bab 5

1340 Words
Hari dimana aku harus membawa pasangan di acara kantor sudah tiba. Lely kusuruh untuk dandan secantik mungkin. Siapa tahu ada bos yang kecantol sama dia. Atau syukur-syukur ada bos yang mau jadiin dia sebagai mantu. Aku menggunakan setelanku. Iya kalian benar, setelan yang sebulan lalu aku pakai karena keciprit di mall. Terus, aku dirika mempelai pria yang kabur. Tapi, semoga hari ini, aku bisa mendapatkan keberuntungan. Sebagai pengganti kesialanku saat pertama kali memakainya. “Bismillah,” ucapku saat aku memakai jasnya. “Kak, aku gak mau dandan!” ucap Lely padaku. Dengan mata melotot karena kesal. “Heh, disana banyak anak bos. Siapa tahu ada yang kepincut sama kamu!” jawabku. Tak mau kalah, aku juga melotot ke arahnya. “Halah, sudahlah kak. Begini juga sudah cantik,” jawabnya. Dia menyibakkan rambutnya dengan tangan kanannya. “Kamu mau dandan sendiri, atau di dandani sama Emak?” desakku padanya. Dengan begitu, dia tidak akan berani menjawab didandani oleh Emak. Karena, nanti dia bisa terlihat seperti ondel-ondel mu tampil. “Iya deh, iya, aku dandan sendiri. Daripada nanti aku jadi dakocan, kalau didandani sama Emak!” jawabnya dengan ketus. Aku tahu dengan jelas, dari nada bicaranya, dia sangat terpaksa mengucapkannya. “Nah gitu dong,” jawabku senang dengan penuh rasa kemenangan.   ***   Lely turun dari kamarnya. Aku sudah cukup lama menunggunya berdandan. Sudah hampir setengah jam aku menunggunya. Apa semua wanita itu sama? Lama kalau berdandan? Lely menggunakan dress coklat s**u, serasi dengan setelanku yang berwarna senada. Aku memang sengaja membelinya. Biar kompak dan enggak malu-maluin. Lely memoles tipis wajahnya. Hanya memakai bedak, liptint dan sedikit blushon di pipinya. Jangan heran kenapa aku tahu nama-nama make up itu. Karena tiap kali habis, dia akan menargetku untuk membelikannya.   Aku meminjam mobil Bapak untuk pergi ke acara itu. Gengsi dong, kalau kesana naik motor. Selain itu, nanti si Lely juga bakal ngomel. ‘Sudah dandan cantik kok naik motor’, jadi untuk mendapatkan rasa aman dan nyaman bersama-sama, aku meminjam mobil Bapak. Tentu dengan syarat, harus mengisi full tank bahan bakarnya. Tekor deh. Di parkiran gedung yang disewa oleh kantor, sudah banyak mobil berjejer. Mulai dari yang mulus, sampai yang buluk. Kalau mobil Bapak sih, masih standartlah ya. Enggak malu-maluin banget kalau dipinjam. Lely turun dari mobil sambil mengoceh. “Duh, kok tempat parkirnya jauh sih Kak? Aku pake high heels nih!”  gerutunya padaku. Dia menghentak-hentakkan kakinya karena kesal. “Ya mana kakak tahu Lel, kalau tahu kakak juga tetep nyuruh kamu pakai itu sih,” jawabku sambil terkekeh. Plak. Sebuah jitakan mendarat di kepalaku. Anak perawan satu itu, terlihat sangat kesal mendengar ucapanku. Aku cuma bisa meringis dan menggandengnya. Sebelum dia berubah pikiran dan memilih kabur. Lely berjalan sedikit terseok. Sesekali dia terjatuh, untung aku memeganginya dengan erat. Tentu agar dia tidak kabur, bukan untuk hal lain. Di dalam gedung, sudah banyak tamu yang datang. Mereka menggunakan pakaian terbaik mereka. Linda, seorang karyawan yang biasanya cuek soal penampilan. Sekarang terlihat sangat cantik dan sexy! Ternyata dia mempunyai body yang sangat bagus. Selama di kantor, dia selalu memakai celana dan kemeja panjang. Juga mengancingkannya hingga di leher. Terlihat sangat culun. Tapi, sekarang, dia mengenakan dress berwarna merah menyala. Dengan belahan d**a yang menyembul keluar. Dress dengan pundak terbuka, membuat lehernya terlihat jenjang. Sangat menggugah gairah. “Woi, matanya jangan jelalatan. Aku colok nih!” ucap Lely kesal. Dia melihat aku yang terus saja menatap ke arah Linda. Aku tertawa pelan saat mendengarnya mengomel. “Iya-iya, ayo kita mencari kursi buat kamu duduk. Bawel banget ya Tuhan,” ucapku padanya. Aku mengajak Lely mencari kursi, tentunya yang dekat dengan makanan. Karena kami adalah geng doyan makan. Lely duduk, kemudian melepas salah satu sepatunya. Dia mengusap-usap bagian belakang kakinya. Sepertinya kakinya lecet. Duh kenapa adikku tomboy sangat, belum apa-apa sudah lecet. “Lecet Lel?” tanyaku padanya. “Ho’oh Kak, mau mijitin?” tanya dia tanpa sungkan sedikitpun. “Enggaklah, cuma nanya doang. Eh, ayo ambil makan,” ajakku padanya. Aku memberikan tanganku, agar dia berdiri dan memegangnya. “Ayo,” jawabnya. Kulihat Lely mulai bersemangat setelah mendengar kata ‘makan’. Aku mengambil semua menu favoritku. Tentu dalam pengambilan bertahap, karena takut ketahuan, kan malu. Begitu juga Lely, setelah makan, dia jadi lupa dengan kakinya yang lecet.  Sepertinya, makan memang jalan keluar terbaik dari setiap masalah. Aku menaruh mangkuk es-ku, saat aku melihat Dinda sedang berdiri di dekat sebuah meja. Ingin rasanya aku menghampirinya. Tapi, aku masih tahu diri, dia adalah pacar temanku. Aku juga masih punya urat malu, walau kadang hati bodohku tak bisa diajak kompromi. Tak berselang lama, aku melihat Jefri menghampirinya. Membawakannya semangkuk bakso dan es manado. Dinda kemudian duduk di kursi depan meja. Dia melahap makanannya. Lagi makan aja kamu cantik Din, ucapku dalam hati.  Tanpa kusadari temanku satu itu datang menghampiriku. Menggunakan setelan berwarna ungu. Begitu juga Dinda, menggunakan dress warna senada. Rambutnya di urai, dia mengenakan jepitan di sisi kiri rambutnya. Dress warna ungu muda, begitu serasi dengan kulitnya yang putih. Dress dengan pundak terbuka. Membuat lehernya terlihat begitu menggoda untuk dicipok. Ops, aduh sepertinya aku lebih baik mencari alasan agar menjauh dari mereka. Sebelum akhirnya pikiranku semakin brutal, membayangkan adegan-adengan aneh. “Hey, sama siapa kamu Yo?” tanyanya padaku. Aku hanya menunjuk adikku dengan tatapan mata. “Wah, cewek mana Yo? Kenalin dong, enggak cerita-cerita nih kalau punya pacar,” ucap Jefri padaku. Dia mengira yang ada di sana, adalah pacarku. Padahal, iu adalah Lely. “Kenapa mesti cerita? Enakan diem-diem terus nikah,” Jawabku sekenanya. “Wah, sexy bener pacarmu Yo,” ucap Jefri melihat Lely dari belakang. “Heh inget itu ada pacarmu disana,” sergahku padanya. Aku mencoba mengingatkan dia untuk tetap menjaga sikapnya. “Kan di sana, di sini enggak ada pacar,” jawabnya. Mendengar ucapan Jefri itu, adikku langsung menoleh ke arahnya. Lely memelototi Jefri dengan tajam. “Heh, dasar hidung buntu! Sudah ada pacar malah lirik-lirik cewek lain. Mau kucongkel matamu hah?” Ucap Lely dengan penuh penekanan. Jefri kaget dan terlihat sedikit kecewa. Entah apa dipikirannya sekarang. Awas saja kalau dia mau deketin Lely, aku bakal tendang tititnya. “Yo, mau gak aku jadi adik iparmu?” ucapnya padaku. Membuat Lely semakin marah, begitupun aku. Baru aku mau menimpali omongannya, tapi Lely sudah lebih dulu menjawabnya dengan skakmat. “Punya suami macem kamu, yang lirik sana sini? Dih ogah! Jangan ngimpi ketinggian, wajah pas-pasan aja belagak jadi hidung buntu! Duitmu juga enggak banyak kan? Dah seng anteng dadi wong lanang, mumpung durung ilang ikumu!” (Yang diam jadi lelaki, sebelum hilang itumu) ucap Lely sambil menunjuk ke arah kemaluan Jefri. Nyali Jefri langsung ciut. Dia malah mengucapkan hal aneh. “Hidung belang kali, bukan hidung buntu,” jawab Jefri. Sepertinya, dia mengucapkan itu untuk menutupi rasa malunya. “Gak ngurus, rono-rono!” (Gak peduli, sana-sana!) Bentak Lely. Sementara Dinda yang sudah menyelesaikan makannya, dia berdiri. Dia mulai celingukan, sepertinya mencari Jefri. Aku langsung melambaikan tangan kepadanya, saat mata kami bertemu. Dia pun tersenyum, duh cantiknya! Dia berjalan ke arah kami. “Loh, kamu sudah makannya, sayang?” tanya Jefri padanya. Membuat Lely menirukan gerak bibirnya dengan tujuan mengejek. “Iya, sudah,” Jawabnya halus banget. Sehalus sutera. “Ini pacarmu Yo? Katanya jomblo?” tanya Dinda padaku. Dia memandang ke arah Lely. “Oh ini adikku, bukan pacar,” Jawabku sedikit gugup. Duh kenapa harus deg degan gini sih. Lely melirik ke arahku, aku mengangguk. Kemudian dia mengulurkan tangan pada Dinda. “Lely,” ucapnya. Dinda menyambut uluran tangan itu dan menjawab. “Dinda.” “Mbak, mbak sakit mata ya?” tanya Lely tiba-tiba. Membuat kami bertiga menjadi bingung. Karena, yang aku lihat, mata Dinda sedang baik-baik saja. “Eh, enggak kok. Apa mataku merah?” tanya dia bingung. “Enggak merah sih, tapi apa Mbak katarak?” tanya Lely lagi, membuatku menjadi semakin bingung. Apa maksud Lely mengatakan itu pada Dinda. “Apa maksudmu ngatain aku begitu?” ucap Dinda, dia terlihat mulai emosi dengan ucapan Lely. “Nyari pacar tuh yang ganteng dong Mbak. Hari gini, yang jelek tuh malah banyak tingkah. Mendingan nyari yang ganteng, yang setia, tuh cristian sugiono ganteng, juga setia,” ucap Lely panjang lebar, dia melotot ke arah Jefri. Dari raut wajahnya sepertinya Jefri terlihat takut. Takut Lely bakal bocorin kelakuannya yang buruk itu. Tanpa diduga Dinda malah tertawa. Kemudian dia berkata. “Oh kirain yang jelek bakal setia dek, yang jelek makin berani ya jaman sekarang?” Dinda malah ikutan nyindir, entah apa dia sudah tahu atau belum. Mereka kemudian tertawa terbahak-bahak. Aku mengajak Jefri melipir, sebelum keadaan semakin runyam.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD