Asshalatu Khoirumminannaum
Asshalatu Khoirumminannaum
Aku terbangun mendengar suara adzan subuh, adzan yang menurutku paling istimewa karena memiliki ciri khas yaitu ‘Asshalatu khoirumminannaum’ yang artinya ‘shalat lebih baik daripada tidur’ bagaimana tidak, lafadz itu merupakan lafadz yang hanya akan dikumandangkan ketika Adzan subuh, tidak ada di adzan-adzan lainnya.
Seperti biasa aku langsung membaca doa bangun tidur, berterimakasih serta bersyukur kepada Allah karena Dia masih memberi aku kesempatan untuk bangun kembali setelah ‘tak sadarkan diri’ untuk sementara waktu. Jika memikirkan hal itu aku jadi teringat ketika aku koma tempo hari, aku sudah tertidur selama 40 hari, semua orang berpikiran mungkin sudah saatnya untuk aku tidur selamanya, tapi kemudian Allah menunjukan kekuasaan-Nya, Ia membuatku kembali terbangun dari tidur panjangku.
Selesai shalat subuh aku berdoa kepada Allah, entah kenapa rasanya hari ini aku ingin berlama-lama menghadap-Nya, rasanya kemarin-kemarin aku sudah terlalu jauh dengan-Nya. Ku panjatkan tasbih serta surah-surah pendek, kemudian aku menadahkan kedua tanganku, aku berdoa kepada sang Pemilik kehidupan.
“Ya Allah Ya Tuhanku, terima kasih karena sampai saat ini Engkau masih memberi kehidupan yang sejahtera. Aku bersyukur karena Engkau telah memberikan aku serta keluargaku dan orang-orang terdekatku nikmat yang tak ternilai harganya.”
******
Di luar papa sedang berbincang dengan Kak Riza, dengan maksud ingin mengingatkan papa bahwa sudah saatnya berangkat, aku pun menghampiri mereka.
“Pa, ayo.”
“Eh iya, sudah siap?”
“Sudah.”
Kami pun bergegas masuk ke dalam mobil setelah sebelumnya papa pamit dengan Kak Riza.
“Papa denger semalem kamu ketemu sama Riza ya di halte?”
“Kak Riza cerita ya pa?”
“Iya, terus?’
“Terus apanya?”
“Ya terus pendapatmu mengenai Riza gimana?”
Apa? Papa menanyakan pendapatku tentang Kak Riza? Apa mungkin... apa mungkin papa dan om Rendy sudah punya rencana untuk menjodhkan kami berdua?
“Papa nanyain pendapat Rania tentang Kak Riza?”
“Iya, menurutmu gimana? Dia cocok kan jadi guru les kamu? Maksud papa dia paham kan tentang materi sekolahmu?”
Hufftt... selamat, aku pikir apaan.
“Iya dia ngerti kok pa, bener yang papa bilang dia itu cerdas banget, aku aja sampe heran kok bisa ya ada orang sepintar itu, kira-kira dia makannya apa ya pa?”
“Mungkin makannya buku kak?”
Jiwa humoris papa mulai keluar, baiklah pa, papa jual, Rania beli.
“Maksud papa buku goreng? Atau koran rebus?”
“Hahahahhaha si kakak bisa saja. Sudah ah sudah, tidak baik membicarakan orang lain.”
“Yee... kan papa duluan.”
******
Bel masuk sudah berbunyi tapi Syifa belum juga datang, meskipun Syifa tergolong malas dalam hal pelajaran, tapi ia tidak pernah telat datang ke sekolah.
“Syifa belum dateng?” Rama menghampiri dan duduk di kursi Syifa.
“Belum nih, apa dia telat kali ya?”
“Syifa telat? Gak mungkin deh kayanya.”
Tiba-tiba anak laki-laki yang kutebak pasti kelas X berdiri di depan pintu kelas, dia hanya celingak-celinguk kebingungan, aku menghampirinya.
“Ada apa ya, De?” tanyaku.
“Eh ini kak, surat dari guru piket atas nama Syifa Kusumasari katanya sakit.”
“Oh ya, terima kasih ya.”
Aku kemudian menghampiri Rama, “Ram, Syifa sakit katanya.”
“Itu suratnya?” Rama menunjuk surat yang kini berada di tanganku.
“Yap.”
“Bisa sakit juga tuh anak.”
Bimo yang kuyakin sejak tadi menguping pembicaraanku dengan Rama, akhirnya angkat bicara.
“Apa? Bebeb Syifa gue sakit?” dengan gaya lebaynya.
“Iya ayang lo noh sakit, jengukin gih.” jawab Rama.
“Ah, kalo gue jengukin juga paling ga dibukain pintu lagi kaya waktu itu.”
“Hahahaha, jadi lo pernah jengukin Syifa terus ga dibukain pintu bim?” tanyaku penasaran.
“Iya dulu waktu kelas XI, tega banget emang doi. Aku tuh ga bisa diginiin.” Aku dan Rama hanya geleng-geleng melihat tingkah Bimo.
Lalu biasanya kalau Syifa ga masuk, Rama akan bilang....
“Ran, gue duduk sini ya?” disertai dengan cengiran kuda.
“Huh udah ketebak, iyaaaa Rama.”
Aku perhatikan Rama yang saat ini sedang main games di handphonenya, kalau dihitung-hitung aku dan Rama ini sudah bersahabat selama kurang lebih 10 tahun. Selama 10 tahun kita bersahabat, hubungan aku dan Rama selalu baik-baik saja. Rama selalu mengalah jika ada masalah denganku, terkadang ia juga selalu minta maaf terlebih dahulu walaupun itu bukan kesalahannya, jika ada hal yang tidak kusuka darinya dia selalu memperbaiki diri, begitu pun denganku. Tak ada satupun hal yang kami tutupi satu sama lain, aku selalu tau masalahnya Rama dan Rama pun selalu tau semua masalahku. Hampir setiap hari kami curhat. Mungkin itu yang membuat beberapa orang lebih nyaman bersahabat dengan lawan jenis, tidak ada yang perlu disyiriki jika kita bersahabat dengan lawan jenis.
Lain halnya dengan aku dan Syifa.
Walaupun kami sudah berteman dari SMP, tapi beberapa kali aku pernah bermusuhan dengan Syifa, entah itu karena masalah cowok atau masalah barang yang kubeli kemudian tidak lama kemudian Syifa ikut membelinya. Bila sudah seperti itu Rama lah yang akan menyadarkan kita bahwa tak ada untungnya memelihara ego.
“Kemarin balik jam berapa Ran?” Rama bertanya tapi matanya masih terpaku pada layar handphonenya.
“Halloo.... orangnya tuh ada di samping lo, bukan di handphone lo, kalo ngomong yang sopan dong.”
“Ya ampun Rania baper banget, lagi PMS ya lo.”
“Lagian kebiasaan, kalo mau ngobrol sama orang tuh di-pause dulu games-nya.”
“Iya iya Raniaku sayang.” Rama menjeda gamenya.
“Kemarin balik jam berapa?” tanya sekali lagi.
“Dari rumah Dhifa sih selesai jam 7 malem, tapi lo tau ga, gue nunggu bus lima belas menit tapi itu bus ga dateng-dateng juga, untung aja ada guru les gue yang lewat halte terus nawarin tumpangan.”
“Guru private lo?”
“Iya lah Rama, siapa lagi.”
“Kenapa ga minta jemput gue aja sih? Lagian itu tuh udah malem tau.”
“Aduh Rama, handphone gue lowbat, boro-boro bisa telpone lu. Lagian nih ya, kalau handphone gue ga lowbat juga gue pasti telpone bokap gue bukan telpone lo.” ucapku santai sambil mengunyah keripik kentang.
“Ran?”
“Ya?”
“Bisa berenti dulu ga makannya?”
“Kenapa? Lo mau?”
“Enggak, gue cuma mau lo.”
“Hah? Maksud lo?”
“Eh engga, maksud gue, gue cuma mau lo berhenti makan tuh keripik kentang, ga sehat tau, banyak Msg nya!”
“Ah masa? Bukannya lo juga sering makan ini?”
“Ya makanya gue gak mau lo kaya gue.”
“Hah? Maksudnya?”
“Hah maksudnya, hah maksudnya mulu, dasar telmi lo.”
Kemudian Rama pergi meninggalkanku keluar kelas.
Sepulang sekolah Rama mengajakku untuk menjenguk Syifa, melihatnya apakah ia benar-benar sakit atau pura-pura sakit dan kalian pasti tau jawabannya. Aku terpaksa menolak ajakan Rama karena memang hari ini aku sudah ada janji dengan mama untuk pergi ke rumah salah satu sahabat baiknya mama, Tante Diana. Mama juga sudah menungguku di depan sekolah.
“Maaf ya Ram, gue gak bisa jenguk syifa, salam aja ya buat Syifa.”
“Ok gak apa-apa. Eh gue mau ketemu sama nyokap lo dong.”
Aku dan Rama pun menghampiri mama yang sedang berdiri di depan taksi.
“Hallo tante.”
“Eh Rama, apa kabar, Nak?”
“Baik tante, mau pergi ya tan sama Rania?”
“Iya nih, mau ke rumah sahabat SMA tante.”
“Oh yaudah kalau gitu Rama pamit pulang duluan ya, Tan.”
“Iya, hati-hati ya, Nak.”
Dalam perjalanan menuju rumah sahabat mama, aku sempat mengirim pesan kepada Syifa.
Syifa, sorry ya gue gabisa ikut Rama buat ngejenguk lo, soalnya udah punya janji sama nyokap. Get Well Son ya sayangkuu.
Dalam hitungan detik Syifa sudah membalas pesanku, seperti ini isinya,
HAHAHAHAAHHAHAHHA LOL!