Penderitaan Jessie

1081 Words
Roy yang mendengar suara tangis anaknya terhenti sejenak, tatapannya berubah serius saat ia menurunkan korannya dan melangkah menghampiri sumber suara di balik pilar. “Felix!” seru Roy dengan nada kaget saat melihat putranya yang kecil tengah menyeka air mata dengan tangan mungilnya. Wajah anak itu tampak sedih dan ketakutan, ekspresi yang menusuk perasaan Roy hingga ke relung hatinya. Berjongkok agar sejajar dengan putranya, Roy bertanya lembut, “Sejak kapan kamu berdiri di sini?” Felix mengangkat wajahnya yang basah, menatap ayahnya dengan mata yang berkaca-kaca. “Papa, jangan pisah dengan Mama!” pintanya lirih, suaranya penuh kepolosan dan harapan yang membuat hati Roy mencelos. Namun sebelum Roy sempat menjawab, suara tajam Zoanna memotong dengan kasar, “Felix, jangan ikut campur. Kembali ke kamarmu!” Bentakannya menusuk hati Felix, yang spontan gemetar dan bersembunyi di belakang tubuh ayahnya, memegangi pakaian Roy dengan tangan mungil yang bergetar. Roy menatap Zoanna dengan dingin dan berdiri, melindungi putranya di belakang punggungnya. “Bisakah kau tidak selalu meninggikan suara di depan Felix?” ucapnya dengan nada tajam, namun terkendali. Tatapan Zoanna berubah sengit, penuh kemarahan dan dendam. Ia menunjuk ke arah Roy dengan ekspresi penuh cemooh. “Felix, lihatlah papamu. Dia yang menghancurkan keluarga ini!” kata Zoanna dengan nada sinis, seolah ingin menanamkan kebencian di hati putranya. Namun bagi Felix, ucapan ibunya hanya membuat tubuh kecilnya semakin gemetar. Di balik punggung ayahnya, ia menunduk dalam ketakutan, wajahnya mengeras ketakutan yang begitu mendalam setiap kali berhadapan dengan ibunya. Ia memang telah lama merasa trauma, kehilangan rasa aman setiap kali sang ibu berada di dekatnya. Roy yang menyadari ketakutan putranya, menghela napas panjang. Tatapannya berpaling tajam ke arah Zoanna, penuh kebencian yang ia pendam selama ini. “Kau adalah ibu yang gila,” ucapnya dengan nada tajam yang tak terbantahkan. “Mana mungkin aku bisa tenang membiarkan Felix tinggal bersamamu. Selama ini kau sama sekali tidak pernah merawatnya dengan baik, hingga dia bahkan tak berani mendekatimu!” Mengabaikan protes dari Zoanna yang hanya menambah kebisingan di ruang tamu itu, Roy meraih tubuh kecil Felix dan menggendongnya. Anak itu memeluk leher ayahnya dengan erat, tubuhnya masih gemetar diiringi isak tangis yang perlahan-lahan mulai mereda dalam pelukan Roy. Dengan lembut, Roy menyeka air mata Felix, mencoba menenangkan putranya yang baru berusia tiga tahun, anak yang seharusnya mendapatkan kasih sayang, namun malah hidup di antara konflik yang membuatnya merasa ketakutan. Zoanna, yang tak terima atas sikap Roy, mengangkat dagunya dengan penuh ketegasan. “Dia adalah anak yang aku lahirkan! Aku tidak akan bercerai dan membiarkanmu mendapatkan hak asuh!” ucapnya, suaranya penuh amarah yang tertahan. Roy hanya menatap Zoanna sekilas, pandangan matanya seolah tak peduli lagi dengan protes atau ancamannya. “Aku tidak peduli apa pikiranmu,” jawabnya dingin sambil melangkah menuju tangga. *** Jessie yang baru sadar dari pingsannya mendengar suara des4han dari kamar. Suara suaminya dan wanita itu terdengar jelas dan menyakitkan, seolah menusuk hatinya. "Aahh! Tolong lembut!" erangan wanita itu menggema. "Punyamu sangat sempit, Aku menyukainya," suara Harry terdengar parau dan penuh gair4h. Jessie berusaha bangkit meski tubuhnya yang sedang hamil besar terasa lemah. Dengan langkah perlahan, ia menuju pintu utama. Setiap langkah terasa berat, seolah menambah beban di hatinya yang hancur. Sambil menyeka air mata yang terus mengalir, Jessie berpikir tentang suaminya yang tega membawa selingkuhannya ke rumah. "Harry, aku tidak menyangka kau begitu kejam padaku. Aku tidak akan