Bertemu calon mertua

1456 Words
Bab 98 Miss Shafiya mengajakku untuk minum kopi di cafe shop toko buku ini yang terletak di lantai satu. Karena dia gurunya Rey, aku jadi tidak enak untuk menolak ajakannya. Akhirnya, di sinilah aku berada. Memamerkan senyumanku yang kaku, sedangkan miss Shafiya tampak begitu semringah. "Rey, sudah masuk sekolah dasar, kan?" "Ya," aku menganggukkan kepalaku. Kemudian mengaduk kopi blend oleh sedotan. "Di sekolah mana?" Aku mengerjap. Beberapa saat aku menyadari kalau Abi belum membicarakan soal sekolah Rey. "Aku tidak tahu. Ayahnya tidak memberitahuku." Jawabku seadanya. Entah kenapa aku masih merasa tidak nyaman. Bukan karena aku tidak suka dengan dia hanya saja aku canggung mengobrol dengan wanita yang aku ketahui seorang guru dari anakmu. Apa? Anak? "Ngomong-ngoming soal ayah Rey, dia sudah baik-baik saja? Terakhir kali aku melihatnya, wajahnya.. Lebam-lebam karena berkelahi itu.." "Oh... Ya," ucapku cepat. Aku baru ingat, acara baku hantam itu disaksikan oleh miss Shafiya. "Ayah Rey sudah kembali sehat." "Untung saja, ayah Rey cepat dilarikan ke rumah sakit oleh seorang wanita." Dahulu berkerut. Mengingat pada saat itu aku langsung ditarik paksa oleh Ben, jadi aku pikir Abi diselamatkan oleh miss Shafiya. Jadi, wanita itu siapa? "Wanita?" "Ya, wanita cantik yang juga hadir di acara wisuda Rey bersama dengan ayahnya." Secara otomatis otakku berputar pada acara wisuda Rey tempo hari. Pantas saja interaksi Abi dan Sera pada hari itu begitu sangat akrab. Mereka sudah bertemu kembali sejak lama. Ah, masa bodoh. Tidak perlu dipikirkan lebih jauh. Itu, sudah berlalu. Karena yang paling penting saat ini adalah aku sudah bersama dengan Abi. Buang pikiran negatif itu, Ana. "Oh iya, aku tahu." Dan aku berharap miss Shafiya tidak bertanya lebih lanjut lagi. Dan aku berharap juga aku tidak akan lagi bertemu dengan miss Shafiya setelah minum kopi ini. *** "Besok aku jemput jam 8 pagi." Jantungku kembali bertalu tidak tenang saat mendengar perintah Abi barusan. Kembali merasa gugup dan perutku terserang mulas begitu mendekati hari di mana aku harus bertemu dengan orang tua Abi. Walau bukan kali pertama aku bertemu dengan mereka, tapi saat di rumah sakit, pertemuan kami bukan pertemuan yang bisa dianggap resmi. Bahkan aku menolak untuk berkenalan secara formal dengan mereka. Karena menurutku saat itu bukan waktu dan tempat yang tepat. Ditambah masih ada huru-hara antara aku, Abi dan Sera. Apa yang akan dikatakan mereka nanti kalau aku tiba-tiba muncul dan memperkenalkan diri sebagai calon istri Abi. Bila-bisa rumah sakit akan menambah ruang rawat inap lagi. Pada saat itu juga ada Ben dan tante Farida. Aku tidak mungkin secara gamblang memperlihatkan hubunganku dengan Abi, disaat aku baru saja memutuskan untuk tidak melanjutkan pernikahan dengan anaknya. Walau aku tahu, tante Farida pasti sudah menerima segalanya. Satu minggu setelah aku dan Ben memutuskan untuk berpisah, dan membatalkan pernikahan kami, tante Farida datang menemuiku. Aku menceritakan detail yang terjadi kenapa aku bisa berpisah dengan Ben, yang ternyata beliau sudah tahu semua ceritanya dari Ben. Dengan penuh air mata dan rasa sakit yang bisa aku lihat dari sorot matanya saat itu, tante Farida mengucap maaf berkali-kali padaku. Kupikir beliau akan ikut memusuhiku seperti sepupu Ben lainnya, saat tahu bahwa aku membatalkan pernikahan. Tapi, tidak. Beliau justru merasa bahwa dialah yang sudah salah dalam mendidik Ben. Sehingga Ben melakukan hal tidak terpuji itu pada perempuan lain. "Semuanya akan baik-baik saja." Dan Abi tidak pernah berubah. Aku bersyukur dengan bakat cenayang yang dimiliki olehnya. Jadi aku tidak perlu kerja keras untuk menyampaikan kegundahan hati. Posisi tubuhku yang lebih rendah darinya membuat aku mendongak menatapnya dan secara naluriah dia langsung mengecup bibirku. "Aku belum tahu, apa reaksi orang tuamu saat ahu tentang Rey?" "Aku tidak pernah mengatakan bahwa anak yang dikandung Sera bukan anakku. Aku membiarkan itu terjadi agar Sera tidak tambah malu. Tapi sekarang mau tidak mau mereka harus tahu." Aku mengerjapkan mata berkali-kali. Kenapa bisa ada manusia sebaik dia? Atau mungkin bodoh? "Lalu apa kata mereka?" Dia tidak menjawab tapi malah menarik tubuhku semakin erat kedalam pelukannya. Tanganku otomatis melingkari perutnya. Dia sengaja menaruh dagunya diatas kepalaku. Kaki kami saling membelit dalam posisi tidur seperti ular piton yang sedang memangsa. Angin yang berembus lewat jendela private zone membuat aku merasa hangat. Mendadak aku begitu sangat menyukai udara sehabis hujan. Sejuk dan menenangkan. Abi tidak menjawab pertanyaanku. Dia memilih diam sambil tersenyum padaku. Walau pada saat di rumah sakit, reaksi mereka biasa-biasa saja padaku, aku tetap cemas. Bisa jadi itu hanya rasa empati yang mereka berikan sebagai makhluk sosial. Ah sudahlah.. *** Namun yang terjadi sungguh di luar ekspektasi. Sambutan kedua orang tua Abi padaku begitu hangat. Mendadak aku merasa seperti pulang ke rumah. Rey berlari kearah om Toni –ayah Abi- kemudian pria paruh baya itu langsung mengangkat Rey kedalam gendongannya. Tidak ada sedikit pun bagian yang harus aku takutkan. Mereka sama sekali tidak membenciku. Mereka menerimaku dengan uluran tangan yang sangat terbuka. "Tante sudah mengalami hal paling buruk sebelum ini." Tante Rina –Ibu Abi- membuka suaranya begitu kami duduk bersama di ruang tamu. "Ketika Abi pulang ke rumah membawa wanita dengan perut yang sudah besar, dari situ ibu harus segera menyewa tabung oksigen kemana-mana." Aku melirik Abi yang duduk disampingku, dan dia langsung tersenyum padaku. "Dan hal buruk itu kembali terjadi, saat tiba-tiba Abi mengatakan bahwa," tante Rina menghentikan kalimatnya. Kepalanya menoleh kearah Rey yang sedang dipangku oleh ayah Abi. Seperti mengerti dengan tatapan tante Rina, Om Toni beranjak dari sofa dan membawa serta Rey. "Rey bukan anak kandung Abi. Kepala tante rasanya mau pecah. Tante semakin tidak mengerti dengan kehidupan anak muda jaman sekarang." Tante Rina memegangi kepalanya. "Dan sekarang, Abi datang memberitahu bahwa dia akan menikahi seorang wanita yang baru saja batal menikah, dan wanita itu ternyata mantan pacar sahabatnya sendiri. Sepertinya tante harus semakin akrab dengan situasi anak-anak jaman sekarang." Kalimat tante Rina diakhiri dengan senyuman khas ibu-ibu. "Kau sendiri kenapa mau menerima Abi? Dia itu seorang duda anak satu yang bahkan tidak punya pengalaman dalam urusan cinta." Mau tidak mau aku menekan mulutku oleh telapak tangan agar tidak mengelurkan tawa. "Bu." Abi memperingati, sementara tante Rina tidak menghiraukan. "Ibu jangan membuat Ana berubah pikiran." Dan kali ini tante Rina tertawa. "Lihat, 'kan kelakuannya. Dia seperti anak remaja beru menetas yang takut kehilangan gebetan." Abi menggeram di tempat. Aku kembali menahan tawa. Rasanya aku ingin sekali terang-terangan menertawakannya, tapi sikap sperti itu tidak boleh ditunjukan di pertemuan pertama dengan calon mertua. "Jika seorang wanita telah kau genggam hatinya, dia tidak akan lari kemana-mana." Wah, tante Rina seperti Fay dalam versi lebih senior. "Bukan digenggam lagi, Bu, sudah aku tawan malahan. Diikat kemudian dikunci." "Tapi jangan terlalu kuat mengikatnya, nanti dia akan kesakitan. Cukup dengan memperlakukan dia dengan baik." Ujar tante Rina. "Bapakmu dulu seperti itu pada ibu." Dan kini wajah tante Rina tidak bisa disembunyikan dari rona merah. Ah, orang tua juga masih bisa blushing ternyata. "Kalian tahu, dulu waktu Tante masih muda persis sepertimu. Om Toni itu tergila-gila pada Tante selama bertahun-tahun, tapi tidak berani mengungkapkan. Dia hanya memberikan limpahan kasih sayang pada Tante tanpa menyatakan cinta, tapi saat Tante mengatakan bahwa ada seorang laki-laki yang sudah melamar Tante dan akan segera menikahi Tante, Om Toni kemudian bertindak. Beliau datang ke rumah Tante dan langsung melamar Tante." "Jadi, Bapak juga merebut calon pengantin orang lain?" tanya Abi dengan keterkejutan. dan aku mulai penasaran. "Tidak, " jawab tante Rina cepat. "Sebenarnya tidak ada laki-laki yang melamar Ibu, itu hanya akal-akalan Ibu saja agar Bapakmu cepat bertindak." Kali ini aku tidak bisa menyembunyikan tawaku. Sumpah ini seru sekali. "Tapi hasilnya, berbuah manis, 'kan?" tante Rina benar-benar jenius. "Ibu, bukankah itu pembohongan besar?" "Kalau tidak seperti itu, Bapakmu akan terus jalan di tempat. Dan seorang wanita tidak bisa melakukan apa-apa selain berpikir licik untuk masa depannya." Aku kembali tertawa mendengar penjelasan tate Rina, sementara Abi berdecak kesal. "Jadi kesimpulannya, cinta akan menemukan jalan keluarnya sendiri dan hati tidak akan pernah salah dalam memilih." Seiring dengan berakhirnya kalimat tante Rina, Abi melingkarkan tangannya di pinggangku kemudian menariknya agar mendekat ke tubuhnya. Dan tanpa bisa kucegah dia mendaratkan kecupannya di pipiku membuat aku reflek memukul pahanya seperti lalat pengganggu. "Hatiku tidak salah memilih. Dan sekarang sudah memiliki rumah untuk kembali." Seakan belum cukup tamparan keras yang diberikan dariku, Abi juga mendapat gamparan di lengannya yang berasal dari tante Rina. "Kalian belum mahrom, jadi jaga kelakuanmu, Bi. Kalau sudah tidak tahan segera nikahi." Abi melepaskan tangannya dipinggangku kemudian mengusap lengannya sambil meringis. "Ya sudah aku nikahi saja, Ana sekarang." Tante Rina kembali mendaratkan pukulan pada Abi. Kali ini beliau menggunaan majalah sebagai senjata. "Mana bisa begitu. Dasar, ada-ada saja." Aku hanya bisa menggelengkan kepala melihat pemandangan di hadapanku. Dan sampai sore itu tiba dan langit terlihat mendung, tante Rina tidak mengijinkan kami untuk pulang ke Jakarta, dan menyuruh kami untuk menginap di rumahnya. Walaupun jarak dari Bogor ke Jakarta tidak terlalu jauh, tapi tante Rina tetap saja khawatir.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD