Aku berdiri di beranda kamarku. Aku melihat begitu ramainya kota ini. Kota yang telah menjadi saksi hidupku. Aku dilahirkan di kota ini. Sekolah disini, bahkan kerjapun disini. Sepertinya aku sangat berjodoh dengan kota ini. Ini adalah kota yang indah dengan segala kenangannya. Aku adalah salah satu dari sekian banyak orang yang lahir dan tumbuh di kota ini. Banyak orang yang mengatakan kota ini sebegai Kota Pahlawan. Dimana ada sebuah tugu yang mirip dengan bambu runcing dan dinamai dengan tugu pahlawan. Itu adalah sebuah tugu yang gagah.
Langit malam ini begitu indah, sayang dibawah sana terlalu ramai dengan kendaraan yang lalu lalang. Kemacetan dan polusi menjadi pemandangan sehari-hari. Ini malam minggu, tapi aku hanya di rumah saja. Sudah malas rasanya nongkrong-nongkrong tidak jelas tujuannya. Tapi kalau aku enggak nongkrong, Nyonya Menik alias si Emak pasti akan banyak bertanya terus padaku.
“Mana pacarnya?”
“Mana calon mantuku?”
“Udah pingin gendong cucu.”
dan banyak lagi.
“Pioooo, kamu enggak keluar? Itu si Bram barusan keluar sama pacarnya. Kamu enggak pingin gitu, bawa calon mantu kesini?” teriak Emak dari dapur.
Tuh kan mulai ngoceh kalau aku cuma di rumah aja. Giliran aku ngelayap, juga tetep ngoceh.
“Kok pulangnya malem banget?”
“Mana martabak buat Emak?”
“Kok masih ga bawa calon mantu?”
Ribet memang, tapi bagaimanapun dia Emakku. Yang selalu kusayang-sayang. Jangan tanya soal Bapak. Bapak mah cuek aja tiap kali si Emak ngomel. Dia adalah penolongku satu-satunya. Bapak akan selalu membelaku si jomlo bertahun-tahun ini.
“Sudahlah Mak, toh kita dulu nikahnya sudah hampir umur tiga puluh. Biar saja Pio nikmati masa mudanya.” Tapi jangan panggil Nyonya Menik kalau enggak bisa jawab pembelaan Bapak terhadapku.
“Iya, kita memang nikahnya mau umur tiga puluh. Nah jadinya kita sudah tua gini masih juga belum dapet mantu, apalagi cucu. Tuh lihat si Romlah anaknya Zaenab, sudah punya anak dia. Padahal masih umur dua puluh tahun.”
Dan masih banyak lagi. Setelah serangan itu, Bapak akan diam dan menyeruput kopinya. Lalu menyuruhku keluar dengan kodenya. Biar Emak enggak makin panjang ngocehnya.
Aku anak laki-laki pertama. Tak heran jika Emak selalu mengintimidasiku untuk segera mencari istri. Atau pacar dulu lah. Biar tetangga enggak mengira aku ini enggak laku, bahkan enggak laki. Pernah aku lihat Emak marah-marah sama tetangga komplek. Rupanya dia marah gara – gara tetangga itu mengatakan kalau aku enggak laku. Pecahlah sudah dunia peperangan mulut antar mereka di medan tukang sayur keliling. Emak emang selalu begitu, mana ada Emak yang rela anaknya dihina orang lain. Emak kalian pun pasti sama. Aku sayang Emak.
Dunia kejombloanku meronta-ronta. Saat aku melihat temanku Jefri dengan mudahnya menggandeng pacar baru. Cantik, tinggi, mulus, pokoknya tipe aku banget deh. Hatiku memang terkadang menjadi bodoh. Bisa-bisanya dia ngajakin aku buat nikung pacar teman sendiri. Kan aku jadi bimbang. Nurutin dia atau nurutin urat maluku. Aku dan Jefri sudah berteman sejak kecil. Bagaimana mungkin aku menghancurkan pertemanan itu hanya karena seorang wanita. Tapi beda cerita kalau wanita itu Dinda. Dinda itu sempurna di mataku. Dia sangat cantik dan apa ya. Pokoknya dia itu the best lah buatku.
Kalian akan ku ceritakan bagaimana pergelutan hati dan urat maluku. Dimulai dari hari itu. Hari dimana pertama kali aku bertemu dengannya.