Untuk aku, yang terlalu sok tahu terhadap perasaan orang lain. Inginku kubur dalam-dalam diriku ke dalam tanah. Aku terlalu percaya diri bahwa suamiku masih dicintai wanita lain. Aku tidak sadar kalau waktu telah berlalu, dan seseorang bisa saja dengan bijak memanfaatkan kisah masa lalunya untuk memetik sebuah hikmah. Aku lupa, kalau seseorang pasti melakukan sebuah tindakan terhadap perasaannya yang tak terbalas, dengan menekan cintanya dalam-dalam sampai tak terlihat lagi. Dengan kata move on, mungkin itulah yang selama ini Sera lakukan.
Kemudian dengan bodohnya, aku mempertanyakan perasaan itu, dan meminta dia untuk kembali kepada seseorang yang mungkin telah dia usahakan untuk dilupakan. Dengan konyolnya, aku sama sekali tidak memikirkan bagaimana kerasnya Sera untuk melanjutkan hidup, menatanya kembali perasaanya sampai menjadi susunan indah yang dia inginkan. Hey, tidak semua orang menginginkan masa lalunya dikorek kembali. You are stupid, Ana.
Betapa menjengkelkan nya dirimu. Dan betapa egoisnya aku. Aku hanya memikirkan bagaimana caranya membuat pria itu bahagia, tanpa memikirkan Sera dan hatinya. Pantas saja, dengan gamblang nya Sera membawa seorang pria dan memperkenalkannya sebagai tunangannya. Aku tidak peduli apakah yang dia katakan benar, atau Darren hanya dijadikan sebuah alasan untuk Sera. Yang jelas, dia sangat terganggu dengan permintaan paling konyolku semalam.
Aku mengerjap, membuang muka, menatap air mancur yang mengalir dari atas sana. Memercikan airnya ke sisi-sisi jalanan. Melihat orang-orang beswafoto bersama dengan air yang menari-nari itu.
"Hai, Abi." Aku tersentak saat mendengar suara bariton itu. Kembali aku memalingkan wajah, dan mengumpulkan keberanian yang melumer dan sempat tercecer dengan rasa malu.
"Darren." Pria itu menjabat tangan Abi. Kemudian mengukurkan tangannya padaku. "Darren." Ucapnya.
"Oh, A-ana." Aku mati-matian membuang rasa gugup. Menjabat tangan Darren, dan merasakan dinginnya tanganku.
Pria dengan rambut yang ikonik ini memiliki kornea mata abu-abu gelap. Dia pasti bukan orang Indonesia. Aksennya juga jelas, bukan aksen orang Indonesia. Wajahnya ditumbuhi brewok tipis, menumbuhkan kumis, dan memiliki alis yang tebal.
"Apa kami menganggu waktu kalian?" tanya Sera. Dia sudah melepaskan tangannya di lengan pria itu.
"Tidak, tidak." Jawabku. "Kami justru senang kalian bergabung. Jadi, kami tidak perlu repot membuka kamu, melihat peta, dan menanyakan kepada orang-orang di sini dengan bahasa yang membingungkan."
Sera tertawa. Dan dari situ aku tahu, bahwa Darren adalah jenis pria yang hangat. Ya, dia tidak kaku seperti Ben, angkuh seperti Abi. Dia.. ramah seperti Arsenio.
Kemudian, kami duduk kembali di tempat yang tadi. Darren mendorong stroller Sienna, lalu mengangkat gadis cilik itu dan memangku nya di pangkuannya. Mereka tampak akrab dan dekat satu sama lain. Sienna juga nampaknya nyaman-nyaman saja bersama Darren. Aku jadi berpikir ulang, kalau Darren adalah orang sewaan Sera. Mungkin dia benar. Mereka sudah bertunangan.
"Maaf, kalau aku tiba-tiba muncul bersama Darren." Sera berkata, sambil melirik pria yang brewok yang rambutnya di cepol, tapi sisi kanan dan kiri di pangkas. "Dia.. baru kembali dari Amsterdarm."
"Oh, ya." Aku mengangguk, kemudian sambil menarik napas memalingkan wajah pada Abi. "Kau.. emm... Darren orang Perancis?"
"Oh, bukan. Ayahku asli Indonesia, ibuku dari Amsterdarm. Dan.. aku mendapat pekerjaan di Paris." Darren menjawabnya dengan sangat lugas. Senyumnya terpancar di wajahnya yang tegas.
"Aku bertemu Darren, ketika aku menjalani terapi. Dia.. seorang dokter ahli ankologi." Jelas Sera pada kami. Seketika aku dan Abi saling pandang satu sama lain.
"Emm.. kau menangani pasien kanker?" tanya Abi cepat.
"Ya," Darren mengangguk.
"Kebetulan-" Aku mencengkeram tangan Abi, menghentikan kalimatnya. Aku tahu dia akan bicara apa.
"Kebetulan sekali, kau masih sangat terlihat muda." Aku menyela. Untuk otakku berputar cepat, sehingga aku bisa melanjutkan kalimat Abi yang aku putus. "Untuk ukuran dokter spesialis." Lanjut ku.
"Kau memang pembual yang andal." Pungkas Darren. Dan tentu saja itu hanya sebuah candaan. Setelahnya tawanya membahana. "Sera sudah cerita banyak tentang kalian."
Aku melirik pada Sera. Terlalu terkejut dan cemas, karena jujur saja kami sama sekali tidak memiliki catatan baik di masa lalu. Jadi, Sera cerita tentang apa pada Darren. Kejar-kejaran di kebun teh kemudian masuk jurang? Tentang video viral? Oh, ayolah semua itu seharusnya tidak usah diceritakan.
"Kau sungguh wanita yang luar biasa. Mampu menerima segala kekurangan yang suamimu miliki." Darren melanjutkan. Dan aku menunjuk pada diriku sendiri. Apa dia sedang membicarakanku. "Ya, kau, Ana. Kau luar biasa."
Sepertinya pikiranku terlalu jauh dan terlalu cepat menilai seseorang.
"Kita hanya akan menjadi sempurna bersama dengan orang yang tepat." Jawabku seduktif.
Kami semua mengangguk dan tertawa bersama sebagai tanggapan. Jujur saja, aku masih sangat merasa canggung dan luar biasa malu di hadapan Sera. Andai saja aku tahu dia punya pasangan, aku tidak akan meminta hal aneh tadi malam. Kupikir dia seorang ibu tunggal.
"Masih banyak lagi yang bisa kita kunjungi di sini. Kalian sudah pergi ke taman di istana ini?"
Aku dan Abi menggeleng secara bersamaan. Dan pada saat itu juga, kami memutuskan untuk berkeliling istana. Darren memandu kami, berjalan memasuki area taman yang sangat luas. Konon katanya pembuatan taman ini tidak benar-benar selesai, sangking luasnya. Taman ini terdapat kolam besar, dan dua puluh elemen air. Pohon dan tanaman di sini juga dibudidayakan dan diangkut dari berbagai daerah di Perancis.
"Ayah, banyak sekali pohon di sini. Tanamannya juga indah." Rey berlari diatas kaki mungilnya, melihat sekeliling taman yang di d******i oleh pohon dan tanaman hijau. "Siapa yang menyirami ini semua?" tanyanya. Pertanyaannya membuat keningku berkerut bingung.
"Mbok Darmi, mungkin." Celetuk Abi. Dia terkekeh. Aku juga. Sedangkan Rey, mendelik pada ayahnya, sama sekali tidak tertawa.
"Taman-taman ini membutuhkan pemeliharaan yang konsisten. Dan setiap anaknya, taman-taman ini membutuhkan penanaman ulang untuk menjaga semuanya dalam kondisi terbaik." Balas Darren. Dan ini adalah jawaban yang paling benar.
Abi mendorong stroller dan main kejar-kejaran bersama Rey. Sedangkan Darren memilih untuk berjalan sendiri sambil menggendong Sienna di punggung.
"Aku minta maaf." Kataku, begitu aku tahu kalau hanya ada aku dan Sera.
"Untuk apa?"
"Karena meminta hal konyol tadi malam." Aku membasahi bibirku. Telapak tanganku berkeringat dan saling bertautan.
"Kau pasti sedang ada dalam kondisi yang tidak baik." Katanya. "Dan, aku siap mendengarkan kalau kau memang percaya padaku." Sera memalingkan wajahnya padaku. Berusaha untuk melakukan kontak mata. Aroma shamponya yang wangi menguar tertiup angin.
Aku hanya menyunggingkan senyum, kemudian menganggukkan kepala. Memijat pelipisku, mencoba menekan kembali ide-ide konyol ke dalam kepala.
"Aku tidak mengatakan, aku baik-baik saja. Tapi, sepertinya bukan waktu yang tepat untuk aku berbagi."
"Kalian berdua.. maksudku, pernikahan kalian-"
"Pernikahan kami baik-baik saja. Hanya ada beberapa hal yang harus aku lakukan untuk keluargaku."
Langkah Sera terhenti, dia menatapku dengan intens. "Apa itu?"