So good bye, don't cry and smile

1046 Words
Langit Lembang memang selalu membuatku jatuh cinta. Tak sekali pun aku menemukan luka di sini, kecuali saat Mami dan Ayah tiada. Saat itu seakan tidak ada lagi warna biru, yang ada hanya kelabu dan mendung silih berganti. Patah hati paling berat menurutku. Aku mengulas senyum saat melihat sosok wanita paruh baya sedang membawa keranjang besar di punggung, berisi tumpukan daun teh berwarna hijau. Begitu sosok itu menurunkan keranjang itu, lalu menaruhnya di sisi pagar kayu, aku segera menghambur ke pelukannya. Bi Endah, yang entah sejak kapan kehadirannya membuatku rindu. Bi Endah menurunkan capingnya yang ada di kepala. Sebuag topi terbuat dari anyaman yang sering dipakai oleh pemetik daun teh. Melindungi kepala mereka dari sengatan teriknya matahari. "Bibi kira kau tidak akan pernah pulang." Wajah Bi Endah begitu teduh, padahal aku yakin nyaris seharian dia berada di tengah-tengah kebun teh, di bawah matahari yang terik. Satu tangannya melambai ke arah Mang Kosim yang berdiri tidak jauh dari kami, bersama dengan pemetik daun teh lainnya. Aku masih mengenal pria tua itu. Beliau udah bekerja sejak aku masih kecil. Beliau termasuk pekerja setia ayah. Pria senja dengan tubuh kurus itu tergopoh menghampiri Bi Endah. "Iya, Teh." Ucap Mang Kosim. Walau aku tahu usia bisa Endah lebih muda dari Mang Kosim, tapi beliau tetap memanggil bisa Endah dengan sebutan bibi. "Bawa ini ke dalam." Bi Endah memberi perintah sambil menunjuk ke arah keranjang besar berisi banyak daun teh. "Terus bawakan teh milik Adit yang sudah diseduh, bawa ke rumah saya." Mang Kosim mengangguk paham, kemudian berlalu sambil memanggul keranjang daun teh tersebut. "Adit, baru saja mengolah daun-daun teh sendiri di sini. Rencananya, dia akan memproduksinya di Tasik. Mau buat pabrik teh katanya." Adit adalah anak bungsu Bi endah. Satu tahun lebih tua dariku. Kuliah jurusan Gizi, sekarang bekerja di rumah sakit di Tasik. Adit memang kreatif sejak dulu. Dia sering sekali bereksperimen tentang segala hal, terutama soal makanan. Jadi aku tidak kaget kalau dia mengolah daun teh. Setelah aku menaruh koper di dalam kamar, dan membersihkan diri, aku duduk bersama Bi Endah di ruang tamu. Rasa dingin langsung menyergap kulit tubuhku. Bi Endah memberikan sandal jepit padaku seolah tahu kalau telapak kakiku mulai mendingin. Penjual AC tidak laku kalau buka toko di sini. "Teh percobaan punya Adit." Jelas Bi Endah seraya memberikan secangkir teh hangat padaku. "Walau kebun teh dan isinya sudah seperti separuh jiwa Bibi, tapi Bibi tidak pernah mengerti perbedaan antara teh yang satu dengan yang lainnya. Menurut Bibi mereka sama. Pahit." Bi Endah mengernyit, sambil menuangkan teh dalam ceret ke cangkir kecil miliknya. Aku menyunggingkan ujung bibirku. "Enak." Kataku, menilai rasa teh ini. "Beda aja dari yang lain. Rasa teh nya lebih pekat, tidak hambar. Dan terlebih lagi wangi." Chef Juna juga kalah denganku dalam menjadi juri. Bi Endah mengangkat kedua alisnya lalu tertawa kecil. Ikut menikmati teh hangat dalam cangkir. "Walau pahit, tapi kita masih bisa menikmati teh ini. Dengan cara memberi gula. Kalau ingin lebih nikmat bisa ditambah dengan es batu." Ucap bisa Endah. "Kita punya banyak cara untuk membuat teh yang pahit ini dapat kita nikmati." Bi Endah tersenyum. "Begitu juga dengan hidup. Kita bisa menjalaninya dengan santai walau terkadang terasa begitu sulit. Dengan cara apa?" Mata bi Endah membulat padaku. Tapi aku menggelengkab kepala. "Dengan sholat dan dzikir." Jawaban dari bi Endah membuat aku reflek tersenyum. Merasa tersindir karena memang aku merasa sholatku belum sempurna. Aku masih melakukannya secara bolong-bolong. "Benar, Bi." Kataku dengan senyuman kecil. Dan bi Endah juga tertawa kecil, seperti tahu kalau aku tersindir. "Kau bisa menjualnya di restauranmu, di Jakarta." Kata bi Endah. Ini saran yang bagus, tapi waktunya sangat tidak tepat. Ide cemerlang dari bi Endah membuat aku tertegun. Cangkir berisi teh terapung di udara. Sejak kejadian batalnya pernikahanku dengan Ben, aku tidak pernah lagi mengabari Bi Endah tentang keadaanku. Bi Endah sempat terkejut mendengar batalnya pernikahanku. Karena hal itu, beliau sempat menyuruhku pulang, karena beliau takut aku terguncang karena patah hati. Aku tertawa saja, padahal keponakannya lah yang membatalkan pernikahannya sendiri. Aku lah yang membuat hidupku jadi kacau balau. Dan sekarang aku yang rugi sendiri. Tapi sejak hari itu, aku menolak pulang dengan tegas. Hingga sampai kemarin tiba, aku baru menyadari bahwa kata 'pulang' memang seharusnya menjadi urutan pertama di dalam daftar rencana hidupku. Seharusnya aku sudah melakukannya sejak kemarin. Sekarang aku tidak tahu dari mana aku harus mulai menjelaskan kepada Bi Endah bahwa restauran itu sudah bukan milikku lagi. Bahwa semua warisan ayah sudah lenyap tanpa sisa. Semua begitu rumit seperti benang kusut. Tidak tahu di mana letak awalnya, apalagi bagian akhirnya, sama sekali tidak bisa aku terawang. Aku hanya bisa menatap bi Endah dalam diam. Kembali menyesap teh hangat yang dibuat Adit. "Ya, nanti aku bahas bareng Adit." Dan hanya kalimat itu yang bisa aku utarakan kepada Bi Endah. "Jadi, berapa lama kau akan berada di sini?" Tanya Bi Endah. "Bibi tidak masalah kalau kau mau sekalian pindah ke sini. Restauranmu ada yang jaga, 'kan?" Aku kembali mendongak, tapi tidak langsung menjawab. "Lembang memang tempat yang tepat untukmu saat ini, jika Jakarta terlalu," Bi Endah menggantungkan kalimatnya, dan memiringkan kepalanya seolah berpikir. "Krusial." Bi Endah tersenyum karena menemukan kata yang tepat. Kalimatnya membuat aku menyemburkan tawa kecil. Merasa tersindir lebih tepatnya. Bi Endah sepertinya sangat mengerti dengan suasana hatiku saat ini. Ucapannya semuanya benar. Dapat seratus kalau beliau ujian. "Rencananya sih memang pengin pindah Bi, tapi lihat saja nanti." "Bagus, An." "Bi Endah tidak keberatan?" Mata sipit Bi Endah tiba-tiba membulat, tapi tidak membuatnya jadi belo. Mulutnya menganga lebar. Dan saat itu juga menandaskan cangkir teh ke atas permukaan meja kaca yang dilapisi kain taplak motif shabby chic. Motif yang sedang tren itu. Ternyata bi Endah ikut tren juga. "Ana, asal kau tahu. Bibi menginginkanmu untuk pindah ke Lembang dari dulu. Apalagi saat kau mengabari kalau pernikahanmu dengan Ben, batal. Rasanya Bibi ingin menjemputmu ke Jakarta saat itu juga." Kata Bi Endah serta merta. Seolah rentetan kalimat yang baru saja beliau ucapkan sudah tertahan dalam benaknya, dan inilah waktunya untuk dia keluarkan. "Rumah ini terlalu besar untuk Bibi tempati seorang diri. Sepupu-sepupumu itu juga menolak pindah dengan alasan pekerjaan." "Baik, baik Bi." Sanggahku cepat sebelum Bi Endah melanjutkan aksi pidatonya. "Aku akan pertimbangkan." "Apa?" Tandas Bi Endah. "Pindah ke sini." Bi Endah mengangguk tegas. Seolah apa yang aku putuskan adalah hal yang paling benar sedunia.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD