Kening Raefal mengerut, melihat guratan biru lebam di permukaan kulit Arabelle. “Siapa yang melukaimu?.”
Raefal langsung berkesimpulan demikian. Arabelle menarik tangannya dengan cepat dan membuang mukanya, menatap keluar. “Jangan berpura-pura peduli padaku. katakan saja, apa yang kau inginkan.”
“Inikah caramu berbicara dengan orang lain?” Tanya Raefal semakin tidak tahan. “Lihat dirimu Ara, kau wanita yang menjengkelkan. Karena itu banyak yang tidak menyukaimu, berhenti bersikap arogan dan seolah-olah kau bisa berdiri sendirian hanya dengan hartamu.”
Nasihat Raefal tidak berpengaruh untuk Arabelle, gadis itu tetap tidak mau berfikir sedikit pun, Arabelle manatapnya dengan sengit. “Sudah selesai bicaranya?.”
“Arabelle” kejengkelan Raefal semakin teruji, tidak sampai setengah jam mereka bertemu. Raefal sudah tidak tahan untuk lebih lama lagi bersama Arabelle, andai bukan karena ibunya yang memohon-mohon, Raefal tidak akan sudi membuang waktunya untuk wanita sejenis Arabelle.
Sejenak Raefal menarik nafasnya dalam-dalam dan membuangnya perlahan, dia kembali melajukan mobilnya tanpa berkata-kata lagi. Raefal perlu melajukan mobilnya dengan cepat agar mereka segera sampai ke kampus Arabelle, dengan begitu Raefal akan terbebas.
Bibir Arabelle menekan melihat keluar jendela, manic matanya menunjukan kekosongan yang tidak bisa di artikan. Suara nafasnya terdengar kasar, Arabelle tidak tahan duduk lebih lama lagi bersama Raefal.
“Semalam ayahmu memintku agar kau bisa bekerja di perusahaanku.” Raefal kembali berbicara, meski Raefal kurang suka dan sangat tidak yakin dengan kemampuan Arabelle, dia tidak mampu untuk menolak permintaan Nicholas.
Arabelle melihat Raefal sekilas dan terdiam, tenggelam dalam fikirannya memikirkan ucapan Nicholas beberapa hari yang lalu.
“Ara, dengarkan ayah!” Nicholas memeluk Ara semakin erat dan menahannya untuk tidak pergi. “Jika kau tidak mau dan tidak setuju dengan perjodohan ini, bertunanaganlah dan bertahan beberapa bulan dengan Raefal. Tunggu semua pemindahan asset seluruh harta ketanganmu Ara, dan selama menjadi tunangan Raefal, belajarlah berbisnis.”
Ara terdiam cukup lama dan mencerna kata-kata Nicholas, gadis itu berbalik dan menatap Nicholas lebih dekat. “Tapi kenapa harus bertunangan ayah?, aku tinggal menunggu pemindahan asset.”
Nicholas tersenyum kecil dan mengusap rambut Ara, “Harta yang ayah berikan harus kau kelola Ara, bukan hanya untuk di habiskan. Jika kau mendapatkan semuanya tanpa tahu apa-apa, kau akan menghancurkan apa yang telah ayah bangun.”
Ara terdiam dan mulai berfikir, perkataan Nicholas terdengar masuk akal.
“Kau juga harus dapat dukungan ketika Kate menuntut harta. Karena itu, berjanjilah kepada ayah.”
“Apa?”
“Belajarlah dengan baik, Rae adalah seorang pengusaha yang sukses dan sangat kompeten. Setelah kalian bertunangan, gunakan waktu itu untuk kau belajar berbisnis dengan dia.”
Apa yang telah di lakukan saudara dan ibu tirinya akhir-khir ini sungguh membut Arabelle marah karena sikap semena-mena mereka. Mereka tidak hanya berbahaya namun mereka juga sekumpulan wanita tidak tahu malu yang nekat.
Mungkin ini sebabnya kenapa Raefal ingin Arabelle berubah.
Arabelle menegakan tubuhnya dan tersenyum samar, “Besok aku akan datang.” Jawabnya terdengar lebih lembut dan tenang.
Injakan di pedal gas mengendur seketika, Raefal memelankan laju kendaraannya dan melihat kearah Arabelle yang terlihat termenung. Setelah di perhatikan lebih teliti, pipi Arabelle terdapat tanda merah juga, punggung tangan memiliki lebam yang lumayan banyak.
Raefal tidak tahu, bagian tubuh mana lagi yang terluka.
“Ehem!” Raefal berhedem tidak nyaman. “Saat kau bekerja kau harus tahu memisahkan urusan pekerjaan dan pribadi di antara kita. Datang tepat waktu, bertanggung jawab dan kau tidak boleh memberitahu siapapun jika kita saling mengenal.”
“Baik, aku mengerti.”
Raefal tertegun, rasanya sangat tidak nyaman berhadapan dengan Arabelle yang seperti sekarang. Mobil berhenti depan kampus, Arabelle segera keluar dan membungkuk di depan mobilnya mengucapkan kata terimakasih, lalu pergi dengan cepat.
“Mana sifat dia yang sebenarnya?” bisik Raefal penasaran. Apakah selama ini sikap kasar dan arogan Arabelle hanya sebuah pertahanan?.
***
“Aku akan menjemputmu lagi setelah pekerjaanku selesai” kata Jach pada Mante yang hendak keluar dari mobil.
“Tidak perlu, aku ada urusan dengan Kenan.”
“Jangan lupa, kau pergi ke Prancis.”
“Aku mengerti” Mante segera keluar dari mobil dan berjalan menuju restorant. Di dorongnya pintu kaca di depannya dan Mante segera masuk. Perhatian Mante langsung tertuju pada seorang pria yang tengah mengepel.
“Hay bro” sapa Helian dengan serigai nakalnya.
Mante mendengus geli, “Dimana kenan?.” Katanya seraya berjalan lurus melewati beberapa meja dengan piring-piring kotor bekas makan. Helian mendongkakan kepalanya melihat ke atas, menunjukan keberadaan Kenan yang sudah duduk bersantai di lantai dua.
Sekilas Mante melihat Helian lagi, pria itu kini tengah mengelap satu persatu meja dan membawa piring-piring kotor ke belakang untuk mencucinya.
“Dia sudah tidak menangis lagi?” Tanya Mante begitu dia sudah sampai lantai dua.
Kenan terbahak mendengarnya, “Hari ini aku belum melihat air matanya” jawabanya masih tawa geli. “Bagaimana keadaanmu sekarang?.”
“Aku baik-baik saja.” Mante duduk di sebrang Kenan yang tengah merokok, “Besok kakakku bebas, aku akan datang mewakilkan ayahku.”
Ekspresi Kenan sedikit berubah, “Kau sudah siap menunjukan wajahmu di depan umum?.”
Walau bagaimanapun Mante adalah anak seorang mafia besar Elisio, dia baru saja menyelesaikan tugas wajib militernya. Mante belum sepenuhnya siap mengambil tahta ayahnya, dimana nama mafia selalu di pandang buruk semua orang, terlalu banyak musuh yang akan mengincar jika Mante menunjukan diri di depan public.
“Siapa bilang?” Mante mengambil botol beer dan meminumnya, “Kau fikir aku akan mengambil alih setelah kakakku terbebas?.”
Ketegangan di wajah Kenan perlahan berubah menjadi tenang.
“Ahh.. lelah sekali” Helian menjatuhkan tubuhnya ke sofa dan mengusap peluh keringat yang membasahi wajah tampannya itu. Helian bergerak kecil melihat Mante dan Kenan bergantian, “Kalian melihat pengawal kerajaan diluar?, aku benar-benar bosan disini.”
“Kau fikir kami bisa ikut campur jika ini masalahmu dengan ayahmu?.” Decih Kenan mengejek. Helian langsung mengambil bantal di sampingnya dan melemparkannya pada Kenan.
“Jika kau tidak membantuku, jangan harap bisa mendapatkan kakakku!” Teriak Helian mengancam.
Kenan balik melemparkan bantal ke wajah Helian. “Dengarkan aku b******k, untuk mendapatkan hati ayahmu saja aku sudah menunggu puluhan tahun. Dan sampai sekarang aku tidak belum mendapatkan persetujuannya.”
“Siapa suruh kau tetap miskin dan tidak bisa mengalahkan kesombongan ayahku!”
“Si b******n ini” pelotot Kenan mulai kesal. Helian langsung bangkit dan duduk, dia bersedekap dengan angkuh dan dagu terangkat.
“Apa?, mau memukulku?. Seujung rambut saja kau menyentuh rambut berhargaku, akan ku pastikan besok kemaluanmu terpotong.” Tantangnya dengan angkuh, Kenan hanya menggeram menahan amarahnya.
Helian Giedon adalah putera bungsu Julian Giedon. Karena sifatnya yang pandai membuat rusuh hingga keonaran, Helian mendapatkan hukuman dari Julian. Julian mengusir Helian dari rumah dan istana, menutup semua akses keuangan hingga semua fasilitasnya sebelum Helian mengakui kesalahannya dan meminta maaf dan melaksanakan tugasya untuk bekerja paruh waktu.
“Ada yang ingin aku tanyakan padamu Helian” suara Mante menghentikan pertengkaran di antara Helian dan Kenan. “Saat aku akan di jodohkan dengan Arabelle Giedon, kau mengatakan jika Arabelle gagu, pendengarannya tidak baik, sepanjang waktu menggaruk kepala, dia ompong dan masih banyak lagi hal yang katakan mengenai Arabelle. Kemarin aku bertemu dengannya, dan dia sempurna.”
“Benarkah?” Helian menggaruk pipinya yang tidak gatal. “Yang mana Arabelle Giedon?, aku tidak ingat.”
“Kenapa kau tidak menanyakannya padaku?” Tanya Kenan tertawa geli, “Kau tahu sendiri kan. Ingatan dia mengenai wajah orang sangat buruk.”
“Si b******k ini membuatku kehilangan wanita baik-baik. Aku bertanya pada Helian, karena Arabelle sepupunya” protes Mante kesal.
“Meski Arabelle memiliki otak yang masih kosong, kasar dan bodoh. Dia adalah gadis baik-baik.” Tekan Kenan meluruskan.
Helian semakin di buat bingung dan mengingat seperti apa wajah sepupunya. “Ini bukan kesalahanku, kalian tahu sendiri kan jika aku hanya bisa mengingat orang-orang kaya saja. Wajah-wajah miskin kalian bisa aku ingat karena aku terlalu sering bertemu.”
“Si b******k ini” seketika Kenan dan Mante berdiri.
“Apa?, kalian mau memukulku hah?. Aku peringatkan kepada kalian, aku Helian Giedon, putera Julian Giedon. Dan aku generasi ke Sembilan penerus tahta. Jika kalian memukulku, aku bisa mendeportasi kalian dan mencabut kembali izin tinggal di Neydish.”
Mante menyerigai jijik, “Hentikan omong kosongmu brengsek.”
“Aku benar-benar ingin menghajar wajah menyebalkan si b******k ini” Kenan merangsek kerah baju dan mengangkatnya dengan kasar. Mante meraih kaki Helian dan ikut memukuli pria itu dengan beberapa pukulan, lalu membantu mengangkat tubuhnya dengan Kenan. Mereka tidak mengindahkan teriakan Helian meminta tolong.
Dengan mudah Kenan mengaitkan kerah baju Helian pada paku di dinding membuat Helian mejadi seperti seutas pakaian yang di gantung.
“Kalian mau meninggalkan aku seperti ini?” Tanya Helian berkaca-kaca. “Kawan-kawan!” Teriak Helian melihat Mante dan Kenan pergi meninggalkan ruangan.
“Kenapa kau menanyakan Ara?” tanya Kenan, mengabaikan teriakan Helian yang mengisi penjuru restaurant. “Tidak seperti biasanya kau membicarakan seorang wanita.”
Mante menggaruk pipinya yang tidak gatal, dia sendiri merasa bingung dengan apa yang telah di lakukannya mengapa ingin mengenal Arabelle. “Aku butuh bantuanmu, aku ingin mengenal Arabelle lebih dekat.”
Seketika Kenan tertawa.
***
Arabelle membungkuk membawa seikat bunga tulip dan kue, dia duduk di antara rurumputan dan melihat keatas langit yang mendung. Pandangan Arabelle kembali ke bawah, dia mengeluarkan pemantik dan menyalakan lilih.
“Hay Bu” sapanya pada makam Arleta. “Hari ini ayah sibuk lagi. Jadi hanya aku yang datang.” Suara Arabelle berubah menjadi tertahan, dadanya serasa sesak merasakan perasaan sakit.
“Ibu, hidupku terasa berat dan membosankan. Aku takut dan kesepian.” Isak Arabelle sesegukan, “Tapi, aku merasa kuat kembali saat ingat Ibu.”
“Hari ini ulang tahun ibu, dan tanggal kepergian ibu. Aku tidak tahu harus senang atau bersedih.” Arabelle mengangkat kue dan meniup lilinnya bersamaan dengan setetes air mata yang kembali membasahi pipinya.
Arabelle mengambil pisau, memotong kue dan memakannya sendirian masih dengan air mata yang tidak berhenti berjatuhan. Sesekali dia melihat kearah belakang, berharap Nicholas datang menyusul.
Namun rupanya tidak.
Sepanjang tahun hanya Arabelle yang melakukannya sendirian. Tidak ada keinginan besar di dalam hidup Arabelle selain kehangatan keluarga seperti yang pernah dia rasakan enam belas tahun yang lalu dimana ada seseorang yang selalu ada disaat dia terluka dan bersedih.
Kepada siapa sebenarnya Arabelle harus pulang?, bahkan rumah yang dulu penuh cinta dan kehangatan. Kini menjadi neraka dalam kehidupannya.
***
“Silahkan masuk Nona” seorang pengawal mendorong pintu besar di hadapannya dan mempersilahkan Arabelle masuk.
Dalam beberapa langkah Arabelle masuk dan berhenti melihat keberadaan Ema Giedon yang duduk di kursi roda.
“Yang Mulia” Arabelle langsung membungkuk penuh hormat.
“Ara” Ema tersenyum lebar melihat Arabelle yang berjalan dengan anggun memenuhi tatakrama yang harus di lakukan seorang puteri. Ema Giedon benar-benar sudah sangat tua, dia sudah tidak bisa berjalan lagi, usianya sudah lebih dari seratus tahun dan dia masih belum menurunkan tahtanya.
“Nenek” panggilan Arabelle berubah begitu lututnya menyentuh lantai, bersujud dan hadapan Ema.
“Ibumu selalu bangga padamu Ara” Ema Giedon selalu mengingat hal-hal penting untuk semua cucu hingga cicitnya, kebijaksanaannya adalah kedamaian terbaik di istana.
“Nenek..” Arabelle bergeser dan memeluk lutut Ema, “Bolehkah aku meminta sesuatu pada nenek?” suara Arabelle melembut jauh dari kearoganan dan sikap kasarnya. Tangan Ema bergerak menyentuh wajah Arabelle dan mengangkatnya.
“Katakan.”
“Aku ingin pengawalan khusus saat di rumah. Hanya di rumah, karena aku tahu nenek sudah menjaga pergerakan kami saat di luar.”
“Apa sangat berat untukmu hidup disana Ara” pertanyaan Ema membuat Arabelle semakin tertunduk menyembunyikan ekspresi di wajahnya. “Istana ini tempatmu, pulanglah kesini. Semua perlindungan ada disini.”
“Hanya rumah itu, kenanganku bersama Ibu.” Jawab Arabelle sedih.
***
“Kau mau kemana?” Kenan bersedekap dan bersandar pada kusen pintu melihat Nerissa yang tengah merias diri.
“Aku mau ke club.” Jawab Nerissa samar karena dia tengah memakai lipstick.
Seketika Kenan bergerak kecil dan berdiri di belakang punggung Nerissa, mata birunya bergerak tajam melihat adiknya tengah sibuk merias diri. “Dengan Alex?” geraman nada suara Kenan terdengar samar.
Nerissa mengangguk kecil sedikit takut, namun dia tidak berani untuk berbohong.
“Seleramu benar-benar rendahan Nerissa” Kenan menyentil kening Nerissa hingga gadis itu mengaduh kesakitan. “Hapus make upmu, kau terlihat seperti badut.”
“Enggak mau!” Nerissa memanyunkan bibirnya dan bersedekap angkuh membangkang keinginan kakaknya.
“Nerissa, kau masih kecil. Jangan pernah berfikir untuk mengenal pria lebih cepat” geram Kenan kembali menyentil kening Nerissa.
“Hikss.. sakit Kenan” Nerissa mengusap keningnya yang terasa panas.
“Lihat itu, kau sangat cengeng Nerissa, masih berani bertingkah” decih Kenan mengejek, dia bergerak dan duduk di pinggiran ranjang, bersedekap dengan angkuh.
“Aku tidak cengeng ya! Kau yang terus menggangguku hiks..” Nerissa melemparkan sisir kearah Kenan, dengan cepat Kenan menangkisnya hingga sisir jatuh ke lantai. “Keluar dari kamarku, jangan menggangguku!” Teriak Nerissa mulai marah, alih-alih mendengarkan apa yang Nerissa inginkan. Kenan langsung membaringkan tubuhnya di ranjang dan rebahan.
Nafas Nerissa mulai mulai bergerak cepat, wajahnya memerah menahan amarah. Dalam satu tarikan nafas Nerissa berteriak “DADDY!” Teriaknya memanggil ayahnya.
“Cih, dasar pengadu” ejek Kenan tidak terpengaruh. “Bagaimana jika kau hamil, kau akan merepotkan kami. Belajar dengan baik, contohlah calon kakak iparmu Endrea, dia tidak hanya cantik, dia juga sangat luar biasa”
“Aku tidak akan hamil karena aku tidak pernah memasukan anu pria ke anuku” jerit Nerissa semakin menangis kencang.
“Ada apa lagi?” Lucas berdiri di ambang pintu melihat kedua anaknya bergantian. Tangisan Nerissa sesegukan mengusap wajahnya yang sudah basah oleh air mata.
“Kenan menggangguku. Dia mengejekku” tunjuk Nerissa kepada kakaknya.
Lucas menarik nafasnya perlahan dan mengatur emosinya untuk tetap tenang menghadapi pertengkaran Nerissa dan Kenan yang selalu terjadi setiap hari. “Ada apa dengan pakaianmu?, Kenapa pakaianmu terbuka?.” Tunjuk Lucas pada pakaian Nerissa yang kelewatan seksi membentuk lekuk tubuh indahnya.
“Karena itu aku melarang dia untuk tidak pergi, dia janjian dengan pria” jawab Kenan mendahului Nerissa. “Dia berpakaian seperti wanita penghibur dengan wajah polos dan p******a yang belum tumbuh.”
“Kenan b******k!”
“Nerissa, minta maaf pada kakakmu dan panggil dia kakak!.” Perintah Lucas dengan tegas. Nerissa langsung tertunduk takut karena kemarahan ayahnya, Lucas selalu marah jika Nerissa tidak menghormati Kenan. “Ganti pakaianmu dan pergi tidur” titah Lucas dengan tegas.
“Tapi Dad” Nerissa semakin tertunduk karena ucapan tegas Lucas. Nerissa tidak berani membantah, namun jiwa nakalnya bergejolak ingin pergi.
“Itu betul, kau anak kecil. Cuci tangan dan kakimu, pergilah tidur.” Timpal Kenan seraya turun dari ranjang dan hendak pergi.
“Dad, aku pergi bersama Nerissa dan Endrea. Kami ingin merayakan keberhasilan Arabelle karena besok dia mulai bekerja. Aku janji tidak akan mabuk” Nerissa menjelaskan dengan gemetar.
“Endrea?” Kenan langsung membalikan badannya dengan mata berbinar, tiba-tiba pria itu tertawa riang. “Dad, mungkin Nerissa benar. Aku akan menemani dan menjaga dia keluar agar tidak ada yang mengganggu.”
“Ingat, jangan sampai ada pria yang menyentuh dan mengganggu Nerissa” pelotot Lucas dengan tajam. Kenan langsung mengangguk dengan mantap tanpa keraguan.
***
“Kau ingat pesanku Ara?, bersikaplah professional. Semakin kita menunjukan kekuasaan, semakin rendah orang menilai kita dan menganggap kita hanya mengandalkan orang tua” nasihat Endrea lagi mengangkat gelas sampanye di hadapan Arabelle. Dengan penuh semangat Arabelle mengangguk dan bersulang, meminum segelas anggur.
Arabelle bersandar pada pagar melihat kebawah dimana panggung musik masih belum terisi, “Menurutmu, apa aku harus menyerah?.”
“Apa maksudmu?.”
“Sepanjang hari ini aku memikirkan keinginan ayah dan mendengarkan nasihat nenek. Aku menyadari jika aku telah menghabiskan waktuku dengan sesuatu yang tidak berguna, aku ingin menyerah dan mengikuti keinginan ayah, akan aku singkirkan wanita-wanita sialan itu dari rumah.”
Endrea tersenyum, “Akhirnya kau memikirkannya.”
Arabelle meminum anggurnya lagi, “Kau mau bernyanyi?, sudah lama kita tidak tampil.” Ajak Arabelle menunjuk ke panggung yang kosong dengan dagunya, sejenak Endrea diam dan pada akhirnya dia mengangguk setuju.
Tanpa banyak berfikir lagi mereka turun dari lantai dua, pergi membelah kerumunan orang-orang yang masih merasakan pemanasan pesta. Arabelle tidak pernah sesemangat itu dalam hidupnya ketika bertemu dengan musik, katakanlah jika gadis itu memiliki banyak kekurangan dalam semua bidang.
Namun Arabelle adalah seorang gadis yang pandai bernyanyi, jiwa seni dari darah Nicholas mengalir dalam tubuhnya. Namun karena terlahir dari keluarga kerajaan, Arabelle tidak memiliki banyak pilihan dalam kehidupan dan masa depannya.
Musik mulai berbunyi, satu persatu orang orang mulai memperhatikan kearah panggung dan melihat siapa yang bernyanyi dan bermain musik.
Nerissa dan Kenan yang baru datang langsung menyadari siapa yang berada di panggung, mereka ikut turun dan duduk di bangku. “Arabelle benar-benar cantik saat di panggung” puji Nerissa sambil menopang dagu.
“Hanya Endrea yang cantik.”
“Bagaimana dengan aku?.”
Kenan bergerak malas dan melihat adiknya sekilas dengan malas, “Tidak ada yang lebih cantik dari Endrea” jawaban Kenan membuat Nerissa cemberut. “Dimana pria culun itu?, apa dia takut bertemu denganku?.”
“Lihat itu” Nerissa menunjuk seseorang dan mengalihkan pembicaraan yang baru di mulai oleh Kenan. “Siapa pria itu?, dia memandangi Endrea sejak tadi.”
Seketika Kenan berdiri dan menatap tajam pria yang di tunjuk Nerissa, tanpa banyak basa-basi lagi Kenan langsung beranjak dan pergi meninggalkan adiknya, melupakan pertanyaan yang sempat dia ajukan.
Nerissa hanya tersenyum geli, Kenan sangat mudah teralihkan bila berhubungan dengan Endrea.
“Nerissa.”
Kepala Nerissa terangkat, melihat sosok Mante yang berdiri di sebelahnya. “Mante.”
“Dimana Kenan?.”
Nerissa langsung menunjuk posisi kakaknya yang tengah berdiri di panggung, menghalangi siapapun yang mau melihat keberadaan Endrea. Perhatian Mante lebih teruju pada Arabelle yang tengah memainkan gitar dan bernyanyi disana.
Mante tertegun menikmati perasaan terpukaunya melihat bagaimana sosok Arabelle yang penuh semangat dan bersinar menemukan jiwanya sendiri di atas panggung, tanpa sadar Mante bergerak melewati beberapa penonton dan berdiri paling depan memperhatikan Arabelle hingga dia selesai bernyanyi.
Mante tidak dapat menahan dirinya begitu Arabelle turun panggung, dia langsung mencegah langkah Arabelle, “Ara.”
“Mante” Arabelle berjalan cepat dan memeluknya tiba-tiba hingga membuat tubuh Mante membeku dengan wajah memerah. “Bagaimana dengan lukamu?, kenapa kau ada disini?.”
“Aku bertemu Kenan” jawab Mante gugup, melihat wajah Arabelle yang sangat dekat setelah gadis itu menguraika pelukannya.
Mata Arabelle menyipit tidak suka “Kau mengenal pria iblis itu?” tunjuknya ke panggung dimana Kenan tengah memarahi satu persatu pria yang telah memperhatikan Endrea hingga menimbulkan pertengkaran. “Atau, si b******k itu mengganggumu?, katakan saja padaku. Aku akan memarahi dia jika dia mengganggumu.”
Mante tersenyum kaku, bagaimana bisa Kenan bisa mengganggunya, Mante adalah anak seorang mafia. Bertarung dan mengganggu adalah hal biasa baginya. “Tidak, dia temanku.”
“Astaga.. kemarilah” Arabelle menarik tangan Kenan dan melihat kesekitar, sekilas Arabelle melihat Nerissa yang kini berhasil berduaan bersama Alex tanpa gangguan Kenan. “Duduklah.”
Akhirnya mereka duduk berdua karena semua orang sibuk dengan pasangan mereka.
“Kau sangat memukau saat di panggung” puji Mante dengan jujur, Arabelle langsung mengangguk angkuh membenarkan ucapan Mante. Seorang pelayan datang membawa nampan, meletakan dua botol dan gelas minuman juga makanan pesanan Mante. “Aku tidak tahu jika kau dan Kenan saling mengenal.” Kata Mante lagi setelah kepergian pelayan.
“Aku juga berfikir seperti itu” Arabelle memperhatikan bagaimana cara Mante menuangkan minuman, benar-benar menggunakan tata cara yang mirip dengan ajaran prilaku sopan keluarga kerajaan. “Aku hampir mengenal semua teman Kenan karena kalangan kami sedikit.”
“Aku melakukan wajib militer dua tahun dan mengabdi di perbatasan Nelpoe karena peperangan. Aku baru kembali.” Mante mendorong satu gelas pada Arabelle, mereka saling berbincang kecil dan menikmati minuman mereka.
Waktu bergerak lebih cepat dari apa yang di fikirkan, suasana club semakin ramai, musik mulai menyala lagi dan lebih menghentak mengajak menari di lantai.
Wajah Arabelle sudah merah karena mabuk, gadis itu tidak berhenti tertawa mendengarkan cerita Mante.
“Kau mau menari?” Arabelle turun dan sedikit terhuyung.
“Eh?” Wajah Mante memerah, sekasar dan sekejam apapun yang di ajarkan orang tua Mante padanya hingga membuat dia menjadi pria dingin dan tidak berperasaan. Namun Mante adalah pria polos dalam masalah perempuan, dia tidak pandai bergaul dan nyaris tidak pernah bergaul dengan wanita. “Aku.. aku tidak bisa menari” jawab Mante terbata-bata.
“Biar aku ajari, sekarang kau temanku. Ayo” Arabelle menarik tangan Mante dan membawanya kedalam kerumunan orang. Gadis itu langsung mengalungkan tangannya di leher Mante dan bergerak dengan luwes, sementara Mante hanya menggerakan kakinya seperti robot.
“Kau tidak pernah menari?” Tanya Arabelle menahan tawanya, pandangannya sudah mengabur tidak jelas karena mabuk.
“Aku hanya bisa berdansa.”
***
“Kau sudah mengurusnya?” Raefal menghisap rokoknya dan duduk dengan tenang, menatap Liam yang duduk di hadapannya.
“Aku tidak yakin dengan posisi Arabelle jika kita menempatkannya di bagian desain.”
“Dia sangat polos, jika dia tidak mampu bekerja, setidaknya dia masih bisa mencurat coretkan pulpennya di atas kertas.” Raefal mematikan rokoknya di asbak dan segera berdiri, “Aku tahu dia akan membuat ulah dan beberapa karyawan akan menindasnya, aku tidak ingin mendengar keluhan apapun dari Ara. Jadi, pastikan dia merasa nyaman.”
“Baik.”
“Aku pulang duluan, nikmati pestamu.” Raefal membuka pintu dan segera keluar, membiarkan beberapa wanita berpakaian seksi masuk kedalam ruangan.
Raefal membuang nafasnya dengan kasar, harinya terasa melelahkan dari biasanya memikirkan pekerjaan dan sikap Arabelle tadi pagi yang cukup mengganggunya. Raefal tidak suka dengan bayangan wajah sedih Arabelle yang selalu terbiasa bersikap nakal.
“Kenapa aku harus peduli, itu bukan urusanku” maki Raefal pada dirinya sendiri, sekali lagi Raefal membuang nafasnya dengan kasar dan keluar dari lorong ruangan VIP. Kening Raefal mengerut, langkahnya terhenti memandangi sosok Arabelle dari kejauhan.
Beberapa langkah Raefal mendekat dan melihat lebih dekat untuk memastikan jika apa yang di lihatnya tidak salah. “Dia benar-benar nakal” geramnya melihat Arabelle menari berdesaan dalam pelukan seorang pria.
Rahang Raefal mengeras, dia merasa gusar dan kesal. “Awas saja Arabelle jika besok kau datang terlambat.”
***