Senjata makan tuan

1216 Words
Adelia duduk sesekali mengangguk mendengar penjelasan dari rekam kerjanya hari ini Zaidan. "Nona," Dirgantara asisten Adelia berbisik. "Eng?" "Dia emang gitu ya, datar." Adelia ingin tertawa. Lebih datar suaminya perasaan. "Mungkin." jawabnya. Tidak lama kemudian rapat selesai yang lain keluar, tinggal Adelia dan Zaidan di dalam ruangan. Pria itu hendak mengatakan sesuatu, pintu lebih dulu terdorong dari luar menghentikan niatnya. "Nona," Adelia mendongak, melirik Zaidan sebentar lalu menatap Dirga. "Nona mau di kantin atau di sini?" Tanya Dirga. "Kantin." "Oke." Dirga beralih menatap Zaidan. "Mas Zaidan nya mau gabung makan siang sekalian?" Lelaki itu tampak curi-curi pandang ke arah Adelia kemudian mengangguk. "Oke. Nona jangan lama-lama ya, nanti mas Adam ngomel." "Iya." Adelia membereskan berkasnya, "ada sesuatu yang ingin anda sampaikan?" Tanya nya menaikkan pandangan menatap Zaidan. "Ah, itu.. kau yakin ingin ikut penyergapan?" "Yes. Ada masalah?" "Tidak ada." "Oke." Adelia keluar lebih dulu, Zaidan berdesis menenangkan hatinya setiap kali Adelia bersuara jantungnya seakan mau copot. "It's true… dia tidak berubah, sangat cuek dan dingin terhadap orang asing." Zaidan tersenyum kecil, merogoh saku mengeluarkan ponselnya. "Aku menemukannya kak, gadis itu." Send. Idan. Setelah itu Zaidan pun ikut keluar, dengan muka datar ia melihat kesana kemari nya mencari keberadaan Adelia. Drrtt.. drrtt… Khem, Zaidan berdehem berjalan ke arah Adelia setelah melihat gadis itu. "Ya, ada apa?" Sebelah alis Zaki terangkat, suara Adelia begitu ketus menjawab telepon darinya. Disisi lain Zaidan terpaksa menghentikan langkahnya sedikit menyingkir agar tidak terlihat memperhatikan Adelia dari jauh. "Aku lapar." "Lalu?" "La-lalu? Ha-ha-ha.. " Zaki tertawa paksa, entah dia menertawakan siapa yang pasti, dia merasa mempermalukan diri sendiri. "Ada yang lucu? Ouh… apa merasa mempermalukan diri sendiri? Ya, kalau saya jadi kakak sih… akan merasa seperti itu." Sialan nih anak. Mau ngamuk, tapi, apa yang Adelia memang bener. Bangsatlah. "Whatever. Temani aku makan siang." Kedua kaki Zaki mengetuk-ngetuk lantai risau ajakannya akan ditolak. Dia sudah mengubur rasanya malunya, jadi, terserah lah. Lagi pula dia juga bingung apa yang terjadi padanya, sampai membuang gengsi dan mengajak Adelia makan siang bersama. Dia yakin, gadis ini akan meledeknya sebentar lagi. "Waw… ada apa gerangan? Wait… this is not a dream? Aku tidak percaya seorang dokter Zaki mengajak orang asing makan siang. Why? Kakak habis kecelakaan terus otak nya kegeser atau… wah, jangan-jangan nggak di kasih jatah sama pelacurnya ya," Sial. Benar kan, sesuai prediksi Zaki sudah tau akhirnya akan seperti apa. Sudah ketebak duluan. Dasar menyebalkan. Sebenarnya… lebih menyebalkan dirinya sih yang plin-plan ini. Melarang istrinya berharap dalam pernikahan, tetapi, lihat apa yang ia lakukan sekarang malah menjadi bumerang untuk mereka. "Keterlaluan kamu." Zaki tidak bermaksud, dia hanya ingin membela diri agar tidak terlalu malu. "Hei, panu polkadot. Apa kabar denganmu. Gila ya, nggak sadar diri juga." Shit. Dikatain panu polkadot lagi. Emang ada? "Ya ya ya.. ngomel aja terus. Intinya, saya jemput sekarang." Tanpa menunggu lagi, Zaki memutuskan sambungan telepon mereka sebelum si nona menolak. "Hufff… anggap saja tanda permintaan maaf sudah mengabaikan nya selama ini. Mau dia ngomel, bodo amat yang penting saya puas." tuturnya beranjak dari kursi meraih jas dan kunci mobil. Di saat Zaki senang merasa menang, Adelia tengah menghirup udara sebanyak-banyaknya lalu melepasnya perlahan. Kedua tangannya naik mengikuti deruan nafasnya. "Huff… tahan Dee, tahan. Ingat… mommy, ingat Daddy, cukup pikirkan mereka jangan yang lain. Huff… hahh… huff… hah… " "Nggak bisa. Aku tidak bisa menahannya lagi." Adelia berjalan cepat membuka pintu tangga darurat tak lupa menutupnya kembali rapat-rapat kemudian berteriak. "Dokter sialan. Bastard. Nggak punya perasaan. Aku sumpahin punyamu nggak bangun-bangun, liat aja. Arrgghh… I will kill you Zaki." Setelah mengeluarkan semuanya unek-unek nya, petir di siang bolong menyambar. Adelia yang tengah menarik nafas tersentak menunduk, menutup mulut. Matanya membulat. "Bu-bukan karena aku, 'kan? Ah, masa sih? Paling mau hujan. Biasanya juga gitu, tiba-tiba hujan sekalipun cuaca panas." Adelia pun bersikap biasa merapikan rambut dan juga pakaiannya lalu keluar dari sana. Seseorang sedari tadi mengikuti bahkan mendengar semua teriakan nya yang begitu menggemaskan untuknya segera pergi dari sana, bersembunyi agar tidak ketahuan. Zaidan terkikik geli masih mengingat tingkah Adelia. Hhh… sayang, dia sudah memiliki pasangan. *** Zaki tiba di depan kantor kejaksaan, menurunkan kaca jendela membunyikan klakson mobil melihat Adelia baru keluar. Muka masam Adelia begitu menyenangkan untuknya. Ngomong-ngomong, barusan bunyi geledek terdengar nyaring ia kira bakal hujang deras, tau nya makin panas. "Tidak perlu." Lontar Adelia melihat Zaki hendak keluar dari mobil menyambutnya. Cih, tak sudih dia di baik-baikin ujung-ujungnya bakal nyesek sendiri. "Kesambet petir nggak tadi?" Tanya Adelia tiba-tiba. "Hah?" Zaki mengernyitkan dahi melanjutkan, "Ngapain petir nyamber orang tampan kayak saya, nggak ada kerjaan banget." "Aamiin, beneran di samber nyaho." "Heh mulutnya, dari tadi ya kamu bikin saya emosi." "Oyah, kakak pikir saya enggak gitu? Hahahaha, emosi sekali saya." Adelia tertawa dalam sekejap tawa itu di gantikan oleh senyum tipis dengan lirikan sinis. "Nggak usah sinis gitu, suami mu sendiri yang ngajak bukan pria lain." lontar Zaki entah apa yang pria ini pikirkan dia perlahan mengakui dirinya sebagai suami Adelia. Sampai Adelia saja muak dengernya merasa di permainkan. "Haha, saya bersyukur kalau yang ngajak cowok lain." "Adelia." Zaki panas mendengar Adelia lebih suka jalan dengan pria lain di banding dengannya. "Kenapa? Ya, santai aja lagi. Seperti kata kakak hari itu, kamu adalah kamu, begitu juga sebaliknya DAN.. " Adelia menekan, "...nggak ada kata kita." ucapnya santai. "Oyah, jangan lupa… urus urusan masing-masing. Aahh…" Adelia membuang nafas lega bersandar merentangkan tangan sampai mengenai Zaki. "Heh, tangannya." tegur Zaki ketus. Sayangnya Adelia tidak peduli. "...saran kakak oke juga loh, kakak bebas itu artinya aku juga bisa bebas kemana aja dan ngapain aja. Berarti lagi… " Adelia bersemangat menoleh, menatap Zaki dari samping dengan mata berbinar. "...aku boleh dong dekat sama cowok lain? Kata mommy, selama suami izinkan dan merestui lakuin aja." "Tutup mulutmu sialan!" bentak Zaki memukul stir mobil, kelepasan meninggikan suaranya pada Adelia. Sementara dia tau seumur-umur istrinya tidak pernah di bentak. Ia melirik Adelia, gadis itu tengah memejamkan mata menautkan jari-jari tangannya.. Terlihat bibir Adelia bergetar, air matanya akan jatuh, namun, buru-buru tersadar dan mengusapnya. Senyum Adelia tersungging, melihat ke arah jendela. Zaki dapat melihat air mata Adelia kembali menetes. "Sorry." "It's oke." "Dee," Zaki berucap lirih. "Kak, aku boleh nggak nyumpahin kakak?" Tanya Adelia menoleh, tak urung tatapan keduanya bertemu. Tatapan dalam penuh makna, Zaki dapat melihat luka di kedua bola mata cantik Adelia. "Ya, silahkan." "Kalau gitu," Adelia tersenyum kecil. "Aku bersumpah demi Daddy dan mommy, kakak bakal jatuh cinta sama Dee, setelah itu terjadi… I'm go." Deg! "Sebagai jaksa aku dituntut untuk berlaku adil dan tidak gampang terpengaruh tentunya plin-plan dalam mengambil keputusan. Jadi, aku punya pendirian apalagi untuk diri sendiri terutama hati." Lanjut nya semakin membuat perasaan Zaki memburuk mendengarnya. "Tarik kembali sumpah itu." suruh Zaki, wajahnya suram tatapannya penuh intimidasi. Sayangnya, Adelia tidak goyah kini mencondongkan badannya mendekati Zaki. "Hufff… " Adelia meniup wajah Zaki berkata, "masih ingat nggak waktu SMA kubacakan mantra? Dengan kakak bertingkah seperti ini, mantra nya bakal jalan begitu juga sumpahku. Jadi, ayo bertarung siapa yang kala aku atau kakak." bisik Adelia merapikan rambut Zaki lalu menarik diri kemudian membuka pintu mobil lalu keluar. Deg deg deg… Bugh! "b******k!" Zaki memukul stir mobil, iris matanya bertemu pandang, rahangnya mengeras melihat Adelia tersenyum di luar sana. Dia tidak percaya mantra atau apapun itu, dia juga tidak percaya sumpah. Tetapi, dia percaya karma itu ada. Sial. Senjata makan tuan kalau begitu sih.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD