"Kau bukan manusia," teriak Jessie dengan penuh kemarahan dan rasa sakit.
Harry mendekat dengan tatapan tajam. "Lebih baik jaga kandunganmu dengan baik, jangan sampai aku kehilangan putraku," kecamnya dengan nada mengancam," Selain mengidap penyakit, kau juga menyusahkan. Aku mempertahankanmu hanya karena kau mengandung anak laki-laki."
Jessie merasakan darahnya mendidih mendengar kata-kata suaminya. Ia memandang Harry dengan mata penuh kebencian, "Kau benar-benar iblis."
"Setelah melahirkan, Anak ini akan kurawat bersama istri baruku. Wanita lusuh sepertimu akan kubuang setelah anakku dilahirkan," ucap Harry.
Jessie tiba-tiba menjerit, tangan meremas perutnya yang terasa sakit luar biasa.
"Aahh, perutku sakit...," serunya, suara bergetar, sementara wajahnya memucat hebat, tampak seperti telah kehilangan seluruh darahnya.
Lina, yang berdiri di sampingnya, menatap penuh kebingungan. "Apakah dia akan melahirkan?" tanyanya dengan nada panik, matanya melebar.
"Tolong aku! Perutku sakit sekali!" Jessie kembali berteriak, kali ini suaranya dipenuhi keputusasaan, matanya berkaca-kaca menahan rasa sakit yang semakin mendera.
Harry, suaminya, langsung memutar tubuhnya ke arah anak buahnya yang berjaga tak jauh dari situ. "Cepat selamatkan anakku, sekarang juga!" perintahnya tegas, tanpa ada setitik pun kekhawatiran di wajahnya untuk kondisi Jessie.
Anggotanya segera bergerak cepat, mengangkat Jessie dengan hati-hati dan membawanya ke dalam mobil. Jessie hanya bisa meringkuk, menahan sakit yang terus menusuk, sementara pandangannya mulai kabur.
***
Sesampainya di rumah sakit, Jessie yang terus merintih kesakitan langsung dibaringkan di atas ranjang beroda dan didorong dengan cepat oleh para perawat menuju ruang persalinan. Dokter dan para suster berlarian, wajah mereka serius, mengetahui bahwa kondisi Jessie sangat kritis.
Tak lama kemudian, dokter yang menangani Jessie keluar dari ruang persalinan dan menghampiri Harry dengan ekspresi serius. "Tuan, kondisi istri Anda tidak baik. Jika dipaksakan melahirkan secara normal, ada kemungkinan besar ia tidak akan selamat. Kami sangat menyarankan untuk segera melakukan operasi," kata dokter itu, berharap mendapat persetujuan.
"Operasi?" Lina langsung menyela, wajahnya memperlihatkan sedikit ketegangan. "Biayanya cukup mahal, kita masih butuh uang untuk pernikahan kita, Harry, kita tak bisa menggunakan biaya itu." Lina menatap Harry seakan mencari dukungan, tanpa memperdulikan nasib Jessie.
Harry memutar kepalanya ke arah ruang persalinan, di mana Jessie's suara lemah masih terdengar. Ia menghela napas, lalu berkata dingin, "Suruh saja dia melahirkan secara normal. Yang terpenting selamatkan anakku!" katanya tegas, tak memedulikan rasa sakit dan penderitaan yang dialami oleh istrinya.
Jessie, yang masih berada di dalam ruangan, mendengar semua ucapan suaminya. Hatinya remuk, sakit hati dan sakit fisik yang tak tertahankan bercampur menjadi satu. Namun, ia mencoba tetap kuat, berjuang di atas ranjang meski kesadaran hampir meninggalkannya.
Dokter yang merasa terpojok akhirnya angkat bicara lagi, "Tuan, ini akan sangat membahayakan nyawa istri Anda," ujarnya, masih mencoba memberikan peringatan.
Harry melipat tangan di d**a, wajahnya tidak menunjukkan belas kasih. "Wanita itu punya penyakit jantung. Kalau pun hidup, dia hanya akan jadi beban bagi keluarga. Yang penting adalah anakku. Itu yang utama," jawab Harry tanpa ragu sedikit pun, ekspresi wajahnya begitu sinis.
Dokter hanya bisa menggelengkan kepala, kecewa namun terpaksa kembali masuk ke ruang persalinan, berusaha melakukan yang terbaik.
Lina menatap Harry dengan senyum lebar, merasa puas dengan keputusan kejam itu. "Harry, terima kasih!" ucapnya dengan suara yang dipenuhi rasa syukur.
Harry hanya tersenyum tipis. "Tidak apa-apa, Lina. Jessie Olivia hanyalah wanita yang sebentar lagi akan mati. Yang kuinginkan hanya anaknya," jawabnya tanpa rasa bersalah, senyum sinis menghiasi wajahnya.
Di dalam ruang persalinan, Jessie berjuang sendiri, tubuhnya lemah dan seluruh tenaganya hampir habis. Ketika dokter mendekat, Jessie menatapnya dengan penuh harap.
"Dokter, apapun yang terjadi, tolong selamatkan anak saya. Tolong…" Jessie suara nyaris tertahan di tenggorokan, kedua tangannya menggenggam erat besi ranjang untuk menahan sakit yang luar biasa.
Dokter itu menatap Jessie, mengerti bahwa ini adalah permohonan dari hati seorang ibu. Dengan nada tegas dan yakin, ia berkata pada suster di sebelahnya, "Kita akan menjalankan operasi!"
Suster itu tampak ragu, melirik ke arah pintu seolah mengingatkan sang dokter. "Tapi, suaminya tidak setuju," katanya pelan.
Dokter menghela napas dalam, lalu menegaskan, "Persalinan ini menyangkut dua nyawa. Kita harus menyelamatkan keduanya. Lakukan sekarang juga!" suaranya tak meninggalkan ruang untuk perdebatan.
Air mata Jessie mengalir, tetapi kali ini bukan hanya karena rasa sakit. "Dokter, terima kasih," bisiknya, penuh kelegaan dan harapan. Tangannya gemetar, tetapi ia tahu ia tidak lagi sendirian.
Dokter itu tersenyum tipis, menepuk tangan Jessie dengan lembut, memberikan sedikit rasa aman. "Jangan takut! Kami di sini mendukungmu!" katanya penuh keyakinan, mencoba menenangkan Jessie sebelum memulai operasi.
***
Dua jam kemudian, operasi berjalan lancar. Di koridor luar, Harry menunggu dengan gelisah, tetapi saat tangisan bayi menggema, wajahnya seketika berubah, senyum lebar menghiasi wajahnya. Saat suster menyerahkan bayi yang gemuk dan sehat itu ke pelukannya, Harry memandang anak itu dengan penuh kebanggaan. Terlihat sebuah tanda lahir di bagian leher kiri bayi itu.
"Putraku yang tampan," katanya lembut, mengusap kepala bayi itu. "Jangan menangis. Lihatlah tanda lahir di bagian leher kirimu cukup unik," Ia tersenyum, matanya penuh rasa bangga dan bahagia.
Lina, yang berdiri di sampingnya, menyaksikan momen itu dengan senyum licik. "Anakmu sudah lahir, apa rencana kita selanjutnya?" tanyanya pelan, nadanya penuh intrik.
Harry tertawa kecil, lalu menoleh pada Lina dengan ekspresi dingin. "Kita bawa pergi saja anak ini, dan biarkan dia di sini," katanya sambil mengisyaratkan ke arah ruang persalinan di mana Jessie masih terbaring, tak berdaya. "Biaya dan lainnya, biar dia yang tanggung sendiri."
Lina tertawa kecil, merasa puas dengan rencana itu.
"Barang-barangnya sudah aku minta anggotaku untuk dibuang. Wanita itu hanyalah kuman di mataku," lanjut Harry, senyum sinis di wajahnya semakin melebar, tak ada belas kasih tersisa untuk Jessie yang baru saja mempertaruhkan nyawanya.
Keesokan harinya, Jessie perlahan membuka matanya. Pandangannya masih buram, tetapi rasa hampa di perutnya segera membuatnya tersadar. Tangannya gemetar ketika menyentuh perutnya yang tak lagi mengandung. Rasa khawatir seketika memenuhi pikirannya.
Seorang suster yang sedang memeriksa kondisi Jessie tersenyum lega melihatnya terbangun. "Nyonya, Anda sudah bangun," serunya lembut, berharap Jessie segera pulih.
Jessie menatap suster itu dengan mata lebar, penuh kecemasan. "Anakku? Di mana anakku?" tanyanya, suaranya bergetar. Pikirannya hanya tertuju pada bayinya, berharap bisa segera melihatnya.
Suster itu tampak terdiam sesaat, lalu menatap Jessie dengan ekspresi penuh simpati. "Anaknya dibawa pergi oleh suami Anda," jawabnya pelan, takut melihat reaksi Jessie.
Mendengar jawaban itu, mata Jessie terbelalak. "Pria itu… berani sekali membawa anakku," gumamnya dengan nada marah yang tertahan. Meskipun tubuhnya masih lemah, ia mencoba bangkit, tangannya mencengkeram tepi ranjang untuk menahan tubuhnya yang goyah.
Suster segera menahannya dengan cemas, "Nyonya, Anda tidak boleh banyak bergerak. Kondisi Anda masih sangat lemah," katanya, mencoba menghentikan Jessie
Namun, Jessie menatap suster itu dengan penuh tekad. "Tidak, aku ingin anakku. b******k itu tidak boleh membawa pergi anakku," ucapnya tegas, matanya penuh kebencian. Meski kesakitan, ia tetap memaksa diri turun dari ranjang, mengenakan pakaian pasien seadanya.
Suster itu hanya bisa menatapnya dengan cemas saat Jessie berjalan tertatih, menahan perih dari bekas jahitan operasinya. Setiap langkah terasa menyakitkan, tetapi rasa sakit itu tidak sebanding dengan kehancuran hatinya.
"Anakku... Mama tidak akan membiarkan iblis itu membawamu pergi!" bisik Jessie dengan penuh tekad, airmatanya mengalir tanpa bisa ditahan. Ia tahu, ia harus segera menemukan anaknya.
Sesampainya di luar rumah sakit, Jessie mengangkat tangannya untuk menghentikan taksi yang lewat, tanpa peduli dengan tatapan heran dari orang-orang di sekitarnya. Meski tubuhnya masih lemah, tatapan matanya tegas dan penuh tekad. Begitu masuk ke dalam taksi, ia menyebutkan alamat rumahnya dengan suara dingin dan penuh kemarahan, hatinya hanya terpaku pada satu tujuan: merebut kembali anaknya.
Bagaimana dengan nasib Bayi yang baru dilahirkan dibawa pergi begitu saja, Akankah Jessie berhasil merebutnya kembali?