Tadinya kupikir Ibu tidak akan datang ke rumah orangtua Desi, tetapi kenyataannya malah bikin Desi mencecarku dengan banyak pertanyaan yang tidak bisa aku jelaskan.
Aku bukan laki-laki yang mampu mengungkapkan perasaan suka pada perempuan. Bagiku cukup mencintainya diam-diam, sudah membuat hati ini bahagia. Kalau bukan karena Rizal, Ibu tidak akan pernah datang ke rumah orangtua Desi kemarin.
Hari ini aku rasakan aura Desi sangat berbeda. Biasanya, Gadis berusia lima belas tahun itu menyapaku duluan, tetapi hari ini, Desi lebih banyak diam dan seperti menjaga jarak denganku. Setiap aku berusaha untuk duduk berdekatan dengannya, setiap itu pula Desi malah seperti menghindar. Ah, Ibu ... semua ini gara-gara ibu.
"Kita main bentengan, yuk!" ajak Rudi saat kami sedang berkumpul di aula Masjid Jami Al-Husna.
"Ayo! Kita hompimpah dulu. Yang telapak tangannya tertelungkup, jadi satu tim sama aku. Tapi, kalau telapak tangannya terbuka, satu tim sama Aziz," seru Rudi.
Aku pun hanya mengiakan saja. Tidak ada gairah saat bermain waktu itu. Karena semakin aku melihat Desi, Gadis cantik yang aku sukai itu malah membuang muka.
"Hompimpah alaihum gambreng!"
Semua teman-teman menggerakkan tangannya secara serempak. Ada dua belas anak yang ikut dalam permainan gobak sodor. Anak yang masuk ke tim Rudi, antara lain; Tegar, Dimas, Rizal, Nita dan Ika. Sedangkan yang masuk ke tim aku; Nuri, Dewi, Cahyo dan Desi.
Aku pun cukup terkejut saat mengetahui Desi masuk ke dalam tim-ku. Namun, aku pura-pura tidak tahu saja. Pura-pura tak acuh padanya dan bersikap senormal mungkin agar yang lain tidak menaruh curiga padaku dan Desi.
"Yey, kita satu tim sama Mas Aziz, Mbak Des!" seru Dewi. Seruan Dewi kali ini membuat Desi menatapku cukup lama. Bahkan, tatapannya seperti tidak suka kalau kami berada dalam satu tim.
***
Sebelum bermain.
Di depan rumah Desi ....
"Tadi orangtua kamu main ke rumah Ibu," ujar Desi sebelum kawan-kawan datang ke masjid.
"Eh, ngapain ibuku datang ke rumah kamu?" tanyaku, berpura-pura tidak tahu apa yang terjadi.
"Kita jadi besanan," jawabnya tak acuh.
"Besanan? Aku gak ngerti loh, Des," dalihku.
"Masa kamu gak ngerti? Apa kamu pura-pura gak ngerti?" tanyanya menyelidik.
Aku menggeleng cepat.
"Kita berdua dijodohkan. Apa kamu gak tahu?" tuturnya.
Glek!
Aku berusaha menutupi kegugupan di hadapan Desi setelah tahu niat baik Ibu sudah beliau lakukan kemarin. Aku tahu maksud Ibu baik, hanya saja ini terlalu cepat.
Bukan, bukan aku tak mau menerima perjodohan ini, hanya saja ini bukan waktu yang tepat. Kami berdua masih kecil. Usia kami pun belum waktunya untuk menyandang status bertunangan. Kami juga masih ingin menikmati hidup kanak-kanak. Kalau sudah begini, aku harus bilang apa sama Desi?
"Ibuku cuma bercanda, Des. Gak usah ditanggapi. Kalau ayahku yang datang, baru kamu tanggapi. Karena biasanya keputusan Ayah tidak bisa diganggu gugat," kataku berusaha menghibur Desi.
Gadis itu hanya tersenyum simpul. Senyumnya terlihat seperti dipaksakan.
"Jangan sampai teman-teman yang lain tahu tentang perjodohan ini, ya?"
"Kenapa?"
"Aku gak mau diledek sama teman-teman. Itu aja, Ziz," lanjutnya.
"Tapi, kamu setuju dengan perjodohan ini?" tanyaku sebelum ia menghilang dari pandanganku.
Kulihat Desi menggeleng pelan. Setelah itu Desi pun pergi meninggalkan aku yang masih bertahan duduk di halaman rumahnya.
****
Usia kami memang masih remaja. Belum cukup umur untuk membahas tentang perjodohan ini. Pembicaraan dengan Desi tadi, masih terngiang-ngiang di kepala. Bagaimana kecewanya Desi, marahnya Desi ... aku tahu itu.
****
"Eh, gak boleh curang dong!" seru Dewi membuyarkan lamunanku.
"Ada apa ini?" batinku.
"Gak curang kok. Kamunya aja yang lambat kayak keong!" ledek Tegar. Anak itu meledek Dewi sambil menggoyang-goyangkan pantatnya.
"Jelas-jelas kamu yang curang. Udah kena, malah gak mau kalah!" seru Cahyo, tak kalah sengit.
"Gak dong, kan ditarik lagi sama Nita." Tegar bersikukuh ia tidak curang.
"Eh, kenapa jadi pada berantem? Ini kan cuma permainan." Akhirnya aku ikut bersuara.
"Itu Mas, si Tegar curang. Masa udah kena, malah gak mau kalah. Emosi Dewi Mas jadinya," jelas Anak berambut kucir kuda.
"Ye ... kita-kita gak curang. Kamunya aja sama tim gak bisa main. Huuuuu!!"
"Nyebelin deh sama nih anak. Lama-lama aku gibeng juga kamu!" Dewi akhirnya sewot. Dia narik kerah baju yang dipakai Tegar.
Tegar pun ikut tersulut emosi. Dia melawan Dewi dengan cara mendorong tubuhnya ke belakang. Hingga Dewi jatuh. Untung saja Desi dengan sigap menangkap badan Dewi yang oleng.
"Eh, udah dong jangan berantem aja! Ini kan cuma mainan." Akhirnya, Desi ikut bersuara.
"Lagian juga Tegar, kenapa kamu curang? Aku udah lihat tadi kamu tiga kali loh curang," lanjutnya.
"Apaan coba? Orang kita-kita gak curang! Gimana sih kamu!" seru Rudi. Dia ikut terpancing karena grupnya disebut curang.
Aku pun tidak tahu bagaimana awalnya bisa ada kecurangan dalam bermain. Karena fokusku saat itu terpecah menjadi dua. Satu memikirkan Desi, satu lagi fokus pada permainan.
Bug!!!
Suara benda jatuh terdengar. Namun, itu bukanlah sebuah benda mati yang jatuh ke tanah, melainkan tubuh Desi yang tiba-tiba saja tersungkur di tanah. Rudi mendorongnya.
"Hei! Jangan kasar dong sama perempuan!" pekikku lantang.
"Makanya kalau gak mau dikasari, jangan ngomong tim aku curang mulu!" balas Rudi, sengit.
"Ya, tapi jangan dorong Desi juga kali. Kasian dia!"
"Kenapa kamu jadi marah? Kamu suka sama Desi, si Deleng Siji?" cebik Rudi.
"Hei!!!" bentak ku. Kali ini suaraku cukup nyaring di aula masjid.
Aku marah. [] []