TAN:
Di saat semua orang sedang menikmati pesta closing workshop khusus para pemegang jabatan Manajer, gue malah menyendiri di Pantai Pandawa, Bali. Gue di sini bukan untuk liburan, tapi sedang memikirkan jabatan baru gue, di perusahaan tempat gue bekerja selama enam tahun terakhir.
Sampai detik ini, gue masih terdaftar sebagai karyawan teladan di salah satu perusahaan besar yang bergerak di bidang pengolahan kayu lapis dari bahan baku kayu sengon. Kantornya berpusat di ibu kota Negara, Jakarta, dengan nama perusahaan PT. Natanegara Plywood. Perusahaan ini merupakan salah satu anak perusahaan milik Martin Eduardo Natanegara, sang raja developer, pengusaha property sukses dan kaya raya se-Asia Tenggara. Gue bekerja di perusahaan ini karena memang nggak ada pilihan lain. Gue bersyukur karena ada bokap sahabat gue yang membantu gue masuk ke eN Plywood--kependekan dari Natanegara
Plywood. Gue kesulitan melamar kerja di perusaaan lain, terutama yang berhubungan dengan kantor atau instansi pemerintahan. Gue terkendala SKCK. Nama gue sudah tercoreng di kantor kepolisian. Belum lagi gue cuma seorang Sarjana Teknik Informatika yang bisa dikatakan telat lulus. Bagus dong gue kuliah strata satu Teknik Informatika lima tahun, dengan IPK yang pas, pas-pasan banget malah. IPK 2,8 itu masuk kategori pas lah ya. Woyyy, gue bukan anak FISIP apalagi Ekonomi, yang gampang banget mendapatkan IPK di atas tiga apalagi predikat cumlaude. Nasib gue 'gini-gini amat' sih, ya.
Meski karier gue cukup mapan, tapi kalau soal asmara nggak pernah mulus tanpa halangan. Di situ gue merasa heran. Jangan ditanya lagi berapa banyak perempuan yang gue bikin patah hati, bahkan ada yang sampai nyaris bunuh diri. Pernah juga ada perempuan yang bikin gue jadi stupid man karena rela melakukan apa saja demi dia -gue gitu kalau saking cintanya sama cewek- dan berakhir gue merasakan yang namanya broken heart. Dia membuat hati gue hancur berkeping
keping. Bahkan sempat bikin gue merasa trauma sama yang namanya jatuh cinta.
Namanya Gavanya, gue biasa panggil dia Anya. Perfect woman kalau gue bilang, karena di mata gue, dulu, dia itu Miranda Kerr-nya Indonesia. But she broke my heart, for the first, dalam hidup gue. Gue memergoki dia selingkuh, man. Parahnya, nih, gue lihat dengan mata kepala gue sendiri dia making out sama cowok lain di dalam mobil. f**k, banget kan? Yeah, mungkin itu yang namanya karma terjadi di depan mata.
Gue bukan playboy cap kapak kok, yang sekali pacaran bisa ngejalin hubungan dengan tiga sampai empat perempuan sekaligus. Gue tuh cuma sering gonta ganti pacar. Kalau gue udah putus sama satu cewek, baru gue cari cewek baru lagi, emang sih, nggak membutuhkan waktu lama bagi gue untuk nyari pengganti. Ngenes-nya, gue sudah setahun ini menyandang status jomlo. Untungnya kerjaan sibuk banget, jadi gue sama sekali nggak ada pikiran untuk ngejalin yang namanya 'relationshit' yang gue yakin membutuhkan waktu dan tenaga lebih untuk b******a, eh,
maksud gue bermain cinta. Apaan banget istilah gue-bermain cinta.
Pernah saking desperate-nya sama yang namanya perempuan, gue sampai punya pikiran pengin menikah dengan seseorang yang belum pernah gue kenal sebelumnya, yang bertemu dia secara nggak sengaja dan bisa membuat gue fall in love at first sight. Lah, pertanyaannya, memang ada? Di mana gue bisa mendapatkan perempuan seperti itu? Mikir keras.
"Tan, lo nggak ikut party? Ceweknya cakep-cakep, nih."
Itu suara Fandi. Dia sahabat gue dari zaman kuliah, bahkan sampai sekarang jadi teman sekantor. Beuh, jangan dikira selama ini hubungan persahabatan kami langgeng aja, sama saja kayak persahabatan pada umumnya, jatuh bangun, ribut, berantem, sampai nggak tegur sapa. Tetapi ada satu hal yang nggak pernah gue ributin dari dulu dengan sahabat gue, yaitu soal perempuan. Karena prinsip kami soal perempuan adalah nggak boleh 'makek' bekas teman sendiri.
"Ntar nyusul, gue pengin liat sunset dulu, Fan," jawab gue dengan suara nggak kalah kencang.
Fandi terbahak. "Ngapain lo? Berdoa sama Dewa Matahari buat minta jodoh lo datang pas matahari terbenam?"
"Sialan, lo kate gue murtad!" umpat gue kesal. Fandi pergi setelah menerima sedikit makian dari gue.
Gue merebahkan badan di atas pasir pantai yang mulai dingin sore ini, menjelang matahari terbenam. Coretan garis-garis indah di langit sebagai efek matahari yang hendak 'pulang' bikin gue betah berlama-lama diam di sini. Ketika mulai memejamkan mata, gue merasa seperti ada orang berada di samping gue. Setelah kembali membuka mata, gue mendapati tubuh seorang wanita paruh baya sedang duduk menghadap laut. Gue jelas terkejut dan langsung terduduk di samping wanita itu.
"Anda siapa?" tanya gue sopan dan bersikap santun, apalagi yang gue hadapi adalah makhluk ciptaan Tuhan paling sempurna ribetnya, dialah wanita.
Wanita tersebut hanya menoleh dan menatap gue dengan tersenyum. Wajahnya masih cukup cantik di usianya yang mulai menua. Seumuran, sih, sama nyokap, umurnya kurang lebih 50-an, tapi masih kelihatan lebih muda nyokap gue. Tubuhnya yang nggak terlalu gemuk dibalut kebaya berwarna merah muda, kain batik Bali yang menutupi dari pinggul hingga mata kaki, serta selendang polos yang melingkar di pinggulnya, pakaian khas wanita Bali saat melakukan sembahyang. Di atas daun telinga kirinya, tersemat sebuah bunga kamboja putih. Rambutnya yang panjang di kepang dan tersampir di atas pundak kanannya.
"Nama saya Mayang, saudara bisa panggil saya Bu Mayang," jawab beliau. Suaranya lembut, terdengar sangat keibuan.
"Saya Dastan," balas gue seraya menyodorkan tangan dan wanita itu menerimanya dengan ramah.
"Ini sudah hampir senja, apa yang kau lakukan di pantai ini anak muda?"
"Saya mau menikmati keindahan sunset, bu Mayang," jawab gue dengan sopan.
Bu Mayang tersenyum. "Apa kau mau mengirimi doa kepada Sang Dewa Surya?"
"Oh, tidak bu, saya muslim," jawab gue lagi.
Gue nggak marah dibilang seperti itu karena memang bentuk mata gue nggak bisa bohong, cenderung sipit. Apalagi kulit gue putih banget. Kulit gue bahkan lebih putih daripada kulit adik perempuan gue. Jadi, wajar saja banyak orang yang mengira kalau gue ini bukan seorang muslim. Malah gue dulu dipanggil Oppa oleh teman SMA adik gue. Awalnya gue ngamuk. Enak saja gue masih muda dan ganteng dipanggil opa. Namun, setelah tahu itu sebutan untuk laki-laki muda khas Korea, pasrah deh gue dipanggil oppa.
"Ya tidak mengapa, kamu berdoa untuk Tuhanmu saja kalau begitu. Ucapkan syukur karena masih diberi kesempatan untuk menikmati keindahannya senja ini," ucap Bu Mayang selanjutnya.
Bu Mayang mengalihkan tatapannya ke arah matahari yang mulai menampakkan warna jingga, seperti buah jeruk Sunkist di ufuk barat. "Apa kau sudah mempunyai cinta sejati anak muda?" Tiba-tiba bu Mayang bertanya seperti itu.
Gue ketawa dalam hati, setahun jomlo yang gue tahu tentang cinta cuma Cinta dan Rangga, gue tahu karena adik perempuan gue nodong minta ditemenin menonton serial AADC2--film yang sudah bikin gue pengin banget bilang b**o buat para manusia gagal move on--dan satu lagi yang masih gue ingat, b******a di ranjang.
"Saya bahkan tidak tahu apa itu cinta sejati, Bu," jawab gue sambil tertawa lirih.
"Kalau kau ingin tahu apa itu cinta sejati dan menemukan keberadaannya, kau bisa mengikuti klu dan syarat dari saya. Anggap saja ini klu dari langit."
Klu? Syarat? Jangan sampai juga berlaku ketentuannya, kayak belanja di hippermart waktu dapat
kupon belanja atau pada saat menukar point di salah satu provider telepon cellular.
"Oya? Apa syarat itu juga bisa membantu saya menemukan gadis yang bisa saya cintai dan mencintai saya dengan tulus?"
"Iya, bisa dibilang begitu-" jawab Bu Mayang dengan sedikit nada menggantung.
Gue penasaran. "Lalu apa syaratnya, bu Mayang?" tanya gue nggak sabaran.
Jangan sampai klu-nya membangun 1000 candi, kayak yang dilakukan Bandung Bandawasa demi menaklukan hati Roro Jonggrang. Ogah banget. Mending investasi apartemen atau tanah. "Tiap sepuluh tahun harga property di sini naik sepuluh kali lipat, Pak", pembawa acara di salah satu stasiun televisi swasta bilangnya gitu.
Bu Mayang berdeham lalu bertanya, "asal kamu dari mana anak muda?"
"Saya dari Jakarta. Besok pagi-pagi, saya akan kembali ke Jakarta."
Bu Mayang mengangguk beberapa kali. "Lakukanlah sebuah perjalanan dengan melalui jalur darat dengan alat transportasi yang tidak terhambat oleh alat transportasi lain dan memiliki jalur sendiri untuk melakukan rute perjalanannya. Syarat perjalanan itu, harus dimulai sebelum matahari terbit dan berakhir saat matahari belum berada di tengah langit."
"Hah? Ribet dong, bu? Emang apa alat transportasinya?" tanya gue sambil menggaruk-garuk kepala sendiri.
Gue mendadak menjadi d***u saat ini. Otak gue seketika buntu dan nggak bisa dipakai untuk berpikir. Sampai-sampai gue seperti kesulitan untuk memikirkan nama alat transportasi yang dimaksud bu Mayang.
"Pikirkan saja anak muda. Kau akan bertemu dengannya saat matahari terbit besok pagi. Kau akan berjumpa dengan wajah yang cerah bagaikan matahari terbit dan menenangkan bagaikan matahari terbenam.
Takdir yang akan menentukan langkah selanjutnya setelah pertemuan itu," ujarnya dengan suara lembut.
"Kalau kamu melihat wajah yang sama itu lebih dari tiga kali di waktu yang berbeda dan tanpa rencana, maka bisa dipastikan dia akan menjadi jodoh dan takdirmu. Dan satu syarat lagi, kau tidak boleh menunda perjalanan itu lebih dari 24 jam dari sekarang," imbuhnya.
Gue terpejam sejenak untuk memikirkan semua perkataan bu Mayang tadi, yang menurut gue nggak masuk akal. Saat gue membuka mata, bu Mayang sudah nggak ada. Gue beranjak dan berjalan mencari keberadaan bu Mayang. Ketika gue tanya orang-orang di sekitar, ternyata nggak ada yang melihat gue sedang berbincang-bincang dengan wanita paruh baya, seperti ciri-ciri yang sudah gue sebutkan. Mereka yang gue tanya malah melihat kalau gue hanya tiduran sendiri daritadi di atas pasir pantai. Sekembalinya ke hotel, gue menceritakan kejadian tadi pada Fandi.
"Jalur darat, tidak menghambat transportasi lain dan punya jalur sendiri? Kereta api lah!".
Fandi mendadak girang karena berhasil menebak klu yang diberikan oleh bu Mayang, persis seperti pemenang kuis undian satu Milyar. Bodohnya, kenapa gue nggak kepikiran pada kereta api tadi, ya? GODDAMMIT!!! Gue merasa jadi makhluk paling b**o di depan Fandi. Sekarang dia tertawa penuh kemenangan.
"Mana bisa dari Bali naik kereta api ke Jakarta. Nanti di selat Bali, penumpangnya disuruh berenang gitu?" Gue tertawa berusaha mematahkan jawaban Fandi.
Di saat gue tertawa, Alvin, sahabat gue yang lain datang dan ikut nimbrung dengan obrolan kami. "Siapa yang mau naik kereta api dari Bali? Elo Tan? Dasar b**o lo." Alvin tertawa meledek.
"Makanya sesekali travelling dengan jalur darat dong. Ke mana-mana naik pesawat dan mobil mewah, jadi nggak tau kalau ada banyak alat transportasi lain yang lebih menyenangkan dari itu," ucapnya diiringi senyum miring yang menyebalkan.
Oke, Alvin memang salah satu teman gue yang hobinya travelling, so kali ini, dia punya hak untuk mengatai gue b**o. Berbeda dengan gue yang hanya diperbudak oleh pekerjaan dan kemudahan teknologi. Di otak gue, adanya cuma kerja, kerja dan kerja. Bahkan orang-orang terdekat gue bilang, kalau hidup gue kelewat serius dan tegang karena memikirkan pekerjaan yang nggak pernah ada habisnya. Pada nggak tahu saja kalau yang bikin gue 'tegang' itu sepasang p******a, bukannya pekerjaan. Hahaha ... Gue nggak pernah malu untuk mengakui, kalau gue ini pecinta p******a. Di saat laki-laki lain, termasuk sahabat-sahabat gue tergila-gila dengan paha dan b****g, gue bisa puas hanya dengan sepasang p******a.
"Ya terus apa dong?" Gue bertanya sekaligus menceritakan klu dari langit yang diberikan oleh bu Mayang tadi kepada Alvin.
"Bener kata Fandi, tuh. Jawabannya emang kereta api. Lo bisa memulai rute perjalanan dari Banyuwangi atau Jember, sampai Surabaya saja kalau harus berhenti sebelum tengah hari. Lo bisa pesen tiketnya online di
website kereta api. Lo cek tuh jadwal kereta api di sana. Kalau lo mau ketemu jodoh lo setelah matahari terbit, berarti lo harus naek kereta subuh, Tan."
Alvin yang jarang bicara akan selalu menjadi cerewet kalau diajak mengobrol soal travelling. Dia lalu mengambil laptop gue dan membantu memesan tiket online. "Nah ini kita udah masuk website-nya PT.KAI. Lo bisa cek gerbong kereta mana yang kosong, sesuaikan sama jadwal yang lo pengin. Di sini juga bisa booking tiket langsung, 'kan sudah ada harga tiket nya, noh, " ucap Alvin.
Alvin menyerahkan laptop ke gue. Gue mulai membaca dengan seksama laman yang telah dibuka oleh Alvin. Fandi ikut melihat laptop dari samping gue. "Wah, dari Banyuwangi kereta paling pagi jam sepuluh. Kalau mau subuh adanya dari Jember. Kereta kelas ekonomi. Logawa berangkat pukul lima, sampai Surabaya pukul setengah sembilan," ujar Fandi yang terlihat paling antusias kali ini.
"Ogah gue naik ekonomi, panas, berisik, nggak ada AC. Minimal bisnis kek gitu," protes gue dan lagi-lagi mendapat toyoran gratis dari Alvin.
"Eh, buka mata lo makanya. Kereta api sekarang nggak kayak dulu. Biar kelas ekonomi juga gerbongnya tuh bersih, ber-AC, nggak ada pedagang yang berisik di dalam gerbong," jelas Alvin dengan tampang mengejeknya yang khas dan mengundang untuk ditonjok.
"Lo bisa berangkat malam ini, supaya besok bisa sampai Jember sebelum kereta ke Surabaya berangkat. Saran gue, mending naek travel aja. Kalau pakek pesawat berat diongkos, Man." Alvin menerangkan dengan sabar.
Setelah selesai urusan tiket kereta api, gue segera bersiap dengan tersenyum pasti. Perjalanan pertama gue dengan kereta api ini akan membawa gue bertemu dengan cinta sejati dan menemukan perempuan yang akan menjadi pasangan hidup gue selamanya. "Ngayalnya kejauhan lu, jalanin aja dulu woyyy!!!"
Teriakan setan bertanduk dan membawa garpu tala di otak gue.
(*)
Gue sekarang di dalam mobil travel yang sedang melaju menuju kota Jember. Gue tertidur sepanjang perjalanan karena rasa kantuk menyerang. Sejak pagi tadi, gue nggak bisa istirahat sama sekali. Seseorang mengguncang bahu gue dengan kuat.
"Mas, mas sudah sampai stasiun Jember."
Shit!!! Seketika gue terkesiap lalu melompat keluar dari mobil travel. Gue berlarian menuju pintu masuk stasiun. Gue harus melakukan check-in dulu sebelum mengantri bersama penumpang lain untuk menuju gerbong kereta api. Setelah menemukan nomor bangku sesuai tiket, gue langsung mendaratkan b****g. Benar kata Alvin, kereta api kelas ekonomi sekarang lebih bersih, tertib dan nyaman. Big thanks untuk bapak Direktur Utama PT. KAI dan Menteri Perhubungan atas kerja kerasnya dalam memperbaiki sarana dan prasarana
kereta api Indonesia sehingga menjadi lebih baik sekarang.
Langit mendung dari kaca jendela serta suasana gerbong yang masih sepi memang mendukung banget untuk melanjutkan tidur. Laju roda kereta api yang beradu dengan batu di atas lintasan rel kereta, menjadi lagu pengantar tidur paling merdu buat gue pagi ini.
---
^vee^