Jessie melangkah keluar dari rumah dengan langkah berat, menyisakan kenangan pahit di setiap sudutnya. Saat dia berdiri di luar sebuah mobil merah mewah berhenti mendadak di depannya, debu beterbangan mengiringi kedatangannya. Pemilik mobil, seorang wanita angkuh bernama Lina, keluar dengan senyum sinis terukir di wajahnya.
"Aku mengira siapa yang datang," kata Lina dengan nada penuh sindiran, "ternyata hanya seorang istri yang dicampakkan."
Jessie berusaha menahan emosinya, tetapi nada dingin Lina menusuk hati yang sudah hancur berkeping-keping. Dengan suara bergetar, ia menatap Lina dan berkata, "Di mana anakku?"
Lina hanya tersenyum licik, matanya memancarkan keangkuhan yang membuat Jessie semakin terpukul. "Aku tidak tahu," jawabnya santai, "bukankah kau sendiri yang melarikan dia?"
Jawaban itu seperti belati yang menusuk d**a Jessie."Dia hanya bayi yang tidak tahu apa-apa... tolong, beritahu aku, aku mohon padamu!" Suaranya bergetar, matanya mulai berkaca-kaca, memperlihatkan kesedihan yang tak terhingga.
Lina terkekeh kecil, matanya penuh ejekan. "Memohon padaku? Demi anakmu, kau rela memohon padaku?" tanyanya sambil mengangkat alis, menikmati ketidakberdayaan Jessie.
Jessie mengangguk perlahan, menahan air mata yang hampir jatuh. "Iya, beritahu aku di mana anakku. Kau bisa bersama Harry... aku dan anakku akan pergi dari sini. Kalian bisa hidup bahagia. Aku hanya menginginkan anakku," suaranya hampir pecah, penuh dengan kesedihan dan pengorbanan.
Namun, Lina hanya menatap Jessie dengan ekspresi dingin, menikmati penderitaan wanita di hadapannya. Bagi Lina, rasa sakit Jessie adalah kemenangan.
Lina tersenyum licik sambil menatap Jessie yang penuh kemarahan. Bibirnya melengkung, matanya memancarkan rasa puas saat ia berbisik pelan, hampir seperti sebuah ancaman yang memabukkan. “Kalau begitu… berlututlah di hadapanku dan memohon. Aku akan berbaik hati padamu, dan kau akan segera bersatu kembali dengan putramu!”
Kata-kata itu membuat darah Jessie mendidih. Ia menatap Lina dengan tatapan tajam penuh kebencian yang sudah lama dipendam. Bagaimana bisa perempuan ini begitu kejam, begitu dingin?
“Apa perlu kau melakukan ini padaku?” katanya, suaranya parau namun tajam. “Kau merebut suami orang dan menelantarkan anak orang lain tanpa perasaan. Kau tidak takut suatu saat kau akan menerima karmanya?”
Alih-alih tersentuh, Lina justru tersenyum sinis, “Kenapa, tidak sudi?” ejeknya. “Tidak apa-apa juga. Lagi pula dia anakmu, bukan anakku. Untuk apa aku harus peduli!” Dengan penuh percaya diri, Lina berbalik, bersiap untuk melangkah pergi, meninggalkan Jessie dalam rasa putus asa dan kemarahan.
Namun, di luar dugaannya, Jessie yang telah kehilangan kendali, menyelipkan tangan ke saku jaketnya. Ia menggenggam sebuah gunting dengan erat, lalu, dalam satu gerakan cepat, menikam punggung Lina dengan penuh amarah.
“Ahh!” Lina berteriak kesakitan, tubuhnya tersentak mundur, rasa sakit yang luar biasa menjalar dari punggungnya.
Jessie, yang wajahnya memerah oleh amarah, mencengkeram rambut Lina yang kini meringkuk kesakitan. Dengan tatapan tajam, ia berbisik penuh ancaman, “Katakan padaku sekarang, jalang! Di mana anakku!” Jari-jarinya semakin erat memegang rambut Lina, yang kini merintih ketakutan dan kesakitan.
Lina menahan napas, suaranya gemetar saat dia memohon, “Jangan… tolong, jangan bunuh aku!” Desperasi terpancar dari matanya.
Beberapa saat kemudian, suara mobil terdengar. Roy Fernando turun dari mobil dengan langkah tenang, matanya memperhatikan adegan itu dengan dingin. Ia melihat Jessie yang menjambak rambut Lina sambil memegang gunting yang berlumuran darah, sementara Lina berlumuran darah di punggungnya, menahan sakit.
Andy, yang berdiri di samping Roy, menyatakan kekhawatirannya, “Tuan, kalau dibiarkan, dia bisa saja membunuh wanita itu.”
“Dia tidak akan membunuh, karena dia hanya menginginkan anaknya. Jessie Olivia tidak memiliki jiwa pembunuh,” jawab Roy dengan nada tenang dan yakin.
Di tengah rasa sakitnya, Lina akhirnya menyerah. Dia tergagap, mencoba menyembunyikan rasa takutnya. “Aku… aku akan memberitahumu. Tolong lepaskan tanganmu. Aku berjanji akan memberitahumu…”
Jessie akhirnya melepaskan tangannya, tapi matanya tetap menatap penuh ancaman. “Jangan main-main denganku. Aku tidak akan diam saja kalau sesuatu yang melibatkan anakku!”
Menahan rasa sakit di punggungnya, Lina mengucapkan dengan lemah, “Anakmu… dia… di panti asuhan.”
“A-apa? Panti asuhan?” Jessie terkejut, matanya melebar dalam ketidakpercayaan. “Dia memiliki orang tua, tapi kau malah memasukkannya ke sana? Di mana alamatnya?”
Dengan napas tersengal, Lina menyeringai sinis. “Aku akan memberitahumu, setelah itu kita tidak ada hubungan lagi. Bawa dia pergi, dan jangan pernah muncul di hadapan kami. Aku tidak ingin ada anakmu di antara aku dan Harry!”
Roy, yang mendengar percakapan itu, menatap Lina dengan penuh perhatian. “Andy, periksa latar belakangnya,” perintahnya dengan nada tegas.
Setelah mengetahui alamat panti asuhan tersebut, Roy akhirnya membawa Jessie pergi, meninggalkan Lina yang terduduk lemas di tanah, masih merintih kesakitan. Namun, di sela-sela rasa sakitnya, Lina tersenyum tipis, penuh arti. Pandangannya penuh kebencian dan dendam, seperti menyimpan rencana yang lebih besar.
“Jessie Olivia… perbuatanmu ini tidak akan aku buat perhitungan saat ini. Karena tanpa kau sadari, kau telah melakukan kesalahan besar.” Gumamnya dengan senyum sinis. “Lihat saja… penderitaanmu baru akan dimulai setelah ini.”
"Setelah beberapa tahun berlalu, penderitaanmu akan semakin menjadi-jadi. Dan hasil akhirnya… akulah yang akan menikmatinya," gumam Lina dengan seringai tipis, matanya bersinar penuh dendam.
***
Jessie, dengan hati yang dipenuhi harapan, mengikuti petunjuk yang diberikan Lina dan akhirnya tiba di alamat panti asuhan yang dimaksud. Bersama Roy, ia memasuki gedung itu dengan langkah cepat, tak sabar ingin bertemu dengan putranya yang telah lama hilang.
Di dalam panti, seorang wanita tua berambut putih yang menjadi pengurus panti asuhan menyambut mereka dengan ramah. Tanpa berlama-lama, wanita itu memandu Jessie dan Roy menuju kamar kecil di mana bayi laki-laki itu berada.
Begitu pandangan Jessie tertuju pada bayi yang tengah terlelap di dalam tempat tidur kecilnya, seluruh emosinya seakan meledak. Hatinya bergetar, tak percaya bahwa ia akhirnya bisa melihat anak yang selama ini ia rindukan. Perlahan-lahan, Jessie mendekat dan mengangkat bayi itu dalam dekapannya, air mata haru mengalir di pipinya.
“Anakku... akhirnya Mama menemukanmu!” ucap Jessie dengan suara bergetar, memeluk bayi kecilnya dengan penuh kasih sayang.
Roy, yang berdiri di sampingnya, hanya menatap bayi itu dengan pandangan dingin dan penuh analisis.
“Sejak kapan bayi ini ada di sini? Dan siapa yang membawanya?” tanya Roy dengan nada tajam, menatap lurus ke arah wanita tua itu.
Wanita itu menjawab tenang, “Semalam, ada seorang wanita bernama Lina yang datang dan menitipkan bayi ini.”
Mendengar nama Lina, Jessie mengeluarkan air mata haru, menatap wajah mungil bayi yang terlelap dalam dekapannya. Ia tak menyangka bahwa meskipun lewat jalan yang begitu panjang dan berliku, ia akhirnya bisa bersatu kembali dengan anaknya.
Namun, Roy tetap waspada. Ia menatap bayi itu dengan pandangan penuh keraguan, menyadari ada sesuatu yang tak sepenuhnya masuk akal. Dalam hatinya, ia bertanya-tanya, "Apakah begitu mudahnya Lina memberitahu keberadaan putra Jessie? Bayi ini memang seusia anak Jessie… namun apa benar dia anak Jessie yang sesungguhnya? Atau hanya bagian dari rencana Lina?"