Setelah mengalami pesta yang memberiku banyak kejutan. Mulai dari Lely yang melintir tangan Aldi, sampai Pak Fito menawarinya jadi guru karate. Sekarang aku malah menjadi tukang ojek Lely. Mengantarnya ke rumah Fito.
Sebenarnya aku sudah menyuruhnya untuk naik ojek online saja. tapi dia tidak mau. Dia beralasan, bahwa yang memberinya pekerjaan ini adalah temanku. Jadi aku juga harus bertanggungjawab untuk mengantar dia ke rumah Fito. Dia memang selalu bisa membuat aku dalam posisi tersudut. Apa lagi, dia mengucapkan hal itu depan Bapak dan Emak. Sungguh, siasatnya selalu bagus.
“Kak, tunggu sampai selesai ya?” ucap Lely padaku. Dia turun dari motor, memberikan helm padaku.
“Lah, sejam aku bengong sendirian disini? Ogah!” jawabku. Aku menerima helm darinya.
“Ayolah Kak, gajian pertama nanti aku traktir deh,” rayunya padaku. Aku tahu, itu hanya rayuan belaka. Tapi, entah kenapa aku malah mengiyakan permintaannya.
“Ngerayu! Iya sudah, ayo!” ucapku padanya.
“Eh, Yo, sudah lama?” tanya Fito, dia datang dan menghampiri kami.
“Enggak kok, baru saja duduk di sini,” jawabku. Aku memarkirkan motor di halaman rumhanya.
“Ayo masuk!” ucap Fito. Kami pun mengekor padanya. Mengikuti setiap langkahnya memasuki rumah itu.
“Duduk dulu,” ucapnya. Kemudian dia juga duduk.
“Ponakannya mana Om?” tanya Lely.
“Kemarin di pesta manggil Pak, sekarang Om, panggil Kakak saja. Aku sepantaran Kakakmu kok,” ucap Fito.
‘Sepantaran sih umurnya, duitnya enggak sepantaran', batinku.
“I-iya Om, eh Kak,” ucap Lely.
“Hahaha, enggak usah gugup. Sebentar lagi keponakanku datang. Tunggu sebentar lagi, enggak apa-apa kan?” ucap Fito. Dia membukakan beberapa toples yang ada di meja. Memberi isyarat pada kami untuk mengicipinya.
“Enggak apa-apa kok,” jawabku.
Lely hanya manyun mendengarnya. Aku tahu, dia kesal jika disuruh menunggu. Padahal, kalau dia sedang mandi, dandan, atau melakukan hal lain juga seirng membuat orang lain menunggu.
“Keponakannya namanya siapa Kak?” tanya Lely, dia berbasa-basi.
“Dito,” jawab Fito.
“Omnya Fito, keponakannya Dito, nanti ada lagi namanya molto, Hahahaha,” ucap Lely ceplas-ceplos. Aku mendelik ke arahnya. Memberinya isyarat untuk tidak sembarangan bicara. Tapi Fito malah tertawa terbahak-bahak. Membuatku menjadi cengo melihatnya. Bos yang berwibawa di kantor, bisa tertawa sedemikian rupa, karena lelucon yang diucapkan oleh Lely.
“Hahaha, adikmu lucu Yo!” ucap Fito. Untung dia ikutan tertawa, padahal aku sudah ketar-ketir dia bakalan marah. Si Lely emang mulutnya enggak disekolahin. Jadinya ceplas-ceplos aja kalau ngomong.
“Hehe, iya Fit,” jawabku dengan sedikit nyengir. Dengan perasaan lega, karena dia tidak marah.
“Nah, itu Dito datang,” ucap Fito. Aku berdiri, karena ternyata keponakannya darang bersama Ayahnya. Pak Sujatmiko, pengusaha kaya raya, yang uangnya tidak akan habis tujuh turunan, tujuh tanjakan, dan juga tujuh belokan kakan-kiri. Aku menarik tangan Lely, agar dia juga berdiri. Sekarang Pak Sujatmiko sudah berada di hadapan kami.
“Selamat pagi Pak,” sapaku padanya. Dia hanya tersenyum dan ikut duduk bersama kami.
“Jadi, mana yang akan mengajari Dito karate?” tanyanya. Dia memandang ke arahku. Seolah menantiku menjawab, kalau itu adalah aku. Aku menelan ludah.
“Kamu?” lanjutnya, dia menunjuk ke padaku. Nah, benar dugaanku.
“Bukan saya Pak, tapi adik saya,” jawabku gugup. Takut, kalau-kalau dia tidak percaya dengan kemampuan Lely. Karena, dia adalah seorang gadis. Bahkan, dia lebih muda dari anaknya. “Namanya Lely,” lanjutku memperkenalkannya pada Pak Sujatmiko.
“Loh, perempuan?” ucapnya kaget. Aku sudah menduga, ekspresinya akan sekaget itu. Jika, dia tahu kalau Lely yang akan melatih anaknya.
“Jangan salah Kak, dia ini hebat,” ucap Fito padanya. Dia seakan mengerti posisiku. Karena, aku tidak akan sanggup menjawab seperti yang diakatakan oleh Fito pada Kakaknya itu.
“Oh ya?” tanyanya tidak percaya. Dia memperhatikan Lely, dari atas hingga ke bawah. Kalau aku bisa membaca pikiran. Mungkin dalam hatinya dia berkata begini ‘Benar ini yang akan melatih anakku?’.
“Kemarin, di pesta tahunan kantor. Ada cowok genit ke dia, dipelintirlah tangannya sampai cowok itu tidak berkutik. Dia ini, sudah sabuk hitam loh karatenya,” jelas Fito padanya. Aku sangat bersyukur, Fito lagi-lagi memberi penjelasan yang tidak bisa aku ucapkan.
“Dito, kenalin. Ini Lely, guru karatemu,” ucap Fito pada keponakannya. Dito mengulurkan tangan dengan malu-malu. Sementara Lely, malah menjabat tangannya dengan keras. Membuat Dito sedikit meringis.
‘Waduh gawat nih, kalau sampai dia cidera gara-gara latihan sama Lely, bisa dipecat aku nanti. Kenapa baru kepikiran sekarang sih! Kebanyakan mikirin Dinda sih kamu.’ Rutukku pada diri sendiri.
“Jadi, bisa di mulai kapan latihannya?” tanya Pak Sujatmiko.
“Sekarang juga bisa Pak,” jawab Lely, dia berani sekali. Sepertinya, aku tidak memiliki keberanian sebanyak yang dia miliki.
“Wah, saya suka dengan semangat anak muda seperti itu. Dito, cepat ganti bajumu. Latihan sekarang, Papa akan pergi. Nanti biar Fito yang antar kamu pulang,” ucapnya. Kemudian dia berpamitan dan pergi. Aku masih tidak menyangka. Pak Sujatmiko, pengusaha kaya raya itu, menerima Lely begitu saja. Menjadi guru karate anaknya. Lely, yang masih kelas IX SMP.
Setelah mengganti pakaiannya, Dito menghampiri kami.
“Ayo!” tanpa basa-basi, Lely langsung menarik tangan Dito. Mau tidak mau, Dito punengikutinya.
“Adikmu keren Yo,” ucap Fito. Dia mengambil kacang dan mulai mengunyahnya.
“Maksudnya apa nih? Naksir?” candaku pada Fito.
“Kalau diijinkan, hahaha,” jawabnya. Malah membuatku cemas sendiri.
“Gila, dia masih piyik Fit. Nyari yang lain lah,” ucapku padanya.
“Hahaha, kenapa? Kamu enggak mau ya? Punya adik ipar kayak aku?” ucap Fito. Aku tahu semua itu hanya bercanda, tapi entah kenapa aku jadi sedikit emosi mendengarnya.
“Bukannya gitu, punya adik ipar seorang Bos di kantor, kok rasanya runyam sekali ya, hahaha,” ucapku mencoba mengimbangi guyonannya.
“Hahaha, iya juga ya Yo, di rumah aku bakal takut sama kamu. Di kantor, kamu yang takut sama aku, hahaha,” ucapnya sambil tertawa terpingkal-pingkal. Sampai beberapa remahan kacang yang dia kunyah terjatuh ke lantai.
“Eh Fit, aku pamit dulu ya. Biar nanti Lely nelpon aku kalau sudah selesai. Dari pada enggak ngapa-ngapain disini,” ucapku padanya.
“Kalau kamu mau bersih-bersih, dipersilahkan kok Yo,” ucapnya Bossy.
“Ogah, cukup di kantor saja kamu nyuruh-nyuruh. Di luar kantor, ogah,” jawabku sambil ngikik pelan.
“Ya sudah, pergi sama-sama yuk? Biar mereka berduaan,” ucap Fito. Dia meletakkan tangan kanannya di pundakku.
“Heh? Kamu nyari guru karate apa nyariin keponakanmu pacar?” tanyaku padanya. Ucapannya itu membuatku menjadi was-was.
“Kalau mereka bisa sampai pacaran sih, aku setuju-setuju saja,” jawabnya enteng.
“Bos, eh Fito,” panggilku.
“Ya?”
“Otakmu gesrek ya? Apa aus, gara-gara keseringan mikir proyek?” sindirku padanya.
“Hahaha, gimana ya? Kayaknya ucapannmu ada benernya deh,” jawabnya asal.
“Duh gawat, bisa turun saham perusahaan kalau Bosnya gesrek,” ucapku padanya.
“Ssstt makanya jangan bocorin, biar saham perusahaan tetep aman. Kalau aku yang gesrek sih, enggak ngaruh sama saham Yo. Kalau Kakaku yang gesrek, nah baru gawat tuh buat saham, hahaha,” ucapnya santai. Dia masih saja tertawa. Aku menggelengkan kepalaku sendiri. Masih tidak percaya. Fito, seorang Bos dikantorku. Memperlakukanku seperti teman dekatnya sendiri. Padahal, aku juga baru beberapa bulan kerja di sana.
“Otak gesrek kayak kamu kok bisa jadi Bos? Bikin iri saja, hehe,” candaku.
“Nah, aku juga bingung. Otakku bisa beradaptasi dengan segala kondisi. Saat dibutuhin serius, dia serius, saat gak dibutuhin, ya jadi gesrek, hahaha,” jawabnya sambil tertawa.
Kami keluar rumah bersama. Tentu saja memakai mobilnya, dan aku menjadi supirnya. Dia memintaku untuk pergi ke Mall. Katanya dia mau nyari sepatu. Aku hanya bisa menurut. Bisa apa bawahan rendahan sepertiku dengannya. Tidak sebanding, tapi kalau masalah wajah. Aku lebih tampan darinya. Sungguh! Wajahku mendapatkan anugerah dari Yang Maha Kuasa. Bapak ada keturunan Timur Tengah, walau Emak keturunan timur-Jawa Timur, alias Madura punya. Jadi, aku sangat bersyukur punya hidung mancung. Walau kulitku sedikit gelap karena nurun dari Emak. Sementara Lely, hidungnya mancung, kulitnya putih, nurun dari Bapak. Yang nurun dari Emak adalah body bohay Lely. Pantas saja Bapak kepincut sama gadis madura itu. Bapak selalu bilang, nyari istri yang bodynya seperti Emak. Montok depan belakang. Sementara Fito, wajahnya khas Koko-koko cina. Matanya sipit, hidungnya sedikit pesek, tapi dia tetep keren sih. Karena duitnya banyak. Hahaha.
“Hari minggu gini, kamu enggak ada kencan Yo?” tanyanya mebuyarkan lamunanku. Dia sepertinya sedang menyindirku dengan terang-terangan.
“Enggak, kencan sama siapa coba?” jawabku. Aku melirik ke arahnya. Melihat ekspresinya yang menahan tawa. Ingin kijitak saja kepalanya saat itu. Untung, aku masih waras. Aku masih bisa menahn diri untuk tidak melakukanya.
“Ah, iya,” ucapnya tiba-tiba. Seakan dia telah mengingat sesuatu yang telah dia lupakan sebelumnya.
“Kenapa? Ada yang kelupaan?” tanyaku padanya.
“Baru inget, kalau kamu kan jomlo. Hahahaha,” dia tertawa puas setelah mengucapkan kalimat itu. Aku hanya menghela napas dan cemberut. Sungguh, kalau dia bukan Bos. Sudah aku jitak kepalanya.
“Kamu sendiri? Pacarmu mana? Kok minggu-minggu malah me Mall nyari sepatu?” sindirku padanya. Aku membalikkan ucapannya tadi.
“Aku? Mana ada pacar, calon istri yang ada, hahaha,” dia tertawa. Tapi ada gurat sedih di matanya. Di keluarga kaya seperti dia, pasti hanya ada perjodohan. Pacaran bagi keluarga kaya adalah buang-buang waktu. Mereka hanya fokus karir, jodoh akan diatur oleh para tetua. Dipilihkan yang sederajat dan cocok menurut mereka. Bahkan terkadang, tanpa meminta pendapat kepada yang bersangkutan.
Sebenarnya, aku juga tidak terlalu peduli dengan Fito. Tapi, mendengar ucapnnya seperti itu. Seakan menyadarkan aku. Bahwa, setiap kehidupan itu mempunyai dua sisi. Baik dan buruk. Kurang dan lebih. Semua akan mempunyai porsi masing-masing. Setiap orang, tidak akan mempunyai masalah yang sama. Ataupun kelebihan yang sama. Mereka mempunyai porsi masalah, kelebihan, cobaan bahkan ujiannya masing-masing. Tidak akan pernah sama satu sama lain. Kekuasaan Tuhan memang tiada pembanding.