membiarkan kau mengambil anakku," ucap Jessie pelan, sambil memegang perutnya yang besar dengan penuh kasih sayang. Ia kemudian keluar rumah dan menahan taksi yang lewat. Setibanya di depan rumah ibunya, Jessie menekan bel pintu dengan tangan gemetar. Seorang wanita muda membukakan pintu dan menatap Jessie dengan tatapan tidak senang. "Kakak ipar!" sapa Jessie pada wanita itu. Tanpa menjawab, wanita tersebut melangkah masuk ke dalam, meninggalkan Jessie di pintu. Dengan hati yang semakin perih, Jessie masuk ke dalam rumah dan melihat suasana yang kacau. Anak-anak berlarian ke sana kemari, berteriak tanpa henti. "Jessie, kau datang sendirian? Di mana suamimu?" tanya ibunya yang sudah tua, suaranya terdengar lelah. "Ma, Harry dia... sedang bersenang-senang dengan wanita lain di rumah kami. Ma, apakah aku bisa tinggal di sini?" tanya Jessie dengan suara bergetar. "Jessie, kau lihat saja kondisi rumah ini. Kakakmu hanya karyawan kecil di perusahaannya. Anak-anaknya juga masih kecil. Tidak seharusnya kau pulang dan tinggal di sini," jawab ibunya dengan nada datar. "Jessie, sebagai istri kau harus bisa merawat suamimu. Kalau tidak, mana mungkin dia sampai selingkuh. Lihatlah dirimu sekarang, sudah hamil besar. Tentu saja butuh suamimu untuk biaya persalinanmu. Kalau kamu tinggal di sini, kakakmu mana sanggup menanggung bebanmu," ujar kakak iparnya, suaranya penuh ejekan. "Hanya untuk beberapa hari, setelah dapat tempat tinggal aku akan pindah," ujar Jessie dengan suara memohon. "Jangan menyusahkan kami! Kau sudah menikah dan sudah menjadi milik orang. Kau bisa dianggap beruntung karena Harry masih menginginkanmu. Kesehatanmu buruk dan hanya dia yang rela bersamamu," ujar ibunya tanpa ragu, suaranya tajam dan dingin. "Dia tidak peduli padaku, Ma. Dia akan ambil anakku dan pergi dengan wanita lain," kata Jessie dengan suara lirih, penuh kepedihan. "Itu juga nasibmu! Kamu harus menerimanya setelah menikah. Perselingkuhan terjadi karena kau tidak bisa melayani suamimu," ketus ibunya tanpa sedikit pun simpati. Jessie semakin sakit hati mendengar ocehan ibu dan kakak iparnya. Dengan hati yang hancur, ia memutuskan untuk pergi dan meninggalkan rumah itu, sambil memikirkan nasib dirinya dan anak dalam kandungannya. Jessie memandangi langit malam yang kelam, mencoba menenangkan hatinya yang berkecamuk. "Harry tidak boleh ambil bayiku" pikirnya penuh ketakutan. "Dia akan merebutnya. Dia seperti kerasukan iblis saat ini dan telah banyak berubah. Tapi apa yang harus aku lakukan andaikan aku meninggal saat melahirkan? Bagaimana nasib putraku?"Tangannya yang gemetar mengelus perutnya yang membuncit. "Sayang, Mama akan melindungimu. dan tidak akan membiarkanmu menderita," bisiknya penuh kasih sayang. Namun, ketenangan sejenak itu segera buyar ketika sebuah mobil hitam berhenti mendadak di depan rumahnya. Dua pria berpakaian gelap keluar dengan langkah cepat, menghampirinya dengan tatapan dingin. "Ahhh...siapa kalian?" teriak Jessie panik saat mereka menariknya dengan kasar. Mereka mengabaikan pertanyaan Jessie dan memaksanya masuk ke dalam mobil. Jessie meronta, namun tenaganya tidak cukup untuk melawan cengkeraman kuat mereka. Hatinya berdebar kencang, ketakutan menyelimuti dirinya. Pikiran tentang keselamatan bayinya terus mengusik benaknya. Beberapa saat setelah tiba, Jessie ditarik dengan paksa hingga ke dalam rumah suaminya. Ia didorong oleh anak buah Harry ke sofa dengan kasar, membuatnya hampir terjatuh. "Berani sekali kau kabur, ingin membawa anakku pergi dari sini? Jangan bermimpi," ketus Harry dengan suara dingin sebelum melayangkan tamparan ke wajah istrinya, "Plak!" "Ahhh!" jeritan Jessie menggema di ruangan, tangannya refleks menyentuh wajahnya yang kini memerah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD