Vania mematut penampilannya di cermin dan ia begitu seksi malam ini. Bongkahan bulat di dadanya begitu sangat menggiurkan apalagi bentuknya bulat dan besar nyaris hampir keluar dari penutup bikini yang ia pakai. Ia juga memakai G-string yang membuat belahan pantatnya yang bulat dan besar terlihat menggoda. Penampilan Vania tak seperti anak seusianya. Mata bodyguard dirumah Abra nyaris keluar melihat penampilan Vania yang mengguncang iman mereka.
Abra dan Defni sudah berenang lebih dulu karena terlalu lama menunggu Vania. Mereka asyik bermain air tanpa tau kehadiran Vania dihadapan mereka.
"Kalian tak menungguku lagi? " tanya Vania cemberut. Mata Abra terbelalak saat melihat Vania begitu cantik dan seksi. Ia menelan ludahnya dalam sementara Defni ikut mengagumi kecantikan putrinya.
"Wah anak ibu cantik sekali. Sini sayang berenang bersama kami" ajak ibunya.
Vania melompat ke dalam kolam renang sehingga airnya menyiprat ke wajah mereka. Vania berenang mendekati mereka sedangkan Abra tak bisa mengontrol detak jantungnya yang berdegup kencang. Ia salah tingkah melihat penampilan putri tirinya itu.
Sekian lama berenang Defni ingin kembali ke kamarnya karena mengantuk. Sementara Vania masih betah berenang.
"Sayang temani Vania ya. Kasihan dia sendirian" pinta Defni pada suaminya.
"Iya sayang nanti aku akan menyusulmu" jawab Abra. Defni kembali ke kamarnya dan tinggallah mereka berdua di dalam kolam. Vania merasa ini adalah kesempatan baginya untuk menggoda Abra. Ia ingin lihat apakah Abra adalah pria yang setia. Ia merasa tak bersalah melakukannya karena ibunya dulu juga menggoda Roland tanpa memikirkan perasaannya.
"Papa sini berenang sama Vania" Vania menuntun tangan Abra di dalam kolam renang. Abra menyambut genggaman tangan Vania lalu tiba-tiba Vania merapatkan dadanya yang besar dan kenyal ke dadanya.
"Maaf pa Vania gak sengaja tadi Vania merasa ada sesuatu yang Vania injak dari dasar kolam" Vania beringsut mundur pura-pura tak enak. Abra menahan pinggang Vania dan kembali merapatkan tubuhnya sehingga mereka bisa merasakan deru nafas mereka masing-masing. Vania bisa merasakan bawah Abra menegang dan jemari Abra mengusap bibir Vania hingga Vania memejamkan matanya menikmati sentuhan jemari itu di bibirnya.
"Maaf Vania sepertinya papa mau naik ke atas menyusul mama" Abra tak ingin melakukan lebih karena Vania adalah putrinya sekarang. Ia memilih melampiaskan gairahnya pada Defni istrinya. Vania kesal dan marah karena Abra mengacuhkannya. Padahal ia tau jika Abra sudah mulai terangsang olehnya.
"Aku jadi makin penasaran denganmu papa" gumam Vania sambil tersenyum licik.
Dikamarnya Abra segera membangunkan Defni yang tertidur. Defni mengerjapkan matanya dan tersenyum saat Abra meminta jatah padanya. Dengan buru-buru Abra merobek gaun satin milik istrinya dan segera mencumbu dan memasukkan belalainya yang menegang karena ulah Vania di kolam renang. Pikirannya tertuju pada Vania meski sekarang yang ia pompa adalah Defni istrinya. Pikiran Abra sudah gila kalau lama-lama berdekatan dengan putri tirinya itu.
"Ouh Abra mhhpp ahh yah disitu mhhpp" desah Defni menggila karena tusukan dari Abra dari belakang. Pintu kamar mereka tak tertutup sepenuhnya membuat seseorang mengintip kegiatan panas mereka.
Mata Vania terbelalak saat melihat belalai papa tirinya yang sangat panjang, besar, dan berurat sehingga membuat Defni merintih keenakan. Vania semakin iri saja melihat ibunya itu. Ia ingin sekali berada di posisi Defni.
Tak terasa bawahnya ikut basah saat mengintip pergumulan mereka. Vania juga ikut meremas-remas dadanya dan nafasnya memburu melihat percintaan kedua orang yang sedang berpelu keringat itu. Vania menyudahi aksi mengintipnya dan kembali ke kamarnya.
Di kamarnya Vania masih terbayang-bayang dengan percintaan panas Defni dan Abra. Vania bermasturbasi di kamarnya dengan membayangkan Abra sebagai objek fantasi gilanya.
"Papa... ehmm papa.. ahhh" akhirnya Vania keluar dengan sangat banyak. Ia mengambil tisu dan membuangnya di kotak sampah.
'Aku ingin lebih, aku ingin papa Abra memasukiku ouh aku bisa gila lama-lama begini' gumam Vania yang sekarang mulai terobsesi dengan papa tirinya.
Keesokan paginya Vania mulai bersekolah kembali. Ia turun ke bawah dan melihat orang tuanya sudah menunggu Vania dibawah.
"Good Morning " sapa Vania pada mereka.
"Good Morning too sayang" balas mereka.
Vania mencium bibir Defni dan juga mencium bibir Abra sekilas. Abra kaget saat Vania mencium bibirnya tepat di hadapan Defni.
"Ah maaf Vania sudah biasa begini kalau sama ayah dulu" ucap Vania saat menyadari kecanggungan yang terlihat di wajah Abra.
"Tidak apa-apa kan mas. Vania memang dulu begini denganku dan ayahnya dulu. Apa kamu keberatan? " tanya Defni yang tak marah saat Vania melakukan hal itu.
"Ehm iya tak apa-apa kok" jawab Abra mengusir kecanggungannya. Vania tersenyum dan duduk di samping Abra. Rok yang dipakai Vania terlalu pendek sehingga membuat pahanya yang putih terlihat begitu jelas oleh Abra. Vania menyadari arah pandang papanya dan sengaja melebarkan kakinya dan menyentuh kaki Abra.
"Bu aku mau roti isi cokelat" pinta Vania.
"Iya sebentar" Defni mengoleskan roti dengan selai cokelat dan memberikannya pada Vania.
"Vania nanti bareng papa saja ya kan searah, ibu mau pergi ke supermarket sudah ini dengan supir" ucap ibunya.
"Iya bu" jawab Vania sambil memakan rotinya. Kaki Vania sedari tadi menyenggol kaki Abra sehingga membuat Abra tak nyaman.
Selesai sarapan pagi, Vania berangkat ke sekolah bersama Abra. Vania duduk di samping Abra. Abra bisa melihat kancing baju Vania lepas dua kancing sehingga gundukan bulat itu terlihat apalagi bajunya juga ketat. Rok Vania juga terlalu pendek di atas dengkul dan memperlihatkan pahanya.
"Sayang seragammu kok begitu. Kamu gak bisa pakai baju lebih sopan" tegur Abra karena ia tak suka melihat penampilan Vania yang seksi untuk bersekolah.
"Vania nyaman kok pa" jawab Vania sambil menyilangkan kakinya hingga celana dalam Vania terlihat oleh Abra. Abra menghentikan mobilnya di pinggir jalan. Ia menutupi kaki Vania dengan jasnya.
"Papa tidak suka. Besok kau harus ganti yang lebih sopan bajunya" ucap Abra lalu Vania dengan nakalnya duduk di pangkuan Abra sehingga menduduki belalai Abra yang menegang. Vania menggoyang-goyangkan pantatnya dan menekan belalai Abra hingga Abra mendesis nikmat. Ia menyadarkan dirinya jika Vania adalah putrinya lalu Abra mendorong Vania dari pangkuannya.
"Jaga batasanmu Vania, papa tidak suka" tegur Abra dan menjalankan mobilnya lagi. Vania hanya diam tertunduk malu karena penolakan Abra. Sepanjang perjalanan tak ada sepatah kata pun dari mulut mereka. Hingga mereka sampai di sekolah Vania hanya diam saja dan langsung keluar dari mobil Abra. Abra juga hanya diam saja karena sibuk menata perasaan yang salah yang hinggap di hatinya.
