VALERIE

1400 Words
  VALERIE Sesampainya di sekolah, Freddy mengantar Elsa sampai di kelas gadis itu. Ia mendekatkan wajahnya ke wajah sang kekasih. Belum sempat Freddy mencium Elsa, gadis itu sudah lebih dulu mendorongnya hingga mustahil bagi Freddy meraih sepasang bibir merah muda yang sangat menggoda itu. “Aku tidak akan menciummu di depan umum.” Elsa mengulas senyumnya, membuat Freddy nyaris tidak bisa menahan diri lebih lama. “Kemarilah, aku ingin membisikkan sesuatu padamu.” Gadis itu mengulurkan tangan dan langsung diterima oleh Freddy. Setelah Freddy menggenggam tangannya, Elsa segera berbisik. “Jangan macam-macam di kelas.” Freddy mengagngguk mantap. “Pasti. Aku juga ingin membisikkan sesuatu padamu.” Freddy menahan tangan Elsa saat gadis itu hendak melepaskan diri. “Apa?” Elsa menahan tawanya. Untung saja tidak banyak yang melihat mereka. Jika ada yang melihat mereka, ia pasti sudah sangat malu. "You're so hot, Baby. I saw your body.” Ucap Freddy lirih lengkap dengan suara seraknya. “Selimutmu terjatuh dan aku tidak sengaja melihat tubuhmu. Delicious.” Gumamnya. "Hah?!" Elsa nyaris tidak mempercayai pendengarannya. Rona merah menjalar di pipinya, membuat gadis berambut panjang itu tampak semakin cantik. Begitu punggung Freddy menghilang di balik pintu kelasnya, Elsa bergegas memutar langkah dan masuk ke ruang kelasnya sendiri. Di sana, di sisi kursinya Axel sudah duduk manis dengan buku yang terbuka di mejanya. “Ada apa?” tanya Axel saat Elsa sudah duduk di sisinya. Axel tampak bingung melihat sikapnya yang terlihat aneh pagi ini. “Kenapa kau pucat sekali? Apa kau saki?” Elsa menggeleng. “Tidak. Aku baik-baik saja, Axel.” Katanya seraya meletakkan tas di atas meja. Elsa tidak mungkin mengatakan kepada Axel tentang apa yang barusan dikatakan oleh Freddy, bukan?  Meskipun mungkin hal itu akan terdengar biasa saja untuk mereka berdua, tetapi ia tetap tidak mau mempermalukan dirinya sendiri di depan sahabatnya. Elsa memilih diam dan mendengarkan penjelasan dari guru matematika yang kini sudah berdiri di depan kelas, membuat Axel bertanya-tanya dalam hati. Selama guru matematika mengajar, Elsa dan Axel tidak benar-benar fokus dengan pelajaran pagi itu. Mereka sudah tahu isi dari materi yang disampaikan dan bahkan sudah hapal di luar kepala isi rumus-rumus yang sedang diterangkan oleh guru tersebut. Keduanya justru asyik bermain SOS di buku tulis mereka. Sesekali Elsa menginjak kaki Axel saat laki-laki itu berhasil memenangkan perlombaan konyol khas anak-anak. Sedangkan Axel, demi membalas perbuatan Elsa, ia memilih mencubit lengan gadis itu. Keduanya tampak asyik dengan dunia mereka sendiri. Axel menyampaikan apa yang akan ia katakan dengan menulis memo kecil di buku tulis Elsa. Begitu sebaliknya. Para siswa dan guru bahkan tidak tahu apa yang sedang mereka lakukan. Mereka terlalu fokus dengan pelajaran hingga tidak memperhatikan Elsa dan Axel. Hingga bel berbunyi dan guru matematikan mengakhiri pertemuan tersebut lalu mengumumkan kalau minggu depan akan ada ulangan untuk mereka, Elsa dan Axel justru masih sibuk dengan permainan mereka. “Yes!” Axel mengangkat satu tangan seraya menjulurkan lidah pada Elsa. Akhirnya ia berhasil memenangkan permainan. Ada rasa bangga dalam dadanya karena berhasil mengalahkan Elsa. “Aku memang.” Katanya congak. Elsa berdiri dari duduknya dan melipat tangan di depan d**a. “Baiklah, kau menang hari ini. Tapi aku tidak akan membiarkanmu menang besok.” “Kita lihat saja nanti.” Axel ikut bangkit dan berjalan di belakang Elsa. “Mau ke kantin?” “Tentu saja. Aku lapar.” Keluh Elsa seraya memegangi perutnya yang kempes. “Tapi aku harus buang air dulu. Kau mau menungguku di depan toilet, kan? Seperti biasa?” Dengan senyum nakalnya, Elsa mengangkat alis dan memainkannya. Gadis itu lalu meninju lengan Axel keras seolah Axel adalah mangsa empuk untuk perburuan tinjunya. “Sejak kapan kau pergi ke toilet tanpa pengawalanku?” Axel merangkul Elsa dan berjalan keluar kelas. Keduanya lalu berjalan beriringan menuju toilet putri. Sesampainya di sana, Axel melepaskan Elsa dan membiarkan gadis itu masuk ke toilet untuk membuang hajat. “Tunggu di sana dan jangan kemana-mana, Exel!” Ucap Elsa seraya melambaikan tangan. “Siap, Tuan Putri.” Sahut Axel sembari mengangkat tangan kanannya hingga mencapai pelipis. Layaknya seorang ajudan kepada kepada atasannya. Begitu pintu tertutup, Axel segera berbalik dan mencari tempat duduk tak jauh dari pintu toilet. Di bawah sebuah pohon yang kiranya berumur puluhan tahun, sebuah kursi dari beton terdampar di sana. Axel langsung mendaratkan p****t di kursi tersebut dan menunggu Elsa. Seperti itulah kira-kira persahabatan mereka selama ini. Hingga Freddy datang dan mengubah segalanya. Di dalam toilet, Elsa telah selesai dengan panggilan alamnya. Gadis itu berdiri di depan cermin untuk memperbaiki seragamnya. Mulai dari baju, rok hingga tatanan rambut yang sedikit berantakan. Begitu dirasa penampilannya sudah jauh lebih baik, ia berbalik. Seorang gadis dengan rambut panjangnya berdiri tepat di hadapannya. Gadis itu sepertinya menunggu Elsa. Satu detik kemudian… Plak! Plak! Plak! Tiga tamparan berturut-turut mendarat di pipi Elsa. Ia mendongak dan mendapati Valerie dan beberapa temannya tengah menatapnya penuh kebencian. “Cewek murahan!” seru Valerie sambil berjongkok di hadapannya. “Jalang, sepertinya itulah panggilan yang cocok untukmu. Kau berkencan dengan Freddy dan Axel. Perempuan macam apa kau ini?” gadis itu menyuruh dua temannya untuk memegang kedua tangan Elsa agar Elsa tidak bisa bergerak. Sementara Elsa, ia hanya bisa tersenyum samar melihat tingkah laku Vallerie. Vallerie adalah gadis paling popular di sekolah. Nyaris semua orang tahu kalau gadis itu menyukai Freddy. Namun cintanya bertepuk sebelah tangan. Freddy lebih memilih Elsa, gadis manis yang selalu menempel pada sahabatnya, Axel. Menatap Elsa dengan sorot penuh percaya diri, Vallerie mengambil pisau dari salah satu temannya. Ia membawa pisau tersebut ke hadapan Elsa. “Pisau ini akan kupakai untuk menyayat wajahmu. Kau tahu kenapa? Aku ingin menjadikanmu itik buruk rupa agar semua laki-laki jijik melihat tampangmu.” Vallerie menempelkan ujung pisau tersebut ke pipi Elsa. Ketika ia hendak melakukan aksinya, Elsa lebih dulu menendang kaki Vallerie sehingga gadis itu terjerembab ke lantai. Geram. Itulah yang terlintas di wajah Vallerie. Dua orang membantunya berdiri. Ia melihat Elsa meronta hingga berhasil melepaskan diri. Teman-temannya kembali menangkap Elsa dan membawa gadis itu hingga ke pojok toilte. “Kau berani melawanku!” ia mengangkat tangan Elsa dan meremasnya dengan cukup keras. “Apa yang sebenarnya kauinginkan dariku?” kali ini Elsa membuka mulutnya. Vallerie boleh melukai fisiknya, tapi gadis itu tidak akan pernah bisa melukai harga dirinya. “Aku hanya ingin kau lenyap dari bumi.” Pisau di tangan Vallerie bergerak di atas nadi Elsa. Lamban dan penuh irama. Bak adegan slow motion yang dibuat dalam film-film yang akan ditayangkan di bioskop. “Kau mungkin bisa menyisaku di sini, tapi kupastikan setelah ini akulah yang akan melenyapkanmu, Vallerie. Sekuat apa pun kau mencoba menyingkirkanku dari Axel dan Freddy, kau tidak akan pernah menang dariku.” Elsa menahan rasa sakit yang menjalar di pergelangan tangannya. Darah yang cukup deras mengalir dari nadinya dan menetes ke lantai. Denyutan di kepalanya akibat begadang semalaman memperburuk situasinya. Namun Elsa sama sekali tidak mau menunjukkan rasa sakitnya kepada Vallerie dan teman-temannya. Ia tidak mau terlihat lemah. Tidak di hadapan perempuan seperti Vallerie. “Itukah yang kaupikirkan?” Vallerie menancapkan pisaunya lebih dalam ke pergelangan tangan Elsa. Pisau mungil yang sengaja ia curi dari dapur rumahnya. “Ya. Kau tidak akan pernah bisa bersaing denganku, Vallerie.” Elsa kembali memberontak, tetapi teman-teman Vallerie menahan tubuhnya lebih kuat. “Diamku memesona sedangkan cantikmu tak berguna. Akuilah.” Kobaran api amarah semakin membesar di mata Vallerie. “Lepaskan dia, aku akan menghadapinya sendiri.” titahnya pada teman-temannya. Vallerie mendorong tubuh Elsa hingga punggungnya menabrak pintu. Ia lalu menampar pipi Elsa lagi dan menyayat tangan Elsa yang lain. Vallerie membuang pisau dan menjambak rambut Elsa. Ia lalu membenturkan kepala gadis itu ke daun pintu. Mengabaikan darah yang menodai seragam keduanya. “Beraninya kau mengatakan hal itu padaku!” Vallerie hendak membenturkan kepala Elsa lagi tetapi tiba-tiba pintu terbuka… Di luar toiltet, Axel merasa ada yang aneh. Tidak biasanya Elsa berada di kamar mandi sangat lama. Ia berinisiatif membuka pintu toilet walau sebenarnya ia ragu. Tidak seharusnya ia membuka toilet wanita. Namun perasaannya mengatakan ia harus membukanya. Saat pintu toilet terbuka Axel terkejut karena Elsa menabraknya dengan sangat keras. Axel menahan tubuh Elsa agar tidak jatuh. Tubuh Axel mundur hingga beberapa langkah. Elsa nyaris tidak sadarkan diri, matanya tertutup rapat. Darah mengalir dari pergelangan tangannya. Juga pipi dan bibirnya. Hidung Elsa juga mengeluarkan darah yang cukup banyak. Seragam Axel penuh darah Elsa. “Axel?” suara Vallerie terdengar kaget saat gadis itu mendapati Axel ada di sana, memeluk tubuh Elsa.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD