Hening.
Yang terdengar saat itu hanya tarikan napas keduanya, dan sesekali terdengar pula suara deru kendaraan roda empat juga roda dua, diselingi dengan bunyi tiang listrik dipukul orang, entah untuk ke berapa kalinya. Setelah itu, keduanya lalu terlibat dalam kumparan pembicaraan basa-basi yang diseling dengan canda dan tawa yang berkepanjangan, yang sesaat kemudian berakhir dengan pamitnya Darsam meninggalkan tempat tersebut, setelah hujan reda.
"Jangan lupa kalau besok kita akan bertemu di toko buku itu," kata Darsam mengingatkan Gea, yang dibalas Gea dengan anggukan dan senyuman.
Di atas ranjang, Gea kembali membaringkan diri. Digalinya seluruh ingatan di dalam kepalanya tentang dompetnya yang jatuh itu. Dia tetap tak habis pikir, kok bisa-bisanya sampai jatuh? Namun demikian hal itu ternyata membawa berkah bagi dirinya, bahwa dirinya bisa berkenalan dengan seorang lelaki tampan, Darsam. Tapi Darsam yang mana? Darsam yang kata orang tak dikenalnya itu; sudah dilukai hatinya oleh dirinya ataukah Darsam yang lain?
"Darsam, Darsam. Kenapa juga nama itu jadi seperti duri dalam pikiranku? Kenapa aku harus pusing oleh hal yang seperti ini?Jangan-jangan ini kerjaan orang lain, " batin Gea, yang pada suatu hari dirinya pernah merobek sebuah surat tak dikenal yang isinya ngajak kencan, menikmati indahnya malam sambil mengisap mariyuana.
Malam kian larut, desir angin dari tangkai ke tangkai pohonan mengusap gendang telinga sepintas lalu. Sesekali mampir pula bunyi tektek tukang mie goreng atau mie rebus, yang lewat di depan kamar kontrakannya, yang kemudian disusul dengan bunyi tiang listrik dipukul orang yang entah untuk ke berapa kalinya. Sambil tiduran, diraihnya sebuah kumpulan cuitan romansa Emha Ainun Nadjib bertajuk ‘Sajak Jatuh Cinta’ yang diekspos sekitar tahun tujuh puluhan.
Gea membaca sajak tersebut, karena dia sangat menyukai diksi klasik Bahasa Indonesia yang menurutnya menarik untuk dipelajari.
Bahasa Indonesia bagi dirinya merupakan sentral untuk membangun kembali peradaban melayu di Indonesia yang saat ini dipelajarinya secara sungguh-sungguh di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Brawjiaya. Halaman demi halaman buku tersebut dibacanya dengan penuh penghayatan. Ketika sampai pada sebuah tajuk ‘Sajak Jatuh Cinta’, Gea sangat terkesan oleh setiap bait di sana.
Karena ini bunga
Maka ciumlah dengan bening jiwa
Karena ini sajak
Maka terimalah dengan mripat kanak-kanak
Gugusan mendung yang ranum
Menggugurkan hujan ke bumi
Dari langit jauh Engkau bagai telah turun
Pada air, tanah, serta pada sunyi
Kemudian senyap sesaat
Tuhan melintaskan syafaat
Kemudian daun-daun bersijingkat
Dalam pesona memikat
Karena ini bunga, dik
Maka ciumlah dengan bening jiwa
Karena ini sajak, dik
Maka terimalah dengan mripat kanak-kanak
"Membaca sajak itu, aku jadi teringat pada filosofi jawa yang membahas tentang Tuhan. Bahwa Tuhan itu ‘Tan Keno Kinoyo Ngopo, Tan Keno Kiniro’. Yang artinya tidak bisa dibayangkan, tidak bisa dikira-kira. Ketika kau merasakan cinta, kau seolah kembali pada dimensi anak-anak yang merasa bahagia namun tak punya definisi untuk menggambarkan kebahagiaan itu. Terkadang cinta memang datang dan pergi dalam hidupku bagai air mengalir ke hilir, meninggalkan endapan lumpur, kesepian, kesunyian, dan rasa nyeri tak terkira dalam di hatiku. Dan aku tiba-tiba gelisah, haruskah aku kembali jatuh ke dalam jurang yang sama setelah Rangga mengkhianatiku tiga tahun lalu. Apa pun yang terjadi, aku harus bangkit dari hidup yang menyesakkan ini. Aku harus melupakan segala penderitaan ini, meski harapan cuma berupa bayang-bayang yang terhampar di depan mata!" batin Gea, yang ketika itu dalam menjalin percintaan dengan Rangga, dirinya begitu kukuh untuk tetap dalam keadaan suci, tak ingin disentuh oleh siapa pun sebelum ikatan perkawinan diucap di depan penghulu, yang disaksikan oleh banyak pihak, terutama kedua orang tuanya.
Gea menarik napas dalam-dalam. Pikirannya melayang-layang ke sana ke mari. Adakah Darsam dikirim Tuhan untuk menggatikan Rangga? Gea tidak mau berharap terlalu jauh, yang dia inginkan saat ini adalah mampu meyembuhkan segala luka dan duka di hatinya, yang terasa demikian parah; usai Rangga terbang dari kisah hidupnya; sampai ke dalam pelukan Citra yang justru teman dekatnya, yang memang lebih cantik, lebih sexy, dan lebih terbuka dalam pergaulan. Dan Gea justru sebaliknya, dia cenderung menutup diri dari berbagai pergaulan kehidupan kota besar yang dinilainya kerap kali merelatifkan nilai-nilai adat maupun agama.
Setidaknya, Gea benci dengan sesuatu seperti mabuk-mabukan dan s**s bebas, yang dikatakan banyak orang bahwa hal itu adalah simbol dari kehidupan orang modern. Modern? Apa sesungguhnya yang modern dengan kehidupan semacam itu, yang kalau ditelusuri lebih jauh justru hal itu dalam kehidupan manusia sudah terjadi sejak berabad-abad lalu. Bukankah ketika Allah SWT mengutus para Nabi dan RasulNya ke muka bumi pada saat itu, antara lain ditugaskan untuk memberantas hal yang demikian, di samping memberi tahu kepada makhlukNya tentang sebuah jalan yang Iurus, yang harus ditempuh oleh manusia di muka bumi. Jalan itu adalah jalan rohani, jalan spiritual yang menjauhkan diri dari berbagai macam tindak maksiat, yang cahayaNya berkilauan dalam agama Islam, agama yang diyakini Gea mampu memberikan ketenangan hidup kepada dirinya, sejak nalarnya bekerja dan bertanya kenapa manusia harus beragama.
Di samping itu, Gea tetap tidak habis pikir saat dirinya menemukan kenyataan hidup yang lain di luar dirinya, yaitu terdapat sekelompok orang yang menolak agama sebagai jalan rohani dan jalan spiritual menuju Tuhan. Lebih dari itu, kenapa juga harus ada sekelompok orang yang tidak percaya dengan adanya Tuhan? Kenapa juga harus ada orang seperti Fir'aun atau Nietzsche yang mengatakan bahwa Tuhan telah mati? Apa maksudnya dengan perkataannya itu?
Jika memang Tuhan sudah mati, lalu di mana kuburanNya bisa kita ziarahi? Siapa yang mengafani dan mengurus jasadNya, siapa pula yang menguburkanNya? Lebih dari itu, siapa yang membacakan doa untukNya? Tidakah ketika Nietzsche sampai pada puncak pikiran yang irasional itu, justru pada saat itu dia sesungguhnya tengah kecewa terhadap realitas kehidupan yang dia tempuh dengan hati yang kosong dan sepi; di sebuah zaman yang buruk, yang diguncang oleh terjadinya Perang Dunia Kedua, yang banyak memakan korban jiwa?
Entahlah, yang penting Gea tidak tergoda oleh pikiran semacam itu, karena yang terbukti kemudian; nyatanya yang mati itu bukan Tuhan akan tetapi Nietzsche. Hingga timbul pada suatu pikiran semacam itu kadang Gea tertawa sendiri.
"Tuhan siapa yang mati? Itu pasti Tuhannya Nietzsche. Tuhanku adalah Tuhan Yang Maha Perkasa, Yang Awal dan Yang Akhir. Tuhan para Nabi dan Rasul, Tuhan yang disembah Malaikat Jibril dan para malaikat lainnya. Tuhanku, bukannya Tuhan yang diyakini oleh Nietzsche yang telah mati itu," batinnya.
Kendati demikian, betapa ingin Gea mengetahui lebih lanjut, kenapa juga Nietzsche sampai pada pikiran semacam itu dalam bukunya Sabda Zarathustra. Isi dari buku tersebut rupanya sangat mempengaruhi Rangga; yang pernah melontarkan ucapan negatif tentang Tuhan. "Manusia berhak atas dirinya sendiri. Di luar semua itu adalah impian buruk, juga Tuhan," katanya pada saat itu. Gea tentu saja kaget, sekaligus kecewa mendengarnya. Apa benar itu karena Rangga tengah dibuai oleh kenikmatan duniawi sampai dia berani mengatakan hal itu tanpa pertimbangan berlapis dalam menyasar akibat yang kelak timbul dari apa yang sudah dikatakannya itu? Di samping itu, hingga saat ini, Gea tidak kunjung paham mengapa mabuk selalu dipakai alasan oleh Rangga sebagai salah satu jalan menuju katarsis? Kalau demikian apa yang dimaksud dengan katarsis jika pada akhirnya tubuh dan rohaninya sendiri yang dijadikan korban oleh dirinya sendiri?
Malam semakin larut dan tua. Bayang-bayang Rangga terus bersimpangan dalam benaknya, Gea seakan-akan menyesal kenapa harus putus dengan Rangga di saat dirinya tidak bisa memberikan sesuatu yang terbaik bagi perkembangan dan pertumbuhan daya spiritual Rangga, kendati rasa sakit itu tidak bisa dipungkiri oleh Gea ketika Rangga pernah berkata bahwa, ‘dunia kita adalah dunia yang berseberangan. Karena itu selamat jalan sebelum segalanya terlambat’.
"Gea, kenapa kau harus terluka oleh cinta pertama? Kenapa kau tidak bersyukur bahwa Tuhan sudah menyelamatkan hidupmu, bukankah saat ini Rangga terbaring murung di rumah sakit karena overdosis mengonsumsi h****n?" Timbul sebuah suara yang menggema dengan amat kuatnya di dasar hatinya. Tersadar akan hal itu, Gea berkali-kali istighfar. Dia sadar kalau selama ini rupanya dirinya belum jadi orang yang bersyukur. Malu akan hal itu, Gea kembali menitikkan air mata.
"Ya Allah tegurlah diriku lebih keras dari ini, sehingga aku bisa membebaskan diri dari rasa sakit yang disebabkan oleh cinta kasih tak sampai. Betapa di balik keindahan terhampar keburukan, dan di balik segala keburukan ini ada setangkai hikmah yang harus aku petik suka atau tidak suka. Ya Allah, hanya Engkau satu-satunya kaitan hidupku!" batin Gea.
Malam semakin syahdu. Lambat dan pasti detik jam bergeser lagi. Lembar demi lembar puisi kembali dia baca. Entah sejak kapan dia menyukai puisi, yang jelas bagi dirinya puisi adalah dimensi napas yang lain yang perlu diasup oleh setiap manusia. Di mana puisi tidak cuma menawarkan keindahan eklesiastikal kata-kata saja, tetapi juga menyuguhkan makna terdalam yang bisa didapatkan melalui perenungan yang paling privat dalam jiwa manusia.
Pagi itu, di hari yang lain, dengan wajah pucat pasi, Citra memberanikan diri datang menemui Gea di kamar kontrakannya yang baru saja selesai disapu lantainya dan dibereskan tempat tidurnya. Gea tentu saja kaget dengan kedatangan Citra, yang selama tiga tahun belakangan ini tidak pernah bertemu dengan dirinya. Awalnya Gea hendak mencakar wajah Citra yang sudah merebut Rangga dari kisah hidupnya. Namun saat dia berhadapan dengan paras Citra yang murung seperti sepangkas bunga bakung, niat itu berhasil dia singkirkan. Yang muncul dari dasar hatinya justru rasa iba terhadap Citra dan rasa bersalah terhadap dirinya sendiri, kenapa niat buruk itu sampai muncul dari dasar hatinya di saat seperti ini.
Sebelum kata diucap, air mata Citra sudah berjatuhan. Dia lantas memeluk Gea erat-erat seolah tidak ingin dilepaskannya, seperti pelukan anak kecil minta perlidungan dalam dekapan ibunya. "Gea, saya datang ke sini mau minta maaf padamu atas nama diriku dan Rangga!" kata Citra dengan suara terbata-bata.
Cahaya matahari saat itu; masuk melalui daun jendela yang terbuka, menyentuh miring tubuh Gea dan Citra yang bayang-bayangnya jatuh ke lantai, dan sebagian darinya bergetaran di dinding kamar sebelah kiri yang dipoles dengan kapur warna putih. Seluruh dinding dan langit-langit kamar itu sekali lagi memang dipoles dengan kapur warna putih serupa warna kain kafan.
Gea diam sesaat. Kemudian mendekap erat tubuh Citra.
"Saya maafkan dengan hati yang tulus," bisik Gea yang pikirannya masih diliputi oleh berbagai pertanyaan, khususnya tentang kedatangan Citra yang terasa tiba-tiba setelah sekian lama tidak ada kabar beritanya. Terlebih setelah Rangga berserah diri dalam pelukan Citra, yang meninggalkan bayang-bayang kelam dalam kehidupan Gea. Sejak saat itu Citra seakan-akan raib ditelan bumi.
"Kau tahu bencana macam apa yang terjadi subuh tadi dalam hidupku?” tanya Citra membuka percakapan, yang sesungguhnya ragu diutarakan kepada Gea; sahabat karib yang pernah dikhianatinya secara total.
"Tidak, memangnya ada apa?” jawab Gea, balik bertanya dengan nada suara yang dingin, seakan-akan tidak ingin diganggu oleh siapa pun pagi itu. Ya. Pagi itu, Gea punya niat membuat sebuah tulisan, entah puisi, cerita pendek atau esai. Atau apa saja yang bisa melepaskan diri dari segala kegelisahan yang kini tengah menyergap batinnya.
"Rangga meninggal dunia. h****n yang dikonsumsinya di luar takaran sudah melumpuhkan jaringan urat syaraf dan denyut jantungnya. Saya tidak menduga bahwa Rangga harus meninggal dunia dengan cara semacam itu," jelas Citra sambil melepaskan pelukannya, kemudian dia melangkah ke arah ranjang berkasur busa, lalu duduk di bibir ranjang tersebut sambil mengusap-ngusap permukaan perutnya berulang-ulang.
Mendengar kabar Rangga meninggal dunia, sesaat Gea menundukkan kepala dan berdoa untuk almarhum. Meski sudah tak ada hubungan apa pun dengan Rangga rasa duka nyatanya tetap berayun-ayun di hati dan pikirannya seperti bergayut-gayut embun di ujung daun yang digoyang angin pagi hari. Sesaat kemudian Gea mengikuti Citra dan duduk di sebelahnya, meski hati dan pikirannya masih melayang-layang seakan-akan tengah mencari sebentuk kenangan yang paling indah dalam hidupnya; ketika Rangga masih berkisar di seputar dirinya.
Dia ingat sesuatu tentang sebuah sore yang indah di Jalan W.S.Rendra yang sisi kiri dan kanannya ditumbuhi pohon-pohon besar, yang daun-daunnya mulai berguguran. Sebagian dari guguran daun-daun itu menimpa pundak Gea dan Rangga saat kuntum demi kuntum bunga cinta mulai rekah di hati Gea, usai Rangga mengutarakan getaran hatinya bahwa dirinya jatuh cinta kepada Gea. Perasaan itu katanya, terus membayang merasuk ke setiap lembaran impian dan ingatannya. Gea tentu saja senang mendengar pengakuan semacam itu yang juga dirasakan oleh dirinya sendiri, tapi dia tidak mau mengutarakannya. Lebih baik memendamnya, jauh di dasar lubuk hatinya.
Kenangan itu seketika pecah ketika dingin semilir angin pagi berhembus ke dalam kamar tersebut. Gea tentu saja tidak ingin hanyut dalam kenangan semacam itu. Saat duduk di samping Citra, mata Gea tak putus-putusnya memperhatikan gerakan tangan Citra yang terus-menerus mengusap-ngusap permukaan perutnya dari bawah ke atas dari atas ke bawah. Sementara itu air mata Citra pun terus tumpah seperti musim hujan yang tak mau menyerah dihadang kemarau panjang.
"Citra, apa yang terjadi dengan perutmu yang terus menerus kau usap-usap itu. Apakah kau tengah sakit perut?"
“Tidak! Ini bukan sakit perut. Namun saat ini aku justru menanggung rasa duku yang sangat dalam. Pun aib yang tak pernah aku pertimbangkan sebelumnya!”
"Aib? Maksudmu kau sedang hamil?" tanya Gea antara percaya dan tidak, yang kemudian disusul oleh sejumlah pertanyaan lainnya, apakah Gea sudah menikah dengan Rangga. Kalau benar keduanya telah menikah, kenapa dirinya tidak diundang? Kalau hamil di luar nikah, ya Tuhan, jerit Gea, apa yang terjadi jika hal itu dialami oleh dirinya sendiri yang kini jauh dari keluarganya.
"Iya. Benih yang tertanam dalam rahimku saat ini adalah benih yang ditanam Rangga dengan penuh nafsu. Saat itu kami sama-sama tenggelam dalam mabuk asmara, memandang dunia semata-mata sebagai tempat yang menyenangkan untuk b******a. Saat itu Rangga berjanji kepada diriku bahwa aku akan segera dinikahinya. Tapi apa yang terjadi sampai calon anaknya tumbuh dalam rahimku berusia dua bulan; ikatan perkawinan yang aku harapkan dari Rangga cuma tinggal impian yang tidak jelas wujudnya," kata Citra sambil sesenggukan.