Tidak ada yang mudah

1038 Words
Siang itu merupakan hari yang buruk untukku. Melihat Rey masuk ruang tindakan di IGD, sedangkan Abi tidak tahu di mana keberadaannya. Saat sang dokter meminta persetujuan wali untuk menandatangani surat perjanjian untuk di operasi, aku tak kunjung bisa menghubungi Abi. Kenapa dia berubah menjadi pria menjengkelkan. Ben, tidak bisa menjadi penjamin, walau dia juga ayahnya. Jadi, aku putuskan untuk aku saja menandatanganinya. Sementara aku menyelesaikan urusan administrasi, Ben menunggu di ruang tindakan. Tanganku sampai bergetar saat memegang pulpen. Sambil menunggu, aku menelpon Vivi untuk meminta tolong membantu mbok Darmi menjaga Ruby di rumah. Di sini sedang hujan badai. Dan payung ku hilang, entah ke mana. *** Hingga sampai menjelang malam, Abi masih tak kunjung bisa dihubungi. Ponselnya kini mati. Aku meninju udara. Merasa luar biasa kesal. Rey sudah dipindahkan ke ruang inap. Semua proses yang aku lalui dari siang hingga malam ini, begitu parah. Aku bersyukur masih bisa bernapas hingga sekarang. "Abi masih tidak bisa dihubungi?" Ben bertanya. "Belum." Jawabku lemah. "Kau mau pulang?" "Aku harus jaga. Baru saja di telepon." "Pulang saja, tidak apa-apa." Kataku. "Aku belikan kau makanan, jangan lupa di makan. Jangan ikutan sakit. Besok aku ke sini lagi." Ben menaruh bungkusan di atas meja. Aku mengangguk sebagai balasan. Rey sudah tidur saat Ben pergi. Tinggal aku yang di sini, sendiri. Duduk di sofa bludru, memegangi kepalaku yang seakan mau pecah porak poranda. Fay menelpon ku, bertanya di mana Rey dirawat. Tidak lama Fay muncul. Mungkin dia sudah ada di bawah rumah sakit, saat menelpon ku. "Hai, tidak apa-apa. Everything is gonna be okay." Ucap Dah begitu dia masuk ke dalam kamar. Aku memeluk Fay. Melepas segala penat yang ada. "Berat untukku, Fay." Suaraku serak. Fay mengelus lembut punggungku, lalu menepuk pelan pundakku. "Tidak ada yang ringan di dunia ini, An." Katanya. "Dan kau sudah lakukan yang terbaik yang kau bisa, hingga saat ini." "Aku tidak tahu ayahnya ada di mana. Nessa bilang, Abi ambil cuti, tapi dia pamit bekerja padaku. Dan hingga saat ini, dia belum juga datang." Ada hening yang panjang. Fay tidak lagi bicara. Dia seolah kehabisan kata-katanya. Aku tahu, Abi adalah sejenis pria yang sangat tidak mungkin berbuat curang. Tapi kenyataan seolah sedang menamparku. Memperlihatkan padaku secara gamblang bahwa aku tidak bisa naif begitu saja. "Seharusnya kau menelpon ibu mertuamu, agar mereka bisa menemanimu di sini." "Mereka jauh, Fay. Kasihan kalau harus ke sini sekarang. Mungkin besok aku bisa mengabari mereka." Fay melepas pelukan kami. Kemudian tersenyum memberiku energi positif. "Aku bawakan banyak makanan." Fay bangkit berdiri, menaruh kantung belanjaan di atas meja. "Jangan cemaskan Ruby, aku akan bantu Vivi untuk menjaganya." Dia mengeluarkan isi dari dalam kantung belanjaan itu, dan menatanya di atas meja. Fay memberikan satu kaleng minuman. "Itu s**u kurma. Sengaja aku belikan minuman yang aman untuk diminum ibu menyusui." Kurasa, Fay banyak berubah. Dia lebih pengertian. Maksudku, dia memang pengertian. Tapi lebih memilih apa yang seharusnya dia katakan, mana yang lebih baik untuk tidak diungkapkan. Dia seperti itu semenjak dekat dengan Rafael. Pria itu membawa kebaikan untuk Fay. "Kalau kau minta aku untuk menginap di sini, aku mau." Fay membuka penutup kaleng minuman soda. "Tidak perlu, Abi pasti datang. Aku yakin, apapun yang dia lakukan di luar sana, dia pasti masih ingat anaknya." Perlahan aku memalingkan wajah pada Rey, yang masih tertidur di atas tempat tidur. Tangan kirinya di gips. Karena patah tulang. Dia di dorong dari atas tangga. Berguling-guling, lalu dipukuli temannya. "Oke," katanya, mengedikkan bahu. "Kalau begitu, sebentar lagi aku pulang." Ruangan ini, terasa begitu dingin, hampa, dan gamang. Tepat setelah lima menit Fay pamit pulang. Rey terbangun, kemudian menangis meraung. Memegangi tangannya yang di gips. Dia histeris, meronta-ronta walau sudah aku pegangi. "Mami, sakit.." Air matanya banjir membasahi pipi. Aku memeluknya dengan erat. Memberikan ketenangan. "Iya, sayang, iya. Nanti juga sembuh. Sabar yaa." Kedua tanganku erat memeluknya. Mengusap kepalanya yang terus bergerak tidak keruan. Dia terus memanggil namaku, meraung kesakitan. Dengan panik yang terus mendera dan peluh keringat membasahi sekujur tubuh, walau pendingin ruangan masih berfungsi. Aku menekan tombol di dekat tempat tidur, untuk memanggil perawat, agar datang ke sini. Dua kali aku harus menemkan tombol tersebut, seorang perawat wanita datang. Kemudian dia menolongku untuk menenangkan Rey. "Sepertinya, bius di tangannya sudah habis, Bu. Saya akan suntikan obat pereda nyeri." Ya, apalah. Yang penting Rey tetap tenang dan tidak merasa kesakitan. Melihatnya begini, aku merasa patah hati. Sangat tidak tega menyaksikan kesakitannya. *** Akhirnya Rey tenang. Dia berbaring di ranjang, tapi dia masih terjaga. Dia meminta roti padaku untuk dimakan. Aku baru ingat, mungkin dia belum makan dari tadi siang. Dia makan dengan lahap. Aku tersenyum melihatnya makan dengan segut begini. Aku belum bertanya kenapa dia bisa bertengkar dengan temannya. Apa masalahnya dan apa penyebabnya. Aku menunggu Rey merasa lebih baik, baru aku akan menanyakannya. Dan sepertinya aku harus menghubungi miss Shafiya. Dia sepertinya lumayan dekat dengan Rey. Siapa tahu miss Shafiya tahu apa yang sedang dialami anak-anak di sekolah, sehingga jadi brutal. "Mam, ayah di mana?" tanyanya polos. Melihat ke sekelilingnya, mencari keberadaan Abi. "Ayah masih di kantor, sayang. Sebentar lagi ayah datang." Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka. Dan yang masuk ke dalam kamar adalah orang yang kehadirannya aku tunggu-tunggu. Dia muncul dengan kemeja kerja warna coklat yang dia kenakan tadi pagi, yang bagian bawahnya keluar dari celana panjangnya. Lengan bajunya yang panjang dia gulung hingga siku. Tapi aku tidak melihat jam tangannya yang nyaris tidak pernah dia lepas kalau mau pergi. Hadiah dariku. Rambutnya agak berantakan, seperti tidak di sisir. Dia berjalan perlahan, mendekat pada kami. Aku baru bisa melihat wajahnya yang terlihat lelah dari jarak sedekat ini. Dia menatapku sebentar, kemudian menyapa Rey. "Rey, maaf, ayah terlambat. Mana yang sakit, sayang?" "Tangannya patah," ucapku tanpa ekspresi. "Di dorong temannya dari lantai atas. Tapi, dokter sudah mengambil tindakan. Rey harus terus menjalani terapi agar tulang tangannya kembali seperti semula." Jelasku, kemudian bangkit berdiri. "Mau ke mana?" "Kamar mandi." Aku melengos, tanpa melihatnya. Aku serius ingin ke kamar mandi. Tapi bukan untuk buang air. Aku mengeluarkan emosiku di sana, menangis sejadinya tanpa suara. Bisa-bisanya dia menghilang seharian, ditunggu kedatangannya, dan baru muncul di malam hari dengan tampang yang biasa saja. Tanpa merasa bersalah. Sebenarnya siapa yang sedang aku hadapi sekarang. Apakah dia benar, Abyan? suamiku yang aku nikahi 2 tahun yang lalu ini?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD