Hari wisuda anakku
Teganya selama 20 tahun lebih kau menyembunyikan rahasia itu.
*
Sudah dua puluh tahun aku sembunyi di balik senyum dan kepura-puraanku, aku berdiri, bertahan kuat seperti karang yang diterjang ombak padahal sesungguhnya aku tidaklah lebih dari kapas yang rapuh. Dua puluh tahun lebih pernikahanku dengan Mas Faisal, 20 tahun lebih dengan 3 orang anak yang pintar dan berprestasi. Dari luar aku terlihat sebagai istri yang baik-baik saja tapi di dalamnya aku hanya bergelimang luka dan penderitaan, tiada hari tanpa menangis dan kecewa, tiada hari tanpa luka dan penderitaan. Akulah, wanita berkalung luka.
Jika dicari jawabannya mengapa aku bisa seperti ini maka biar kutuliskan kisah sedih hidupku.
*
Hari itu kuantarkan putraku ke jenjang hidupnya dari seorang remaja yang bergantung kepada orang tuanya menjadi seorang pria dewasa yang akan masuk ke dunia kerja. Di hari wisuda anakku, di momen kami seharusnya sangat bahagia di situlah aku mendapatkan jawaban Mengapa perubahan sikap suamiku menjadi begitu signifikan dalam beberapa tahun terakhir.
Putra pertamaku bernama Heri Pratama, aku bangga memilikinya sebagai putra yang cerdas dan berprestasi. Hari itu hari dia wisuda, kami sekeluarga datang dengan baju yang seragam, berharap kami akan membuat sebuah kenangan manis dalam satu frame foto dengan baju yang sama, dengan senyum yang hangat dengan kekompakan sebagai satu keluarga yang utuh dan bahagia. Tapi, entah kenapa tiba-tiba suamiku ingin pergi lebih cepat sebelum acara itu berakhir.
Dia terlihat menerima telepon dari seseorang lalu menjadi panik. Sehari sebelumnya itu adalah ulang tahun Heri sekaligus anniversary pernikahan kami yang ke-24. Sebenarnya aku dan Mas Faisal sudah berada di usia yang hampir separuh baya. Tugas kami hanya fokus kepada anak-anak, tugas kami adalah saling mencintai dan membimbing putra-putri kami untuk sukses kedepannya, mengantarkan mereka ke setiap jenjang kehidupannya, hingga mereka bisa bahagia, hingga kami pun bisa meninggalkan dunia ini dengan tenang.
Tapi semua itu hanya harapan, semua itu hancur luluh, berantakan setelah apa yang terjadi selanjutnya mematahkan hati dan impian baikku.
"Aku harus pergi?"
"Tidakkah kau ingin melihat anakmu ...."
"Kau saja yang lihat aku harus pergi!"
Dua putriku Rena dan Felicia terlihat heran melihat ayahnya yang tiba-tiba panik seolah sudah terjadi sebuah masalah yang sangat besar. Sebenarnya kami ingin menahan Mas Faisal tapi kami tidak berdaya. Pada akhirnya dia pergi begitu saja di puncak acara di saat tali toga anak kami dipindahkan di satu sisi ke sisi lain.
"Ayah, aneh sekali kenapa dia tiba-tiba pergi di saat penting seperti ini," tanya Rena putriku.
"Pasti ada hal penting tentang pekerjaannya."
Suamiku bekerja di perusahaan minyak, dia punya posisi penting dan sangat diandalkan, di saat-saat genting dialah yang akan dihubungi dan mengambil keputusan jadi posisi dan jabatan yang dia miliki juga setara dengan penghasilan yang dia dapatkan. Secara ekonomi kami berkecukupan, hanya saja itulah kurangnya, suamiku jarang memiliki waktu untuk kami karena dia punya banyak fokus dan tuntutan.
*
Tibalah sesi foto keluarga di mana Heri mulai bertanya tentang keberadaan ayahnya. Kuberitahu yang sebenarnya pada anakku dan coba memberinya pengertian bahwa kita bisa foto sesi wisuda di lain waktu di sebuah studio yang terkenal. Tadinya dia kecewa tapi, ya sudah, apa boleh buat... ia bilang tidak mengapa yang penting ayahnya tetap bisa mengerjakan tugasnya dengan baik.
Hari itu kami pulang dengan anakku yang masih memakai baju wisuda menyetir mobil. Saat kami terjebak kemacetan di dekat lampu merah, sebuah mobil ambulans lewat dengan tergesa-gesa, otomatis mobil-mobil dan motor yang ada berusaha untuk menepikan diri untuk memberi ambulans itu jalan termasuk mobil kami.
Saat melihat siluet orang yang berada di atas ambulans, dia adalah suamiku Mas Faisal Dia terlihat duduk di atas ambulans dengan wajah yang gelisah Dan panik. Tentu saja itu menimbulkan pertanyaan bagi kami, siapa gerangan yang sakit dan mengapa suamiku berada di ambulans itu dengan wajah yang sangat khawatir.
"Bukannya itu Ayah, kok ayah ada di ambulans?"
"Entahlah," jawabku.
Kucoba untuk menelpon Mas Faisal dan bertanya, tapi dia tidak mengangkat ponselnya. Andai tidak dalam kemacetan Aku ingin keluar dari mobil dan mengetuk ambulans itu untuk tahu apa yang terjadi, tapi tentu saja itu hal yang mustahil.
Saat lampu hijau menyala secepat kilat padat kendaraan terurai, ambulans itu melesat meninggalkan kami. Sementara mobil kami yang masih terseok di antara kendaraan yang berjubel hanya bisa pasrah. Qm
"Apakah kita bisa mengikuti ambulans itu?"
tanyaku kepada putraku.
"Ya, kalau dilihat dari logo ambulansnya, itu rumah sakit Surya Husada."
"Kalau begitu ayo kita ke sana mungkin itu adalah keluarga kita tapi ayah tidak mau memberitahu yang sebenarnya karena tidak mau merusak kebahagiaanmu," jawabku dengan perasaan yang sudah tidak karuan rasanya.
Aku ingin berusaha menenangkan diriku tapi kegelisahan itu entah kenapa semakin membuncah saja, seakan ada firasat yang benar-benar membuatku tidak nyaman. Aku ingin tahu apa yang terjadi dan siapa yang sedang sakit oleh karena itu ada perasaan tidak sabar dalam hatiku ingin segera melesat juga untuk mengikuti tepat di belakang ambulans itu.
*
Sudah sampai di lokasi parkir Kami berempat turun dan langsung pergi ke UGD untuk melihat siapa kiranya yang ayah dari putra-putriku antarkan.
Apakah itu adalah mertuaku atau apakah itu adalah bawahannya sehingga beliau merasa bertanggung jawab untuk membantu sebagai atasan?
*
Aku mendengar tangisan seorang wanita di ruang UGD. Aku coba mengedarkan pandanganku dan hanya ada satu orang wanita berpakaian biru ia terlihat rapi, sepertinya dia juga wanita pekerja karena di dadanya tergantung ID card.
"Ya Tuhan Tolong selamatkan anakku ...." wanita itu menggigil menangis sambil memohon, dia menutupi mulutnya dengan kedua tangan dan terlihat hancur sekali. Aku iba menyaksikan penderitaannya, aku ingin datang padanya dan menggenggam tangannya lalu berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja tapi aku tidak berani melakukan itu karena khawatir akan menambah luka di hatinya.
Wanita itu terlihat cantik dengan jilbab berwarna Milo dan blazer hitam. Dia terlihat anggun dengan sepatu hak tinggi, wajahnya yang cantik hidungnya yang mancung serta matanya yang besar membuat dia nampak sempurna. Sekilas aku kagum oleh pesona wanita itu hingga aku hampir lupa dengan tujuanku sebenarnya datang ke rumah sakit itu.
Namun aku baru saja ingin pergi dari tempat wanita itu berdiri, tiba-tiba suamiku keluar dari balik tirai di mana dokter sedang memberikan penanganan bagi pasien. Dia menghampiri wanita dengan blazer hitam itu lalu merangkulnya.
"Mas, Aku sangat takut jangan sampai terjadi sesuatu kepada anak kita ...."
Hah? Aku tercengang bahkan jantungku hampir saja berhenti berdegup saking kagetnya aku. Aku tidak percaya pendengaranku, aku terkejut dan tungkaiku seketika merasa lemas. Aku khawatir sebelum anak-anak melihat apa yang terjadi aku harus bisa mengalihkan keadaan.
Tapi apa yang harus kulakukan dengan keadaan seperti ini, seorang wanita sedang khawatir tentang keadaan anaknya dan menangis lalu dia merangkul suamiku, sementara aku dan anak-anaknya berusaha mencari keberadaannya.
Ya Tuhan situasi macam apa ini.
Dan ya, ia bilang apa tadi? Anak kita? Apakah itu adalah anak dia dan suamiku? Oh, tidak mungkin! Aku tidak akan bisa menerima itu.
Wanita itu masih menangis tersedu dalam pelukan suamiku sementara aku masih berdiri terpaku diantara ujung dua koridor. Dari sisi timur putra dan putriku yang masih terlihat rapi dengan baju seragam mereka kini mendatangiku. Jika mereka sampai di sini dan menoleh ke arah kanan, maka mereka akan menyaksikan ayahnya sedang berpelukan dengan wanita lain.
apa yang harus aku lakukan?!
"Aku tidak sanggup kehilangan reno, Dia satu-satunya anak kita, buah hati kita..."
"Iya sayang, itu tidak akan terjadi, dokter akan berusaha memberikan perawatan yang terbaik."
"Padahal aku sudah mencegahnya untuk pergi dengan anak-anak motor tapi entah kenapa putraku tidak mendengarkanku...." Wanita itu merintih dalam tangisnya lalu tiba-tiba lemas dan terpaksa harus di papah untuk dibawa duduk ke kursi yang ada di dekat tembok.
Aku termangu, aku terkejut dan tidak tahu apa yang harus kukatakan. Anak-anak tinggal 2 meter jaraknya sementara aku sudah panik. secara refleks aku menggeleng-gelengkan kepalaku dan mengayunkan tanganku pertanda bahwa tidak ada apa-apa di tempat itu namun entah kenapa kakiku seolah terpaku dengan bumi dan tidak bisa bergerak.
"Ada apa umi terus berdiri di situ?"
"Tidak....ti-tidak...."
Tenggorokanku tercekat, Aku gemetar antara luka yang tiba-tiba menghantam kepalaku dengan kenyataan pahit yang menusuk jantungku, aku ingin bertanya menangis dan berteriak tapi di sisi lain aku harus menjaga perasaan dan mental anakku. Aku ingin berlari agar anak-anakku tidak perlu menyaksikan apa yang terjadi tapi 5 detik kemudian mereka melihatnya mereka menyaksikan ayahnya memeluk wanita yang sedang lemas, Mereka melihat kekasih kesayangan mereka sedang mencium kening wanita lain dan memberinya sebuah kekuatan. Tentu saja anak-anakku langsung terkejut dan syok melihat kenyataan itu.