Aku berharap pria itu akan terus berjalan dengan semestinya walau bila nanti aku tiada. Dan aku ingin dia akan selalu bahagia walau tidak bersamaku. Dan yang paling penting, aku ingin anak-anakku terjaga dengan baik oleh seseorang yang tulus mencintai mereka. Menjadi orang yang amanah menjaga buah hati yang bukan keturunannya. Dan aku pikir, Sera adalah wanita yang tepat untuk menggantikanku.
Tidak tahu bagaimana cara mengungkapkannya. Aku juga tidak tahu apa reaksi mereka nanti kalau aku mengutarakan rencanaku. Tapi, aku harus melakukan itu. Aku yang harus memilih siapa yang pantas untuk menjalankan semua daftar yang telah aku susun. Menjadi sayap bagi Abi, Rey dan Ruby.
Karena Disneyland tutup pukul 8 malam, jadi saat jam 6 sore kami sudah keluar dari taman bermain itu. Dan langsung kembali ke apartemen. Karena sangat lelah sekali. Pukul 9 malam, anak-anak sudah tidur. Dan aku, duduk di balkon kamar ini, menikmati pemandangan kota Paris dengan lampu-lampu menyala ribuan watt. Sambil menyesal coklat panas dalam cangkir.
Kemudian aku merasakan punggungku di balut oleh selimut. Abi, duduk bersila di sampingku. Dan menyelimuti kami berdua oleh bedcover warna putih.
"Mau?" aku mengangkat cangkir berisi coklat panas padanya.
"Enak?"
"Cobain aja."
Lalu, Abi memanjangkan lehernya, memajukan wajahnya padaku dan mengecup bibirku, bertahan dalam beberapa menit. Kemudian melepaskannya dan kembali pada posisi semula.
"Iya, enak." katanya, sambil mengangguk-anggukan kepalanya, persis juri yang sedang ada dalam kompetisi masak memasak.
Otomatis aku mengeluarkan tawa yang menggelegar. Dan meninju wajahnya pelan. "Norak!" umpatku.
"An, ayolah, kita sedang ada di Paris. Kota dengan sejuta romansa. Seharusnya aku melakukannya di atas tower paling tinggi di menara Eiffel. Nanti kita ke sana."
"Tentu saja. Tidak afdol rasanya kalau ke Paris, tapi tidak ke menara Eiffel. Rasanya seperti kau pergi haji tapi tidak melakukan wukuf di padang arafah."
Abi tertawa kecil, lalu menyubit hidungku. Lalu merangkul pundakku, dan mendekapnya. "Next, kita pergi umroh saja." Katanya. "Kita harus memulai merencanakan liburan kita mulai sekarang."
"Kebanyakan liburan itu tidak baik. Namanya pemborosan."
"Boros untuk istri sendiri, jadi pahala. Rezekiku akan bertambah berkali-kali lipat."
Aku hanya tersenyum, merasakan rasa nyaman bersandar di pundaknya. Yang mungkin hanya sesingkat ini bisa aku rasakan. Kelak, bahunya hanya akan menjadi sebuah kenangan. Dan malam ini, aku ingin seperti ini lebih lama. Berharap, waktu akan berjalan jauh lebih lambat dari biasanya.
"Bi, aku mau bertanya beberapa hal padamu."
"Apa?" bisa aku rasakan, Abi meremas pundakku.
"Apa kau akan baik-baik saja kalau aku tidak ada?" tanyaku.
Setelahnya, ada hening yang panjang. Saking heningnya, aku bisa mendengar detak jantungnya, dan deru napasnya. Masih tidak ada jawaban, sampai-sampai aku harus mendongak untuk memeriksa kalau dia masih terjaga.
"Coba kau tutup matamu." Katanya.
"Sudah."
"Apa rasanya?" tanyanya.
"Gelap." jawabku.
"Apa kau pikir seseorang akan baik-baik saja berjalan di kegelapan?"
Aku mengeratkan pelukanku padanya. Berharap angin malam ini membuatku hangat oleh dekapannya. "Allah akan memberikan seseorang untuk menerangi jalanmu."
"Tidak ada yang sebaik dirimu." Katanya.
"Kalau aku punya seseorang yang sama baiknya? bisa menjagamu dan anak-anak?"
Abi mendorong tubuhku, lalu dia menatapku tajam, sambil menyipitkan matanya. "Ke arah mana pembicaraan kita ini?" tanyanya agak kasar.
"Aku hanya ingin memastikan kau dan anak-anak baik-baik saja. Aku ingin ada seseorang yang menjagamu dan-"
Belum selesai aku bicara, Abi beranjak dari dari duduknya meninggalkanku sendiri di balkon ini. Dia pasti marah. Bagaimana caranya aku meminta dia untuk menikahi Sera kembali.
***
Waktu sudah menunjukan pukul sebelas malam, tapi aku masih tidak bisa memejamkan mataku. Abi sudah mendengkur. Dia tertidur sejak obrolan kami yang terputus di balkon tadi. Karena bosan tidak ada yang bisa aku lakukan di sini, aku memutuskan keluar dari kamar apartemen ini. Berjalan-jalan di trotoar, dan menuju landmark kota ini. Eiffel.
Aku berjalan menyusuri pinggir Seine Riviera menuju ke Eiffel tower. Letaknya memang tidak jauh dari apartemen yang kami tempati, jadi kupikir aku tidak akan tersesat. Kalau pun tidak bisa pulang, aku bisa menelpon Abi untuk menjemputku.
Aku tidak berniat untuk masuk dan menaiki Eiffel tower. Aku hanya berjalan-jalan di dekat sini saja. Lumayan ramai. Saat aku menendang udara, ada yang menepuk pundakku dari belakang. Aku melonjak dan dengan gerakan cepat menoleh ke belakang dan siap mengambil ancang-ancsng. Tapi aku mengembuskan napas lega saat melihat siapa yang ada di belakangku.
Sera, tersenyum kecil. "Maaf, aku mengagetkanmu, ya."
"Aku kira siapa."
"Ini sudah malam An, sedang apa kau berkeliaran di sini sendiri? kau tidak sedang tersesat, kan?"
Aku menggeleng, kemudian mengeratkan coatku. "Tidak. Aku hanya tidak bisa tidur."
"Oh, kupikir kau tersesat."
"Kau sendiri? sedang apa?"
"Bertemu seorang teman." Jawab Sera. "Hari ini cukup menyenangkan untukku. Terima kasih, An, karena telah membujuk Rey. Akhirnya doaku terjawab sudah."
"Kau meminta apa dalam doamu?" Kami mulai berjalan di atas rumput hijau yang rapi.
"Aku terus berdoa, agar Tuhan memberiku kesempatan untuk bertemu Rey, ngobrol dengannya, bermain bersama."
"Kau ingin selamanya bersama Rey?"
"Oh bukan seperti itu." Nada bicara Sera seperti orang yang sudah salah bicara. "Aku sudah bahagia walau diberi waktu satu hari bersamanya. Aku tidak berani untuk berharap lebih."
"Kalau ternyata kau diberi kesempatan itu, bagaimana?"
Sera menoleh padaku. Keningnya berkerut. Lalu dia memutar matanya ke atas seolah sedang berpikir. "Maksudnya?" tanyanya tidak mengerti.
"Kau belum menjawab pertanyaanku tempo hari, saat di rumah sakit." Ucapku.
"Tentang?"
Aku berhenti melangkah, kemudian menghadapkan diriku padanya sepenuhnya. "Tentang perasaanmu pada Abi. Apa itu masih ada di hatimu?"
Dia diam. Hanya menatapku. Lalu memalingkan wajahnya. "Aku pikir, itu hanya menjadi urusanku saja."
Dia menyunggingkan senyumnya. Tapi aku yakin, matanya tidak lagi bicara bohong. Semua jelas terpancar. Lalu Sera menarik napas, dan kembali melangkah.
"Kalau kau masih mencintainya, menikahlah dengannya."
Wanita itu menghentikan langkahnya. Rambutnya yang panjang tergerai indah, melambai-lambai diterpa angin. Aku meneguhkan hatiku setelah mengatakan kalimat itu padanya.
Selang beberapa detik berikutnya, dia berputar, lalu berjalan mendekat padaku.
"Apa kau bilang?" katanya, matanya menyipit.
"Menikahlah dengannya." Ulang ku.
"Apa?" Dia menyemburkan tawa. "Kau sedang bergurau, An?"
"Aku serius." Kataku sekali lagi. Kini dengan sedikit penekanan. Tawa Sera mendadak lenyap. Dia menyoroti mataku, menatapku dengan tatapan yang sulit aku artikan. "Waktuku tidak banyak. Dan aku ingin kau menggantikan peran ku, untuk menjaga Abi dan anak-anakku."
Sera menatap tangannya yang aku genggam, lalu kembali memusatkan perhatiannya padaku. "Kenapa?" tanyanya lirih. Kali ini wajahnya terlihat sangat cemas.
Bibirku terasa kering, sampai aku harus membasahi nya dengan lidahku. "Aku.. aku.."
"Ana,"
Aku terlonjak, kemudian memutar tubuhku. Dan aku mendapati Abi berdiri di sana. Lalu dia yang masih mengenakan piyamanya, berjalan padaku, dan menarik tanganku. Menyeretnya paksa. Meninggalkan Sera yang mematung di tempat.