Sebuah harapan

1035 Words
Sera keluar dari kamar rawat ku membawa serta Sienna yang menangis. Aku memandang pintu yang tertutup tempat menghilangnya Sera di sana. Sambil menarik napas agak dalam, aku mencari ponselku, lalu menelpon Abi. Dia datang tak lama kami memutus sambungan telepon. "Kenapa?" "Aku mau pulang." Kataku. "Besok pagi saja. Malam ini, kau istirahat di sini. Semua barang-barang biar aku yang bereskan." "Kita belum sempat ke Eiffel, Bi." Abi mendekat padaku, dan duduk di atas ranjang. Bersebelahan denganku. Aku memandang keluar jendela yang tirainya belum tertutup. "Aku ingin ke sana." Dari sini, aku bisa melihat ujung menara Eiffel. Walau terlihat sangat kecil. "Tidak ada waktu lagi, sayang. Besok malam kita sudah take off." Aku menyandarkan kepalaku di pundaknya. Merasa sangat luar biasa melelahkan. "Sekarang saja," pintaku. "Tidak," jawab Abi cepat. "Aku akan meminta izin pada Darren." "Aku yang tidak mengizinkan." Aku melirik Abi, yang sedang menatapku juga. Wajahnya terlihat sangat lelah. Kerutan di ujung matanya terlihat jelas ketika dia sedang tersenyum. Aku menyesal, kenapa tidak di hari pertama saja aku ke menara Eiffel. "Rey mana?" tanyaku, karena aku tidak melihat Rey setelah dia keluar bersama Abi. "Bersama dengan Darren. Ternyata, dia juga merawat anak-anak yang terkena kanker. Mereka sedang kumpul bersama. Rey juga ada di sana." "Aku boleh bergabung?" "Boleh." *** Matahari mulai tenggelam ke peraduannya, saat Abi mendorong ku dengan kursi roda. Rumah sakit ini sangat besar, dan aku dibawa ke sebuah taman yang ada di dalam rumah sakit. Taman dengan ditanami berbagai bunga, tanaman-tanaman hijau, serta pohon yang menaungi segerombolan orang-orang di sana. Aku melihat Darren, Rey, Ruby, Sera dan Sienna bersama dengan anak-anak kecil. Sebagian ada yang duduk di atas roda sepertiku. Dan sebagiannya lagi duduk bersimpuh beralaskan karpet. Mereka percaya diri dengan kepala yang tak ditumbuhi rambut. Darren duduk di sana, memegang gitar dan bernyanyi bersama. Mereka begitu tampak riang, dengan senyum mereka yang menggambarkan kebahagiaan yang hakiki. Walau aku tahu, mereka semua sedang menunggu kematian. "Mami!" Rey berteriak di tempat. Semua orang yang ada di sana menoleh padaku. Abi mendorong ku menuju mereka, dan berkumpul bersama. Darren berdiri, kemudian posisinya digantikan oleh Sera. Wanita itu mengambil sebuah buku dengan gambar binatang-binatang, kemudian membukanya dan mulai membaca isi di dalamnya. Darren mendekat padaku, dengan menggendong Sienna. Sepertinya tantrum nya sudah hilang. Dia terlihat sangat nyaman berada di pangkuan Darren. Tapi tidak begitu lama, gadis kecil yang memakai rok itu turun dari gendongan Darren, dan berjalan-jalan di sekitar kami. "Kau tidak apa-apa berjalan keluar?" tanya Darren. "Tidak," jawabku, mengulas senyum. "Aku bahkan ingin pergi ke Eiffel." "Kalau kau merasa baik-baik saja, tidak masalah." Ucap Darren, dan aku langsung mendelik pada Abi. Merasa memang. "Ada acara apa?" tanyaku. Menyapu keriuhan. "Mereka semua pejuang kanker." Jawab Darren, sambil melihat pada kumpulan anak-anak itu. "Mereka begitu bersemangat setiap harinya. Tidak ada yang mengeluh, sekalipun mereka melakukan kemoterapi." "Apa yang membuat mereka bersemangat?" tanyaku. "Harapan." Darren memandang mereka penuh takjub. Senyumnya mengembang bangga. "Walau mereka tahu, hidup mereka hanya tinggal menunggu akhir, tapi mereka masih tetap berharap, bahwa hidup yang mereka jalani adalah sebuah anugerah. Sedikit harapan untuk menyongsong kesembuhan hanya secuil, tapi itulah yang membuat mereka merasa hidup." Darren memandangiku. "Aku harap kau juga seperti mereka. Memiliki harapan, walau kau tahu akan seperti apa akhirnya." Aku tidak percaya, dengan keadaan mereka yang sangat terlihat jelas bahwa mereka sedang berjuang untuk hidup mereka. Tapi mereka seolah sedang menghadapi dunia yang berpihak pada mereka. Memandang dunia dengan penuh senyuman. Sampai detik ini pun aku masih tidak percaya, kalau aku menjadi bagian dari mereka. Ini sangat melenceng dari apa yang telah aku susun dalam daftar rencana hidup. "Mereka masih punya orang tua?" "Ya," jawab Darren. "Tapi sebagian besar tidak memilikinya. Maka dari itu, aku menjadi orang tua asuh untuk mereka." Dia kembali mengalihkan perhatiannya padaku. "Sienna, termasuk bagian dari mereka." "Apa?" "Maksudku, dia sehat. Dia bukan penyintas. Dia hanya gadis beruntung yang lepas dari orang tua yang tak menginginkannya. Mereka membuang Sienna, di sini. Dan aku menemukannya, lalu merawatnya. Dan setelah sembilan bulan berada di sini, Sera mengambil alih tugasku. Dia mendaftarkan diri untuk mengadopsi Sienna." Aku menganggukkan kepala. Tanda mengerti. Pantas saja Sienna begitu nyaman ada di dekat Darren. Bukan karena dia Dekat dengan Serra. "Ayah! ke sini." Rey memanggil Abi dari kejauhan. Abi melambaikan tangannya. Rey beranjak dari duduknya, lalu berlari mendekat pada kami. Menarik tangan Abi untuk segera mengikutinya. Dengan agak sedikit terpaksa Abi mengikuti Rey dan duduk bersama Sera. Rey menyerahkan gitar yang dipegang Darren kepada Abi. Walau masih ragu, dan sekilas menatapku Abi mulai memainkan alat musik tersebut. Rey melihatku dari kejauhan, tersenyum di sana. Anak itu. Dia sudah dewasa dari apa yang aku bayangkan. Ini semua pasti rencananya. "Bisakah kau antarkan aku berkeliling?" Dengan sigap, Darren berdiri. Lalu mendorong kursi roda ku. "Bagaimana rasanya melihat anak-anak itu dalam kesakitan?" Kami muali berjalan, melewati tanamam hijau, dan bunga lavender. "Awalnya aku ingin menyerah. Mereka masih terlalu kecil untuk merasakan semua itu. Setiap aku merawat mereka, rasanya ingin cepat selesai. Aku berharap bisa berhenti menjadi dokter. Tapi itu hanya akan membuat kecewa ayahku." "Kenapa?" "Kebetulan, ayahku meninggal karena kanker. Di ujung usianya, dia berharap, aku bisa menjadi seorang dokter. Dokter yang dapat menyelamatkan dunia. Tapi, itu hanya ada dalam dongeng." Darren tertawa kecil. "Namun, dongeng itu menjadi nyata, ketika aku bertemu dengan anak-anak itu. Bahkan, aku hidup dalam dongeng mereka." Darren mendorong ku ke sebuah jembatan kecil, yang di bawahnya terdapat sebuah kolam, dengan ditumbuhi bunga teratai. Aku menoleh pada kumpulan anak-anak itu yang tampak jauh. Aku bisa melihat tawa mereka yang sumringah. Rey juga. Terlihat bahagia bernyanyi bersama mereka. Kegembiraan itu kemudian berubah total. Anak-anak itu menjadi ricuh, entah karena apa. Salah satu perawat yang ada di sana, berdiri seperti sedang mencari seseorang. "Darren, lihat!" aku menunjuk pada anak-anak itu. Dan detik berikutnya, Darren mendorong kursi roda ku dengan cepat, hingga kami sampai di sini. Seorang anak laki-laki, tergeletak di atas sebuah karpet dengan darah yang keluar dari mulutnya. Darren berlari cepat, memangku anak itu dan membawanya masuk ke dalam. Semua yang ada di sini berdiri, dan terdiam menyaksikan adegan demi adegan yang menurutku menegangkan. Rey, yang berdiri di hadapanku, membalikkan tubuhnya. Begitu dia menemukanku, dia langsung berhambur ke dalam pelukanku. Ini yang tak aku inginkan. Kematianku, disaksikan secara jelas oleh orang-orang yang aku sayangi.

Read on the App

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD