Bab. 2

2012 Words
Sepasang tangan itu masih setia memeluk nisan yang berada tepat di sampingnya. Tak pernah terpikirkan sedikitpun jika nama yang terukir dalam batu itu adalah nama orang yang paling ia kasihi. Hujan airmata juga rasanya belum mau reda. Masih tak ingin mempercayai keadaan yang kini dilaluinya itu. Kenapa Tuhan tidak adil! Harusnya saat ini adalah hari yang paling membahagiakan untuk mereka berdua. Harusnya dia dan Adam akan menjalani prosesi sakral akad nikah. "Rissa, istighfar Nak. Ikhlaskan kepergian Adam, biar dia juga tenang disana." lamat-lamat Rissa mendengar suara yang tak kalah serak akibat tangis yang sama sepertinya. "Kenapa Mas Adam pergi secepat ini? Mas Adam ingkar janji sama Rissa. Harusnya sekarang mas Adam di sini sama Rissa, mas Adam kenapa jahat." Rissa terus saja meracau, wajahnya kuyu dan airmata terus menggerus permukaan pipinya. Seakan tak terima dengan takdir yang menghampirinya kini. Seluruh embusan napasnya bahkan ingin mengingkari apa yang terjadi saat ini. Dua pasang mata itu menatap sendu pada sosok gadis yang sedang meratap di samping tanah yang masih basah. Hatinya trenyuh menyaksikan pemandangan yang begitu menyedihkan. Relung hati lelaki itu diruangi rasa bersalah. Andai saja malam itu ia tidak larut akan rasa bimbang yang berlebih,dan andai saja dia lebih berhati-hati lagi, pasti saat ini tidak akan menemui situasi seperti ini. "Maafkan saya, semua ini salah saya," ucapnya menunduk di samping gadis itu. Matanya tak berani memandang ke arah lawan bicaranya. Sendu dan merasa bahwa dialah penyebab terjadinya semua hal menyedihkan hari ini. "Saya siap bertanggung jawab jika kamu ingin membawa kasus ini ke ranah hukum, demi Allah malam itu saya benar-benar tidak tahu dan tidak sengaja." sambungnya lagi menceritakan tragedi malam tadi. Rissa bergeming. Ia tak tertarik dengan pembicaraan lelaki asing di sebelahnya. Hatinya masih berduka, dan jiwanya kini tengah dibaluti rapuh. Semua orang sudah meninggalkan area pemakaman, meninggalkan Rissa dan lelaki yang menabrak Adam itu masih berada di sana. Sekian lama tetap dalam geming masing-masing. Satya seolah kehabisan kata untuk ia ucapkan. Nyeri merasuk ulu hati lelaki itu. Sudut matanya ikut memerah, tapi sekuat tenaga berusaha terlihat biasa saja, meski ada cekat dalam tenggorokan Satya. "Bisakah tinggalkan saya sendiri. Saya ingin sendiri saat ini!" Rissa membuka suara, namun ia mengusir lelaki itu. Lebih tepatnya ia memang ingin sendiri untuk saat ini. Kesendirian akan lebih menenangkan untuknya. Satya menggeleng. Tanda dia tak setuju dengan permintaan gadis itu. "Tidak. Saya akan menunggu kamu di sini. Sebelum pergi Adam berpesan pada saya agar selalu menjaga kamu." Satya tetap pada pendiriannya, dia masih berdiri di samping Rissa. Tak menjawab, gadis itu membiarkan Satya tetap berada di sampingnya.. Cukup lama keduanya larut dalam bisu masing-masing. Hanya sesekali terdengar isakan dari Rissa. Telaga airmata seolah tak ingin menyusut dari pelupuk gadis itu. Siang ini semakin terik, sudah lebih dari satu jam mereka berdiam tanpa ada yang bersuara di pusara Adam. Kali ini Satya harus memberanikan diri berusaha membujuk gadis itu untuk meningglkan area pemakaman. Tidak baik juga terlalu lama meratapi kepergian seseorang yang telah tiada. "Rissa, lebih baik kita pulang sekarang. Biar saya mengantar kamu sampai rumah. Adam juga pasti sedih jika harus melihat kamu yang seperti ini." lirih Satya mulai meyakinkan Rissa. Memanggil nama gadis itu dengan nada yang bergetar diiringi rasa campur aduk mengoyak perasaannya. Gadis itu masih tak menyahut. Rissa malah semakin terisak-isak, sesekali sorot netranya menatap lekat pada Satya. Satya mengamati. Dilihatnya sang gadis sedikit merunduk, lalu mengecup pelan batu nisan bertuliskan nama Adam, "Mas Adam yang tenang ya di sana, Rissa di sini baik-baik saja. Rissa pasti akan selalu mengunjungi mas Adam, Aku pulang dulu ya Mas. Beristirahatlah dengan tenang, aku mencintaimu Mas." nada suaranya lembut dan bergetar. Sekali tetesan bening ikut luruh menimpa tanah bertabur bunga yang masih segar. Hati Satya teriris rasanya mendengar ungkapan cinta dari Rissa untuk Adam. Kembali dia merutuk serta mengumpat dirinya sendiri dalam hati. Bagimana bisa ia menjadi penyebab dua pasang kekasih harus berpisah untuk selamanya. Ah, andai saja dia bisa memutar waktu, pasti malam itu Satya tidak ingin mengalami hal ini. Tetapi menggugat apa yang sudah terjadi juga tidak ada gunanya. Yang ada dalam benak Satya saat ini hanya satu; menjalakan amanah Adam padanya dengan sebaik-sebaiknya, meski ia sendiri belum tahu dan yakin tentang hal tersebut. ___ Rissa menurut saat Satya membimbingnya ke mobil. Tak ada penolakan darinya. Pun dia juga masih setia dengan kebisuannya. Sepanjang perjalanan tatapan gadis itu hanya kosong. Satya beberapa kali melirik ke arahnya, ingin mengajak berbincang namun lelaki itu bingung harus memulai dari mana. Canggung. Cemas. Rasa bersalah. Takut. Dan gugup. Semua rasa itu menginvansi jiwa Satya. "Apa kamu sudah makan? kalau belum, kita bisa mampir dulu ke restauran." Satya merasa pertanyaannya saat ini sangat tidak tepat. Mana ada orang sedang berduka bisa dengan mudah merasa lapar. Rasanya nafsu juga telah ikut terkubur lalu enyah dalam diri. Satya menyadari jika dia telah salah memulai percakapan. Benar saja. Mata gadis itu hanya menatap tajam ke arahnya tanpa memberi sepatah jawaban pun. Rissa beberapa kali menarik napasnya dalam-dalam. Angan dan pikirannya masih berkelana pada sosok yang kini tengah istirahat di keabadian. Matanya hanya melirik tajam ke arah Satya saat lelaki itu menawarinya untuk makan. Bagaimana mungkin Rissa mempunyai selera makan saat hatinya sedang diselimuti kabut duka seperti ini. "Maaf Rissa, sepertinya Saya salah bicara. Baiklah, kita langsung pulang saja," sahut Satya dengan cepat saat sadar jika Rissa saat ini tidak ingin apapun selain ingin cepat kembali ke rumahnya. __ Tiga puluh menit mereka berada di mobil dalam saling gening. Lalu masing-masing larut dalam angan dan pikirannya. Mobil Satya memasuki sebuah pekarang rumah yang lumayan luas. Rumah dengan aksen jawa kuno serta halaman yang nampak asri karena banyaknya pohon yang tumbuh dengan rindang. Melangkah pelan dengan beriringan. Lamat-lamat keduanya mendengar suara perbincangan dari dalam ruang tamu. "Bagaimana ini Bu? Bapak tidak kuat rasanya jika harus menanggung malu, apalagi undangan sudah disebar, dan semua persiapan juga sudah selesei. Cobaan apa lagi ini Bu." "Sabar Pak, kasihan Rissa kalau kita membahas hal ini sekarang. Pasti anak gadis kita itu sedang terluka hatinya saat ini." Rissa urung melangkahkan kakinya ke dalam rumah, sontak Satya ikut memaku langkah. Indera telinga mereka menangkap pembahasan kurang memgenakkan. Setetes bening sudah lolos begitu saja dari sudut mata Rissa. Satya menoleh. Ingin sekali tangannya terulur menghapus buliran yang menetes, tapi takut dikatai lancang. Rasa bersalah kembali menyeruak dalam hati Satya. Lelaki itu memejamkan matanya sejenak, seolah mencari jawaban atas apa yang di dengarnya kini. Ada sedikit rasa prihatin dari hati Satya. Harusnya di saat situasi begini, kedua orangtua Rissa bisa menjaga hati putri mereka. Bukan malah menambah beban. "Mau ditaruh dimana muka Bapak ini, apa kata orang dan keluarga nanti Bu?" Lagi Satya memasang telinga sebagai pendengar yang baik. Konfrontasi dari bapaknya Rissa menyeruak memenuhi otak Satya. "Sabar Pak, jangan emosi. Kita masih berduka, Rissa pasti sedih kalau mendengar ucapan Bapak." bu Rumi mencoba menenangkan suaminya. "Bapak punya ide Bu, agar kita sekeluarga terhindar dari rasa malu." ucapan pak Rahmat sontak membuat bu Rumi menatap suaminya itu bingung. Pun Rissa dan Satya yang masih berdiri di luar refleks saling berpandangan mata saat mendengar kata ide dari mulut pak Rahmat. "Maksud Bapak ide apa?" tanya bu Rumi penasaran. "Kita jodohkan saja Rissa dengan Badrun, kita tahu kan Bu, kalau Badrun itu sudah kama suka sama Rissa, pasti dia tidak akan menolak kalau kita minta untuk menikahi anak gadis kita." Rissa menggeleng kuat saat mendengar ide yang dicetuskan bapaknya. Satya bisa melihat raut penolakan yang teramat dari wajah sendu itu. Raut yang menyiratkan ketidaksukaan akan ide dari orangtuanya saat ini. Seketika Rissa merasa lututnya lemas, saat tahu ide apa yang ia dengar dari bapaknya. Kiamat sudah rasanya hidup gadis itu. Batok kepalanya terasa sakit bagai dihantam godam, darahnya mendidih mendengar niatan yang menurutnya-gila itu. Bagimana gadis itu tak merasa hancur, saat lelaki yang harusnya meminangnya esok hari baru saja dikebumikan. Dan sekarang kedua orangtuanya sudah mempunyai rencana diluar nalarnya. Siapa yang tak kenal dengan Badrun. Pemuda satu kampung, atau lebih tepatnya anak pak Kades setempat. Bukan rahasia umum lagi jika sejak di bangku sekolah dulu Badrun selalu mengejar-ngejar Rissa. Bukan tak mau menanggapi, tapi Rissa memang sangat tidak respeck dengan sifat serta kelakuan lelaki itu. Lelaki yang gemar berbuat semenah-menah serta menindas yang lemah dengan mengatasnamakan jabatan bapaknya. Selain itu juga Badrun terkenal gemar mabuk serta berjudi. Oh, alangkah malangnya nasib Rissa jika harus jatuh ke tangan lelaki macam itu. Rasanya lebih baik ia menyusul Adam saja ke alam bhaka daripada harus bersuamikan lelaki yang tak punya pegangan iman dalam hidupnya. Tetes-demi tetes pun terus saja mengaliri wajah Rissa. Membungkam erat mulutnya dengan kedua tangannya untuk meredam isakan agar tak terdegar oleh kedua orangtuanya. "Lebih baik Aku mati saja daripada harus berjodoh dengan Badrun," ucapnya tanpa sadar terdengar jelas oleh Satya. Satya menatap ke dalam bola mata gadis itu. Ada gurat kesakitan disana. Tersirat luka yang mendalam, dan Satya tidak bisa menampik kenyataan bahwa ialah yang bertanggung jawab atas luka yang tercipta. Perlahan Satya mendekati Rissa. Tangannya terulur menghapus air yang masih menetes. Kepalanya menggeleng pertanda ia tak suka melihat gadis itu terus-terusan meratap. "Jangan menangis terus, tenanglah." "Bagimana aku bisa tenang! hidupku sedang diambang kehancuran saat ini, lebih baik Aku pergi untuk selamanya daripada harus menikah dengan Badrun." Satya berulang kali mendengar Rissa terus saja meracau saat teringat bahwa kedua orangtuanya berniat menikahkan gadis itu dengan Badrun. "Tolong, jagalah Rissa. Cintailah dia, Aku titipkan Rissa.." Memori Satya kembali memutar saat dimana detik-detik lelaki yang tak sengaja ia tabrak itu mengembuskan napas terakhir. Lelaki itu berpesan agar Satya menjaga Rissa. Hati Satya gamang seketika. Satya paham bahwa amanah harus dilaksanakan. Sekarang Rissa menjadi tanggung jawab yang harus ia tepati. Akan tetapi sudut hatinya yang lain telah terisi dengan satu nama, Kirana. Bagimana nanti akan hubungannya dengan Kirana jika saat ini ia harus berkomitmen menjaga Rissa. Semua kejadian malam itu kembali berputar dalam otak Satya. Seperti kaset rusak yang tak mau berhenti. Mulai dari acara pertunangannya dengan Kirana, nasihat Ghaly, hingga rasa bimbang yang muncul, dan kejadian naas yang sama sekali tak disangkahnya malam itu. "Tenanglah Rissa, Saya janji sama kamu, kalau kamu tidak akan menikah dengan lelaki bernama Badrun itu." Satya sendiri belum yakin sepenuhnya saat berucap di depan Rissa. Tetapi seperti ada magnet yang menggerakkan dia untuk berkata demikian. Jiwa lelakinya muncul, bersiap melindungi Marissa. Raut Rissa seketika berubah saat mendengar kata-kata dari Satya. Antara bingung dan tidak tahu harus berkata apa dengan maksud lelaki yang baru dikenalnya itu. Matanya menyorot ke dalam netra Satya, menyiratkan tanya besar. "Apa maksud Mas?" Satya tak menjawab pertanyaan Rissa. Tangan lelaki itu meraih tangan Rissa, mengandengnya masuk ke dalam rumah. Entah keputusan yang ia ambil kini sudah tepat atau belum, tapi menyelamatkan hidup seseorang yang sudah ia renggut bahagianya saat ini lebih penting menurut Satya. "Assalamualamulaikum, Bapak, Ibu." Satya mengucap salam saat sudah sampai di depan kedua orangtua Rissa. "Waalaikumsalam, Rissa.." sahut pak Rahmat dan bu Rumi bersamaan. Kedua orang tua Marissa menatap kaget. Bibir pak Rahmat mengatup rapat, lalu wajah bu Rumi juga diselimuti rasa cemas. "Maaf sebelumnya Pak, Bu. Saya Satya. Jika ada orang yang harus dipersalahkan atas apa yang terjadi hari ini, itu adalah Saya. Semua terjadi karena kelalaian Saya." Satya memperkenalkan diri serta menjelaskan jika dialah penyebab meninggalnya Adam. Tidak peduli lagi kalaupun nantinya kedua orangtua Rissa tidak terima dan menjebloskan Satya ke dalam ranah hukum. "Sudalah Nak Satya, kami paham yang terjadi hanyalah sebuah kecelakaan. Tanpa ada unsur kesengajaan. Kami juga sudah mengikhlaskan kepergian Adam. Jadi nak Satya tidak usah merasa bersalah," pak Rahmat cukup bijak rupanya menanggapi kejadian hari ini. Satya menghela napas lega, setidaknya lelaki paruh baya itu tidak menyudutkan atau membencinya seperti yang sudah ia cemaskan. "Sekali lagi Saya meminta maaf jika tadi tanpa sengaja mendengar percakapan Bapak dan Ibu. Sepertinya Bapak dan Ibu tidak perlu menikahkan Rissa dengan lekaki lain..." Satya menjeda ucapannya sejenak. Mengumpulkan segenap hati untuk keputusan yang ia ambil. "Saya yang akan menikahi Rissa." sambung Satya lagi di depan kedua orangtua Rissa. Mata Satya terpejam rapat usai berucap. Jika ditanya, kapan dia merasa dia bang kebimbangan yang dasyat; jawabannya adalah saat ini. Bibirnya berucap akan menggantikan Adam menikahi Rissa, tetapi hatinya bingung bagaimana nanti hubungannya dengan Kirana yang saat ini sudah berstatus tunangannya. ########
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD