Jessie termenung dengan syarat yang diajukan oleh Roy Fernando. Sebuah permintaan yang mengejutkan dan membuat batinnya bergolak. Di tengah segala keterpurukan hidupnya, tak pernah terpikirkan oleh Jessie bahwa seseorang seperti Roy akan memintanya menjadi simpanannya. Hatinya tak menentu, seolah terombang-ambing oleh ketakutan dan dilema.
"Siapa dia, kenapa malah ingin aku menjadi simpanannya? Bagaimana mungkin aku bisa menyetujuinya?" gumam Jessie dengan perasaan yang kalut, pertanyaan itu terus bergema dalam pikirannya.
Sementara itu, Roy melangkah menuju suatu tempat, sebuah rumah mewah yang dijaga ketat oleh beberapa orang pengawal. Saat Roy melangkah masuk ke dalam, ia disambut oleh seorang wanita cantik dan seksi. Wanita itu datang mendekat dengan ekspresi antusias yang hampir berlebihan, lalu tanpa ragu langsung memeluknya erat.
"Sayang, kau sudah datang. Aku dan anakmu sedang menunggumu," ucap wanita itu dengan senyum manis sembari mencium wajah Roy. Bibirnya yang berlapis lipstik merah itu menyisakan bekas di pipi Roy, namun ia segera menghindar, menunjukkan ketidaksenangannya.
Dengan tatapan tegas, Roy menjauhkan wanita itu dari dirinya. Ia menoleh ke arah seorang anak laki-laki kecil yang berdiri tidak jauh dari sana, memperhatikan mereka dengan pandangan polos namun penuh rasa penasaran. Raut wajah anak itu seketika berubah saat melihat interaksi antara ayahnya dan wanita asing itu.
"Tolong jaga perilakumu di depan anakku!" kata Roy, suaranya penuh peringatan yang membuat wanita itu terdiam. Ia kemudian melangkah mendekati anaknya, Felix, dan mengulurkan tangannya dengan senyum lembut yang berbeda dari sikap dinginnya barusan.
"Apa kabarmu hari ini, Sayang?" sapanya sambil menggendong Felix dengan penuh kehangatan.
Felix memeluk ayahnya dengan erat, ekspresi sedih terpancar dari wajah mungilnya. "Aku mengira Papa meninggalkan aku," jawab Felix dengan suara kecil yang bergetar.
Hati Roy terasa tertusuk mendengar ucapan anaknya. "Kamu adalah anak Papa. Mana mungkin Papa meninggalkanmu," jawabnya lembut, berusaha meyakinkan Felix. Senyum sayang terpancar dari wajahnya, dan ia membelai rambut anak itu dengan lembut.
Wanita tadi, yang kini duduk di sofa dengan senyum yang tersisa, ikut menyela, "Setelah Felix bangun, dia mencarimu dan tidak mau makan. Dia hanya ingin kamu yang menyuapinya," katanya dengan nada manis namun sedikit sinis, seolah ingin menunjukkan bahwa Felix membutuhkan sosok ayahnya.
Roy menatap Felix dengan penuh kasih. "Felix, kamu harus makan sesuatu. Kalau tidak kamu akan sakit," ujarnya, mencoba membujuk anaknya agar mau makan.
Felix menatap ayahnya dengan mata kecil yang terlihat ketakutan dan lelah. "Papa suapi aku," pintanya dengan suara pelan.
Roy tersenyum hangat, "Baiklah." Tanpa ragu, ia duduk dan mulai menyuapi Felix, memperhatikan setiap suapan dengan penuh cinta.
Setelah beberapa saat, Roy akhirnya berdiri, menatap wanita yang masih duduk di sofa. "Aku akan mentransfer uangnya ke rekeningmu. Untuk sementara, aku harus menitipkan Felix di sini," katanya dengan nada yang tegas namun sopan.
Wanita itu tersenyum lebar. "Tidak masalah! Felix juga anak yang baik. Istrimu sungguh luar biasa, bisa melahirkan tapi tak ingin merawatnya. Anak yang malang. Hanya saya dia tidak suka padaku," katanya, menyelipkan sindiran halus di balik pujiannya, sementara Roy hanya menatapnya datar.
Roy menatap Colly dengan dingin, matanya tak menunjukkan ketertarikan sedikit pun. Bagi Roy, wanita di hadapannya ini hanya teman ranjangnya yang sementara, tak lebih dari sekadar hiburan di sela-sela hidupnya yang kacau.
"Felix tidak mudah akrab dengan seseorang," ucap Roy tenang, melirik ke arah jendela, seolah tak terlalu peduli dengan lawan bicaranya.
Colly tersenyum tipis, dengan nada suara yang hampir memohon, "Nikahi aku, dan aku akan menjadi ibunya. Aku akan mencintainya dengan sepenuh hati.
"Roy mendengus, tertawa sinis. "Colly, hubungan kita tidak sejauh itu," jawabnya singkat, tanpa niat membalas perasaannya.
Satu jam kemudian, mereka berada di kamar Colly. Roy berdiri menghadap jendela, membiarkan kesunyian menggantung di antara mereka. Colly mendekat, melingkarkan lengannya di pinggang Roy, mencoba merengkuh lelaki yang tampak selalu menjauh darinya.
"Apa yang kamu pikirkan? Apakah kamu masih tidak berencana menceraikan istrimu?" bisiknya.
Roy menarik napas panjang. "Kami akan bercerai. Tapi hubungan kita tidak akan ada yang berubah," jawabnya tanpa emosi.
Colly menggigit bibir, mencoba menahan kekesalannya. "Kenapa? Kau tidak suka padaku? Kita sudah pernah seranjang, bukan?" tanyanya dengan nada yang penuh amarah terpendam." Dan aku mampu membuatmu menikmatinya."
Roy menoleh, tatapan matanya tajam. "Hanya untuk bersenang-senang saja, Colly. Aku tidak akan menikahimu," jawabnya tanpa belas kasihan.
Colly meremas tangannya, menahan kekecewaan yang meluap. "Apakah kini aku menjadi simpananmu? Hubungan kita tidak ada yang tahu," ujarnya penuh kesedihan.
Roy menggeleng, tatapan matanya merendahkan. "Kau tidak layak menjadi simpananku," jawabnya tajam.
Colly merasa hatinya hancur mendengar kata-kata itu. "Kenapa tidak layak?" tanyanya hampir berbisik.
Roy tertawa dingin. "Kau hanya wanita bayaran. Sebelum aku menceraikan wanita itu, aku tidak akan menikahi siapa pun. Aku bebas bersama wanita mana pun. Aku akan tetap membayarmu setiap kali kau menemani putraku," jawabnya, tanpa sedikit pun menunjukkan empati.
Sementara itu, di sisi lain kota, Jessie duduk merenung dalam kesakitan, memegangi perutnya yang masih terasa nyeri akibat luka jahitan yang belum pulih sepenuhnya. Matanya menerawang jauh, memikirkan putranya yang kini entah di mana berada.
"Di mana anakku sekarang? Di mana dia?" gumamnya, air mata menetes membasahi pipinya. "Harry b******k itu tidak akan bisa merawatnya. Anakku yang malang, apakah kamu dalam keadaan baik-baik saja?"
Keesokan harinya, Roy Fernando mendatangi rumah sakit tempat Jessie dirawat. Ia masuk ke dalam kamar dengan langkah penuh keyakinan, tatapannya lurus pada Jessie yang duduk menyandarkan dirinya.
"Apakah kau sudah mempertimbangkannya?" tanyanya tegas.
Jessie menatap Roy penuh kebingungan. "Kenapa? Kenapa Tuan ingin aku menjadi simpananmu? Apakah aku bisa mengetahui alasannya?" tanyanya dengan nada getir.
Roy tersenyum tipis. "Selain menjadi simpananku, aku ingin kau menjadi ibu dari anakku, Felix, yang baru berusia tiga tahun. Hubunganku dan istriku sedang dalam proses perceraian. Tugasmu hanya melayaniku dan menemani anakku. Kebutuhan lainnya akan ada yang menyediakan untukmu."
Jessie terdiam, jantungnya berdetak kencang. Dia tidak suka ide menjadi simpanan seseorang, namun demi putra yang sangat dirindukannya, ia merasa tak punya pilihan lain.
"Apakah kamu yakin akan menemukan putraku, merebutnya dari tangan suamiku?" tanyanya, suaranya bergetar dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
Roy menatapnya, menampakkan senyum penuh percaya diri. "Aku berjanji akan melakukannya. Bahkan kau juga bisa membawanya tinggal bersamamu. Aku juga berharap anakku memiliki keluarga yang baru. Apakah kau sudah setuju?"
Jessie mengangguk pelan, hatinya berat namun tekadnya bulat. "Iya, asalkan bisa menemukan anakku, aku rela menjadi simpananmu."
Roy tersenyum puas, merasakan kemenangan. "Aku senang kau menyetujuinya. Harry Benjamin yang telah menjadi suamimu selama tiga tahun kini berpaling pada wanita lain. Bukan sesuatu yang sulit untuk melawannya," katanya dengan yakin, senyum sinis menghiasi bibirnya.
Di sisi lain, Lina, wanita yang telah menjadi selingkuhan Harry, terlihat tergesa-gesa menggendong bayi kecil dan masuk ke dalam mobilnya. Bayi itu, putra Jessie dan Harry, menangis keras seakan mengerti bahwa bahaya sedang mengintainya.
Dengan kejam, Lina menggumamkan kata-kata tanpa perasaan. "Jangan salahkan aku. Kau hanya pengganggu saja. Tidak mungkin aku harus menghabiskan waktuku untuk menjaga anak sialan sepertimu. Aku masih bisa melahirkan anak untuk papamu. Lebih baik aku membuangmu ke suatu tempat. Hidup matimu tergantung takdir," ucapnya dingin, menginjak pedal gas dan melaju cepat.