Vania menangis karena ditolak oleh Abra. Ia baru menyadari perasaannya bukan sekadar balas dendam tapi ia juga mulai suka dengan papa tirinya. Tapi Abra tak pernah memberinya celah sedikitpun.
BRUKK
Vania tak sengaja menabrak ketua OSIS bernama Devan. Devan membantu Vania bangkit saat terjatuh.
"Kamu tidak apa-apa kan Vania? " tanya Devan.
"Iya aku gak papa" jawab Vania.
"Lutut kamu berdarah. Ayo aku obati ke UKS" ajak Devan khawatir.
"Biarin aja van gapapa kok" tolak Vania secara halus karena ia tak nyaman berdekatan dengan Devan. Semenjak dia putus dengan Roland hingga pria itu pergi ke luar negeri karena kasus video viralnya, Devan gencar mendekatinya dan meminta Vania menjadi pacarnya. Tapi Vania enggan berhubungan lagi karena ia belum mau pacaran dulu. Ia juga mengganggap Devan hanya sebagai teman tidak lebih.
"Nanti infeksi Vania, kali ini nurut sama aku oke? " Devan memaksanya ke UKS untuk mengobati kakinya yang lecet. Devan melakukannya dengan baik dan menambahkan plester disana.
"Nah sudah selesai. Kamu mau disini dulu? " tanya Devan.
"Ehm iya makasih ya van" jawab Vania.
"Vania..kamu masih nggak mau balas perasaan aku? " tanya Devan penuh harap.
"Gimana ya ehmm aku masih trauma van maafin aku ya" Vania menolak Devan untuk ke sekian kalinya.
"Kasih aku kesempatan van please" Devan memohon sekali lagi. Ia sangat mencintai Vania jauh sebelum Vania berpacaran dengan Roland kadal buntung itu.
"Ehm yasudah" akhirnya Vania menyerah dan menerima perasaan Devan.
"Hah yang bener Vania. Akhirnya kamu mau jadi pacarku" Devan memeluk Vania sedangkan Vania hanya tersenyum kaku.
"Terima kasih Vania. Aku janji akan selalu membahagiakan dan setia padamu" ucap Devan dalam pelukannya.
"Jangan janji nanti kayak si Roland lagi" sindir Vania.
"Jangan samakan aku dengan laki-laki kurang ajar itu. Kami beda kelas sayang. Di spek second kalau aku spek ori" ucapnya bangga memuji dirinya sendiri.
" Hahahah ya terserah kamulah van" Devan menatap wajah Vania yang begitu cantik dimatanya. Ia membelai wajah Vania dan ingin mencium gadis itu. Tapi Vania malah menolehkan wajahnya ke samping. Ia belum siap dengan skinship yang dilakukan oleh Devan.
"Maaf van aku belum siap" ucap Vania tak enak.
"Iya gapapa sayang aku ngerti kok" Devan memakluminya dan ia yakin lama-lama Vania terbiasa dengan sentuhannya.
"Pulang sekolah nanti aku antar ya"
"Boleh"
"Tapi sebelum itu kita main dulu ke mall yuk. Banyak wahana permainan baru disana. Kamu pasti suka"
"Oke van" Vania sepertinya butuh waktu keluar dengan temannya. Jadi Vania menyetujui ide dari Devan.
Sepulang sekolah mereka pergi ke mall dan Vania lupa mengabari ibu dan papanya. Vania main bersama Devan di time zone hingga lupa waktu dan tak terasa hari sudah malam. Vania juga makan dan nonton film di bioskop bersama Devan. Hari sudah semakin gelap dan Devan mengantar Vania pulang kerumahnya.
Sesampainya di depan rumah, Vania turun dari mobil bersama Devan. Hal itu dilihat oleh Abra yang sedari tadi mencari Vania yang belum pulang kerumah. Devan mengecup kening Vania dan tak melihat jika Abra memperhatikan mereka dari jauh. Entah mengapa Abra marah dan mendekati mereka dan memukul wajah Devan.
"Berani sekali kau menyentuh putriku!! " seru Abra dan menghajar Devan lagi.