena menurutku matahari sore itu, menggambarkan rasa lelah, penat, terasingkan, dan sedu. Tapi di sini, semuanya tampak begitu sangat indah. Walau ini bukan di pantai. Mendadak, aku jadi suka senja, pemandangan jalanan sempit Lourmarin, wangi bunga lavender, dan pautan jemariku dan Abi di atas atas permukaan meja kayu. Semuanya menjadi perpaduan yang sangat pas. "Aku sudah memesan penginapan di sekitar sini. Kita akan tidur semalam di sini, besok pagi baru kita pulang." Angin merembus, menerpa rambutku yang tergerai. Dan perhatianku pada langit jingga, teralihkan oleh kalimat Abi. "Anak-anak bagaimana?" "Mereka akan tidur di rumah Sera." "Ruby?" "Dia asyik bermain bersama Sienna. Kurasa kakaknya menjaga dengan baik." Kutahu, dalam kesehariannya Ruby terbiasa tanpa aku. Dia seringnya bersama mbok Darmi, kadang bersama tetanggaku, atau terkadang orang tua Abi datang untuk menjaga Ruby. Jadi, dia bukan tipe anak yang terus menempel pada ibunya. Walau pernah merasa iri pada ibu-ibu lain yang sering ditangisi ketiadaan nya oleh anaknya, tapi aku tak pernah lupa untuk selalu bersyukur. Memiliki suami yang selalu mendukungku untuk terus berkarir. Mengerti setiap kesibukanku, dan tak pernah letih untuk terus memahami apa yang menjadi keinginanku. Bahkan dia mau bekerja sama denganku untuk mewujudkan itu semua. Dengannya, aku merasa sangat sempurna. Dengannya tak ada lagi kata sulit. Dengannya hidupku terasa lebih mudah. Seakan tak kenal lelah, malam harinya kami menelusuri Lourmarin. Berjalan-jalan sambil bergandengan tangan, melewati sudut-sudut kota. Berbelok ke sebuah butik saat aku melihat pakaian yang menarik, kemudian kembali keluar karena tak ada yang ingin kubeli. Sampai akhirnya kami masuk ke area pasar malam. Sama seperti pasar malam yang ada di Jakarta, di sini banyak menjajakan kuliner kaki lima, pedagang souvenir buah tangan, dan lain sebagainya. Dan aku tak bisa menahan rasa ingin membeli buah tangan untuk semua sahabatku. Mereka pasti senang kalau pulang nanti, aku bawakan sesuatu yang tidak ada di Indonesia. *** Karena saking lelahnya menelusuri Lourmarin, perutku langsung keroncongan, dan kami memasuki sebuah restoran. Emm.. bukan restoran mewah dan modern. Lebih ke tempat makan biasa. Lampu-lampu kekuningan yang menggantung menambah nuansa romantisme. Kami memilih tempat duduk dekat jendela. Jadi, aku bisa melihat orang-orang hilir mudik lewat kaca tembus pandang. Restoran ini bentuknya seperti rumah biasa. Kalau aku bilang sih, seperti jejeran kuliner makanan di daerah Bogor, jalan kencana. "Kurasa, ini makan malam romantis kita setelah dua tahun yang lalu." Ucap Abi, yang duduk di hadapanku. "Benar juga," timpalku menyetujui. "Kita tidak pernah lagi pergi keluar berdua setelah punya anak. Seharusnya kita luangkan waktu untuk kita berdua." Abi meremas jemariku, menyambut kehangatan malam ini dengan senyuman. "Mungkin waktunya memang sekarang." Mataku menyapu sekeliling. Melihat orang-orang di luar restoran berjalan cepat-cepat seolah sedang memburu waktu. Suara lonceng yang berbunyi dalam pintu yang terbuka. Hiruk pikuk para pengunjung yang keluar masuk restoran. Kemudian menatap langit-langit restoran yang dipenuhi lampu-lampu gantung. Kursi kayu bercat hitam, meja kayu yang dilapisi kain putih bermotif bunga. Jendela dengan pinggiran kayu, Dan daftar menu yang ditulis dalam papan tulis hitam bertuliskan kapur warna. Semua yang ada di sini, unik sekali. "Kalau nanti aku punya toko sendiri. Maksudnya toko kue, tapi tidak menyewa tempat. Aku ingin tokonya di desain seperti ini." Ucapku sambil masih mengedarkan pandanganku. "Ya, bagus juga," Abi mengangguk, mengikuti arah pandangku. "Kalau begitu tinggal kalian kumpulkan uang untuk membeli sebuah ruko, atau tanah kosong, lalu dibangun seperti ini." "Semua itu tidak mudah, Bi. Butuh modal yang sangat banyak." "Maka dari itu, semangatlah. Tidak perlu memikirkan hal-hal yang tidak perlu kau pikirkan. Kau hanya harus fokus pada mimpimu, dan raihlah." Malam ini, aku ingin menjadi malam yang panjang. Menikmati setiap dinginnya Lourmarin. Hangatnya pelukan Abi yang masih terasa sama. Menyelami setiap detik yang berharga ini. Karena mungkin saja, aku akan pulang di saat aku sedang b******u dengan keindahan ini. *** Penginapan ini bukan apartemen mewah seperti milik Sera. Hanya sebuah kamar kecil, dengan ukuran kasur double, dan kamar mandi ukuran kecil. Lemari kayu ukuran sedang, serta meja nakas terbuat dari kayu. Abi melepaskan mantelnya, dan menggantungkannya di dalam lemari kosong. Kami tidak membawa baju ganti, ataupun peralatan mandi. Terpaksa beli dadakan di toko dekat sini. Walau Paris sedang musim panas, tapi rasanya tidak seperti musin panas. Aku justru kedinginan. Aku bergegas naik ke atas tempat tidur, mengubur diriku ke dalam selimut tebal. Melihatku sudah memakai piyama yang baru saja dibeli dadakan. Abi juga langsung naik ke tempat tidur. Tentu saja dia juga sudah berganti pakaian dengan baju tidur. Dia hanya memakai kaus lengan pendek, dan celana olahraga panjang. Kemudian mengikutiku mengubur diri dibalik selimut. Dia memeluk perutku yang sudah berubah menjadi gelambir lemak. Tapi dia tidak protes. Mengelusnya lembut, dan menaruh kepalanya tepat di dadaku. Sementara Aku menyisir rambutnya yang sudah mulai gondrong. "Bi, bagaimana kalau rambutmu di potong model seperti Darren." Usul ku. Dan dia dengan cepat mendongakan kepalanya padaku. Matanya mendelik tidak suka. Aku hanya tertawa saja. Darren itu menurutku, tidak seperti dokter pada umumnya. Biasanya penampilan dokter itu rapi, gaya rambut yang biasa. Tapi Darren. Ayolah, dengan gaya rambut yang dikuncir dengan membentuk cepolan kecil, dan bagian sisi kanan kiri di pangkas cepak, dia lebih pantas menjadi seniman muda, yang bebas. Dibanding dengan dokter spesialis pengobatan kanker. Tapi, karena wajahnya yang mendukung, jadi dia cocok cocok saja. "Kau mau, aku seperti itu?" tanyanya sambil tertawa kecil. "Aku tidak bisa membayangkan, bertemu dengan nasabah dengan model rambut seperti itu. Brewok lebat, kumis seperti suami Inul Daratista. Kurasa, mereka akan mencabut uang deposito mereka." Astaga, aku jadi membayangkannya. Pegawaii bank mana yang memiliki penampilan seperti itu. "Aku lebih suka kenyataan, kalau kau milikku. Apapun gaya rambutmu." Aku mencium keningnya yang terasa mudah aku gapai. "Aku lebih suka kenyataan, kalau hatiku hanya untukmu. Kau tidak tergantikan, Ana." Mendadak hatiku merasa hangat, walau ada sedikit rasa nyeri di sana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD