The city of love

1042 Words
"Maaf." Hanya itu yang bisa aku ucapkan padanya. Suaraku serak. "Seharusnya aku yang minta maaf. Aku tidak ada di sisimu saat kau butuhkan." Abi mengusap lembut kepalaku. Aku menarik napas dalam, memutar bola mataku ke atas, demi melonggarkan rasa sesak di d**a. "Jangan katakan apapun pada Rey. Aku tidak mau dia tahu kalau aku sakit." "Rey sudah tahu lebih dulu. Maka dari itu, dia ingin bertemu Sera. Karena hal itu yang membuatmu bahagia. Dia ingin memberikan kado terindah di sisa-sisa harimu. Rey tahu, kalau kau tidak akan lama lagi bersamanya." Bagai terhantam batu besar, aku merasakan nyeri di dadaku. Aku memejamkan mata sejenak. "Aku ingin kita wujudkan mimpi kita. Untuk Rey, dan untuk Ruby." "Ya," suara Abi nyaris tak terdengar. "Aku akan berusaha sekuat yang aku bisa untuk mewujudkan mimpi kita." Abi mengusap ujung mataku karena air mata. "Minggu depan, kita semua ke Paris. Bertemu Sera." Senyum tipis mengembang begitu saja di wajahku. Sambil menggenggam erat tangan Abi, aku menyalurkan sisa-sisa tenagaku. Menatap matanya dalam diam, seolah mengatakan kalau semuanya baik-baik saja. Tidak perlu ada yang dicemaskan. Tapi lambat laun, secara perlahan kepala Abi tertunduk. Keningnya menempel di punggung tanganku. Kemudian isakan kecil dan lembut terdengar di telinga. Aku menarik tanganku, mengulurkannya hingga ke punggung. Lalu mengelus nya pelan, menyalurkan kekuatan. Aku tak ingin ikut menangis. Karena hanya akan membuat Abi semakin lemah. Aku harus kuat untuk mereka. *** Sera menghubungiku, dan dia mengatakan kalau dia sudah memesan tiket pesawat untuk kami, dan menyewakan penginapan di Paris. Aku meminta izin kepada Vivi dan Naya untuk ambil libur selama dua minggu penuh. Setelah memeriksa stok bahan kue dan mencatat daftar kue apa saja yang perlu dibuat dalam dua minggu ke depan. Bersyukur Indah anak yang cekatan dan cepat belajar. Aku sedang mengepak semua keperluan ku untuk pergi ke Paris, saat Fay datang ke rumahku. Lagi-lagi dia membawa banyak makanan. Dan kulihat badan Fay jauh lebih berisi dibanding sebelumnya. "An, kau yakin akan melakukan ini?" tanya Fay. Dan aku mengangguk. "Kau benar-benar sudah tidak waras." Aku menyunggingkan senyumku, dan tergiur pada bubur sumsum yang ada di wadah plastik. "Aku hanya ingin memastikan, dia baik-baik saja sebelum aku pergi." Ucapku santai. "Mungkin bagi orang-orang yang tidak mengerti keadaanku, mereka akan menganggapku tidak waras." "Kau hanya perlu fokus pada dirimu sendiri, An." "Tidak Fay," timpalku tak ingin kalah. "Setelah aku dan Abi berikrar, hidupku bukan lagi tentang aku, tapi tentang kita. Aku juga perlu memikirkan Abi, Rey, dan Ruby. Aku harus memastikan mereka tetap baik-baik saja. Memastikan, mereka tetap memiliki senyum bahagia." Fay menatapku jengah, kemudian memutar bola matanya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Abi setuju dengan idemu yang sangat cemerlang itu?" tanyanua retoris. Sindiran nya sungguh sangat menyinggung. Tapi aku justru malah tertawa. "Aku sedang memikirkan bagaimana cara mengatakan padanya." "Aku tidak paham lagi apa yang ada di otakmu saat ini." "Kau akan mengerti ketika kau mencintai dan dicintai oleh orang yang tepat." "Whatever." Ulasnya, sambil mengangkat kedua pundak. Kemudian menyendokan satu suapan bakso aci ke dalam mulutnya. *** Pagi ini benar-benar sibuk. Aku sudah bangun sejak pukul empat dini hari. Kemudian mandi, lalu membangunkan Abi, dan memaksa membangunkan Rey dan Ruby. Membuat air hangat untuk mereka mandi. Aku tidak mau mengambil risiko anak-anak akan mencak-mencak kalau harus mandi air dingin. Karena Rey sudah mulai belajar mandi sendiri, jadi aku tinggal memandikan Ruby. Walau sebenarnya tidak mudah, dia sempat menangis karena dipaksa bangun disaat sedang tertidur pulas. Tapi, dengan kekuatan super mom aku bisa membuat dia menyelesaikan kegiatan mandi, sampai pakai baju. Tentunya dengan dibujuk akan dibelikan mainan. Urusan mandi anak-anak telah selesai, dan bekal pakaian, obat-obatan dan lain-lain juga sudah siap. Abi melarangku untuk memasak sarapan. Katanya kita akan sarapan di bandara saja. Jadi, kita langsung tancap menggunakan taksi pada pukul 7 pagi. Walau pesawat berangkat pukul 11 siang. Agar kami bisa santai menikmati sarapan. Abi memakai diaper bag di punggungnya, sedangkan aku menggendong Ruby. Sera bilang di sana sedang musim panas, jadi tidak perlu membawa banyak baju tebal. Rey menggendong tasnya sendiri, dan begitu antusias saat memasuki bandara. Bahwasannya ini adalah kali pertamanya dia akan naik pesawat. Ruby juga. Hari ini akan menjadi pengalaman pertama untuk anak-anak. Kami menuntaskan sarapan pagi tepat tiga puluh menit pesawat kami take off. Maka dari itu, kami belingsatan menyeret koper-koper kami menuju boarding pass. Sedangkan Ruby menangis tidak keruan. Tantrum nya memang selalu kumat. Dengan agak kerepotan, aku mengeluarkan camilannya dari dalam diaper bag, dan setelah itu dia baru diam. Aku bernapas penuh lega saat kami semua sudah duduk di dalam pesawat. Dan kami akan mengudara menuju Paris kurang lebih sekitar dua puluh satu jam, dengan dua kali transit. Ini akan menjadi perjalanan paling panjang seumur hidupku. *** Kami sampai di bandara Charles de Gaulle, Paris. Rasanya badan ini mau rontok, dan tulang-tulang ku melunak. Sepertinya pergi spa lumayan akan mengendurkan otot-otot tubuhku. Aku sudah menghubungi Sera, untuk menjemput kami di bandara. Tepat pukul delapan malam waktu setempat, kami sudah keluar dari pesawat, dan mencari keberadaan Sera. Ruby tertidur di gendongan ku, sedangkan Rey, matanya sudah sayup-sayup di gandengan ayahnya. Mataku mengawasi sekitar. Dan di arah jarum jam 12 aku menemukannya. Dia langsung mendapatiku, dan melambaikan tangannya. "Sera," aku menepuk lengan Abi, dan berjalan menghampirinya dengan semringah, seolah sedang bertemu dengan artis pujaan. Dia memelukku dengan hati-hati, karena terhalang oleh Ruby. "Duh kasihan, yuk kita langsung pulang saja." Dia mengelus pipi Ruby yang tertidur pulas. Aku menuntut Abi, dan sekilas melihat Rey yang menatap Sera dengan takut-takut. Aku yakin, Rey sedang berusaha menyingkirkan ketidaknyamanannya berhadapan dengan Sera, demi kebahagiaanku. Abi memasukan semua barang-barang ke bagasi mobil, dibantu oleh Sera. Dan langsung tancap gas begitu semua barang masuk bagasi. Sera membawa kami membelah kota Paris yang menawan di malam hari. Keadaan di sepanjang jalan raya begitu ramai dengan lampu-lampu kota menyorot dengan terang. "Aku akan langsung membawa kalian ke penginapan." Kata Sera memberi informasi sambil menyetir. Aku dan Abi duduk di kursi penumpang, dan Rey di sebelah Sera. Bukan aku yang minta, tapi Rey yang mau. "Di depan sana ada jajanan enak. Namanya Baguette sandwich. Kalian harus mencicipinya." Sebenarnya aku ingin cepat-cepat sampai penginapan, tapi perutku juga berteriak minta di isi. Aku melirik Abi yang ternyata sedang memandang keluar jendela mobil. Aku tahu, dia masih sangat canggung dengan kondisi ini. Tapi aku akan berusaha untuk membuatnya terbiasa. Terbiasa tanpa aku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD