Author Pov.
Dinda menghubungi Jefri. Dia mengirim pesan padanya.
‘Kamu dimana?’
‘Di rumah’ balas Jefri singkat.
‘Oh.’
‘Kenapa?’
‘Enggak apa-apa’
‘Serius?’
‘Iya.’
‘Kamu dimana?’
‘Di rumah Pio.’
‘Ngapain kamu kesana? Kok enggak ngasih tahu aku?’
‘Emangnya aku penting buat kamu?’
‘Kok kamu ngomongnya gitu sih?’
‘Ya mau gimana lagi?’
‘Kok kamu di rumah Pio? Pio ngasih tahu kamu sesuatu ya?’ Jefri mulai resah. Dia beranggapan, bahwa Pio mungkin saja sudah memberi tahu Dinda, soal pertemuannya kemarin sore.
‘Aku di rumah. Segitu cemasnya? Memangnya Pio mau ngasih tahu aku apa? Kok kamu sampai bilang gitu?’
‘Ah, kamu di rumah ternyata. Enggak ada apa-apa kok.’
‘Yakin?’
‘Iya, mau jalan-jalan?’
‘Sekarang?’
‘Iya, aku jemput sekarang ya?’
‘Oke.’
Jefri menjemput Dinda di rumahnya. Dia menjadi resah sendiri. Karena dia khawatir, kalau Dinda akan mengetahui perselingkuhannya. Begitulah jika sedang menyembunyikan sesuatu, pasti akan menjadi takut sendiri. Walaupun sebenarnya semua aman terkendali.
“Din,” panggil Jefri.
“Iya, sebentar,” jawab Dinda dari dalam rumahnya. Rumah Dinda selalu sepi. Karena kedua orang tuanya kerja di luar kota. Sementara Dinda sendirian di rumah.
Dinda membukakan pintu rumahnya.
“Masuk,” ucapnya.
Jefri masuk ke dalam rumah Dinda, Dinda memerhatikan wajah Jefri yang sedikit membiru di pipinya.
“Wajahmu kenapa?” tanya Dinda padanya. Rasa cemas terpampang di wajahnya.
“Ah, enggak apa-apa kok,” jawab Jefri. Dia tidak mungkin menceritakan kejadian yang sebenarnya. Bisa-bisa Dinda menambah bekas tonjokan di wajahnya, dengan tonjokan yang baru.
“Kayak habis ditonjok? Benar enggak ada apa-apa?” tanya Dinda menyelidik.
“Iya, enggak ada apa-apa kok,” jawab Jefri.
“Belum pulang ortu kamu?” tanya Jefri. Dia mencoba mengalihkan perhatian Dinda. Ternyata ittu berhaasil membuat Dinda tidak melanjutkan pertanyaan soal bekas biru di wajah Jefri.
“Enggak jadi pulang, katanya masih ada urusan yang belum selesai. Males banget tahu,” jaawab Dinda.
“Ah, mau jalan-jalan, apa di rumah saja?” tanya Jefri. Otak mesumnya seketika muncul.
“Di sini saja, males mau keluar. Panas juga,” jawab Dinda.
“Nah, aku juga mau menyarankan begitu. Kan enak bisa berduaan di sini, enggak ada yang ganggu,” jawab Jefri.
“Yeee, duduk sana. Aku buatkan minum dulu,” ucap Dinda. Dia masuk ke dalam menuju dapur. Bukannya duduk di ruang tamu, Jefri malah mengikuti Dinda masuk.
“Kok ikut masuk?” tanya Dinda.
“Mau bantuin,” jawab Jefri. Dia kemudian duduk di kursi meja makan. Dinda mulai membuat es sirup untuk mereka berdua.
“Katanya bantuin, tapi cuma duduk,” sindir Dinda.
Jefri terkekeh. Kemudian dia berdiri, “Iya, mau dibantuin apa sayang?” ucapnya. Dia memeluk Dinda dari belakang.
“Pecahin es-nya dong,” ucap Dinda.
“Siap Bos,” jawabnya. Jefri segera mengambil ulegan dan memecah es yang keras itu. Hingga menjadi potongan-potongan kecil. Dinda memasukkan potongan es itu ke dalam teko. Kemudian menambahkan air dan mengaduknya.
“Icip, sudah cukup manisnya?” tanya Dinda. Dia menyodorkan sesendok es kepada Jefri.
“Sudah cukup, kalau ditambah sirup lagi nanti diabetes. Kamu sudah manis, minum ini sambil lihatin kamu jadi lebih manis lagi,” jawab Jefri.
“Gombal!” ucap Dinda.
Mereka pun menuju ruang tengah. Dinda menyalakan televisi, tapi dia tidak sedang melihat acara televisi. Melainkan menyetel drama korea yang sudah dia simpan di flasdisk. Dia memasang flasdisk itu ke televisi. Dengan begitu, dia bisa leluasa memandang wajah gantengnya para aktor korea. Kalau hanya melihat dari laptop, kurang puas menurutnya.
“Film apa ini?” tanya Jefri. Saat filmnya mulai berjalan.
“Drakor,” jawab Dinda pendek.
“Drakor? Apaan?” tanya Jefri. Dia benar-benar tidak tahu tentang drama korea sama sekali.
“Drama korea. Kalau di sini nyebutnya sinetron. Tapi ini sedikit episodnya, enggak kayak sinetron di sini. Bisa sampai ribuan episode, sampe punya anak, punya cucu, sampe anaknya punya cucu, cucunya punya anak, cucunya punya cucu,” jawab Dinda asal. Jefri tergelak mendengarnya.
“Coba ulangi, gimana tadi?” goda Jefri. Dia mencubit pucuk hidung Dinda.
“Enggak ada pengulangan, aku enggak inget soalnya tadi aku ngomong apa,” ucap Dinda. Dia masih fokus dengan adegan drama yang dia tonton. Jefri mulai melancarkan aksinya. Dia merangkul Dinda dan mulai menciumi kepalanya. Kebetulan sekali, adegan di drama itu sedang menunjukkan adegan ciuman, tanpa menunggu lama. Jefri langsung melumat bibir Dinda yang masih fokus melihat drama. Dinda pun kaget, dia hampir saja menampar Jefri. Tapi, dia hanya mendorong tubuhnya saja.
“Kenapa?” tanya Jefri.
“Kamu bikin kaget saja,” jawab Dinda. Dia masih memberi jarak antara dirinya dan Jefri.
“Kan, biar sama adegannya,” jawab Jefri terkekeh.
“Oh,” jawab Dinda pendek. Dinda beralih tiduran di paha Jefri. Dia fokus melihat drama korea.
“Sayang,” panggil Jefri.
“Hmmm,” gumam Dinda.
Cukup lama mereka saling diam, hingga akhirnya Jefri menolehkan wajah Dinda ke arahnya. Hingga mata mereka saling bertemu. Jefri tersenyum manis padanya. Kemudian dia mulai mendekatkan wajahnya ke wajah Dinda. Dinda tahu, kalau Jefri akan segera menciumnya. Dia menutup matanya, saat bibir jefri menyentuh bibirnya. Mereka larut dalam ciuman itu. Jefri melumat lembut bibir Dinda. Mereka saling membalas ciuman, semakin lama ciuman itu membuat Jefri semakin bernapsu. Dia mulai meremas d**a Dinda. Walaupun Dinda menepisnya, tapi Jefri tidak berhenti untuk mencoba. Dia tetap terus meremas d**a Dinda. Hingga akhirnya, Dinda hanya bisa menerima permainan Jefri. Antara lincahnya lidah dan juga tangannya. Beberapa kali Dinda masih menepis tangan Jefri yang mulai mencoba masuk ke balik kaosnya. Tapi pada akhirnya, lagi-lagi Dinda menerimanya saja. karena dia sudah dalam kondisi yang sama dengan Jefri. Libidonya sudah semakin meningkat. Suara desahannya juga mulai terdengar. Membuat Jefri semakin bernapsu.
Tangan Jefri berhasil masuk ke dalam kaos Dinda. Dia mencari pupuk d**a Dinda dengan gerakan yang hati-hati. Dia hanya ingin membuat Dinda semakin merasa bernapsu dengan permainannya. Dia masih menciuminya dengan lembut. Kini Jefri mulai memainkan pucuk d**a Dinda. Membuat Dinda menggelijang beberapa kali. Dia juga meremas d**a Dinda yang kenyal itu.
“Ah,” suara desahan Dinda semakin keras terdengar di telinga Jefri. Membuatnya semakin gencar memainkan d**a Dinda. Dia melepaskan ciumannya, dan mencoba membuka kaos Dinda. Entah apa yang merasuki mereka. Hingga akhirnya Dinda hanya berpasrah saja. Jefri melepaskan Kaos yang dikenakan oleh Dinda. Dia juga melapaskan kemejanya. Balutan bra berwarna pink itu begitu sedap dipandang mata. d**a Dinda yang montok terlihat menyembul diatasnya. Jefri menyenderkan Dinda ke tembok. Dia mulai memelorotkan bra Dinda hingga dadanya keluar. Melihat pucuk d**a yang begitu menggoda, Jefri langsung melahapnya. Menggigit-gigit pelan dengan lembut. Dinda semakin dibawa suasana. Dia meremas rambut Jefri dengan keras. Dinda merasakan kenikmatan yang belum pernah dia rasakan seblumnya.
Melihat Dinda yang sudah mencapai kenikmatannya. Jefri memperpelan permainannya. Dia menunggu hingga tubuh Dinda tidak lagi bergetar. Kemudian dia menghentikan permainannya. Dia tersenyum puas. Karena dia bisa memuaskan Dinda. Dia kembali merebahkan diri di samping Dinda. Dia memeluknya dengan erat.
“Hey!” ucap Dinda. Dia melambaikan tangannya di depan wjah Jefri.
Jefri tergagap, air liurnya menetes.
“Bayangin apa kamu!” ucap Dinda. Dia tertawa terpingkal-pingkal melihat ekspresi Jefri. Jefri hanya tersenyum kecil, dia menahan malu. Karena ketahuan sedang mikir m***m oleh Dinda.
Dinda masih tertawa-tawa, namun tak lama rasa kantuk mulai menyerangnya. Jefri pun merasakan hal yang sama. keduanya terlelap di depan televisi yang masih menyala.
***
Suara dering hape Dinda membangunkan mereka. Dinda mengerjap-ngerjapkan matanya. Mengumpulkan seluruh kesadarannya, sebelum dia meraih hapenya yang terus berdering. Dia melihat di layar hapenya, tertera ‘Mama’.
“Kamu jangan berisik ya,” ucap Dinda pada Jefri yang masih rebahan di sampingnya.
Jefri hanya memberikan kode oke dengan jemarinya.
“Halo, Ma,” ucap Dinda. Dia menguap, kantuk masih ia rasakan.
“Halo, kamu di mana?” tanya Mamanya.
“Di rumah, kenapa?” tanya Dinda.
“Oh, ya sudah. Nanti malam Mama pulang, tapi Papa enggak ikut,” ucapnya di seberang telepon.
“Asik!” pekik Dinda. Sudah lama dia tidak bertemu dengan orang tuanya. Menikmati waktu bersama keluarga, adalah hal yang paling dia tunggu. Jefri mulai merabai badan Dinda. Dia menepis tangannya, memelototinya dengan tajam. Jefri menghentikan sentuhannya, dia terkekeh pelan.
“ya sudah, Mama Cuma mau bilang itu saja. sampai ketemu nanti malam,” ucap Mamanya.
“Baik Ma,” jawab Dinda. Mamanya sudah menutup sambungan teleponnya. Dinda berdiri, dia menendang pelan Jefri yang masih tiduran di depan televisi. Dia melihat ke arah Dinda dengan menyipitkan matanya.
“Apa?” ucapnya pelan.
“Pindah ke sofa sana! Aku mau mandi,” ucap Dinda.
“Ikut!” ucap Jefri.
“Jangan macem-macem!” ucap Dinda sambil mengangkat kepalan tangannya.
Jefri hanya tersenyum kecut, dan beranjak duduk di sofa.