Bagian Sepuluh

1124 Words
Adzan subuh berkumandang, aku terbangun. Kulihat jam dinding kamarku menunjukan pukul 04.45 WIB. “Alhamdulillahil ladzi ahyana ba’da ma amatana wailaihin nusyur.” “Segala puji bagi Allah yang menghidupkan aku kembali setelah mematikan aku dan kepada Allah akan bangkit.” Mulai sekarang aku kan melakukan kebaikan-kebaikan kecil, termasuk membaca doa-doa harian, aku rasa itu salah satu cara untuk membuatku menjadi manusia yang lebih baik. Setelah selesai shalat subuh aku segera bersiap-siap untuk pergi ke sekolah karena hari ini adalah jadwalku untuk piket kelas, jadi aku putuskan untuk berangkat lebih awal. “Ma, sarapanku ditaro d itempat makan aja boleh ga? Soalnya aku buru-buru hari ini jadwal aku piket.” “Tapi bener ya nanti sampe sekolah bekelnya di makan?” “Iya, Ma, bener kok.”. “Lho ka? Terus gimana nih? Papa belum selesai sarapan.” “Hhmmm yaudah deh gapapa, aku naik bus aja ke sekolahnya.” “Yakin? Bukannya malah bikin kamu telat?” “Yakin, engga kok, Pa, ini kan masih pagi banget aku jamin bus masih sepi kok.” “Yaudah kalau gitu kamu hati-hati ya.” “Iya, Pa, aku berangkat ya Pa, Ma. Assalamualaikum.” Aku berjalan menuju halte bus, kebetulan letak halte bus tidak jauh dari komplek rumahku, hanya cukup berjalan beberapa meter saja. Letak halte bus ada di depan taman. Taman yang biasa digunakan oleh penduduk setempat untuk berolahraga, berkumpul bersama keluarga atau hanya sekedar bercanda ria bersama teman-teman. Kulihat jam tangan milikku, jam 05.45. Tak heran kalau taman sudah didatangi oleh beberapa orang yang ingin berolahraga, sebagian dari mereka adalah lansia yang sudah tidak bekerja lagi, jadi bisa mengisi hari-harinya dengan berolahraga dipagi hari. Tapi kulihat ada seorang pria yang kutafsir umurnya sekitar 21 atau 22 tahun? Eh? Loh? Kenapa aku harus mikirin umur pria itu? Emangnya kalau aku benar menebak berapa umurnya aku bisa dengan cepat datang ke sekolah? Engga kan? Hufttt. Aku segera melangkahkan kaki dengan cepat menuju halte karena di sana sudah ada bus yang tiba. Kupilih bangku baris ke-4 dari depan, bangku yang berada di pojok. Sudah lama sekali rasanya aku tidak naik bus umum, rindu rasanya melihat pemandangan jalan raya ibu Kota Jakarta dari balik jendela bus. Earphone yang terpasang di telinga memutarkan lagu “Like I’m Gonna Lose You” yang dipopulerkan oleh Meghan Trainor feat John Legend. Lagu ini benar-benar ku hayati, mungkin karena akhir-akhir ini aku merasa seperti kehilangan sosok sahabatku, Rama. Ku ikuti lirik yang sedang berlangsung “Split second and you disappeared and then, I was all alone” ah seperti yang kurasakan sekarang terhadap Rama. “SMA Nusa Bangsa, SMA Nusa Bangsa.” teriak sang kernet. Aku segera turun dari bus dan memasuki gerbang sekolah, di parkiran ada Rama yang sedang melepas helmnya. Aku harus menyelesaikan masalah ini, harus! Sekarang juga, kalau ga sekarang, kapan lagi? “Rama!” panggilku sambil berlari kecil menghampirinya. Dia hanya menoleh sebentar. “Lo kenapa sih?” “Kenapa apanya?” “Iya kenapa kok dari kemarin cuekin gue terus.” “Ya gapapa.” “Lo marah sama gue? Lo ga seneng gue sembuh? Kalo iya, kenapa waktu gue koma, tiap hari lo jengukin gue terus di rumah sakit?” “Lo bingung kenapa gue cuek sama lo?” “Yap.” “Dan sekarang lo masih belum tau jawabannya?” “Hmm... belum.” “Gue pikir selama lo tidur 40 hari kemarin, lo bakal ngerti perasaan gue.” “Hah? Perasaan apa?” Dia tidak menjawab, dia hanya menatapku tajam, tatapan paling mematikan yang pernah kudapat dari seorang Rama. Tanpa bicara satu katapun, Dia pergi meninggalkanku, Sendiri, Di parkiran sekolah. ****** Di ruang tamu papa dan mama sudah menungguku, “Mau ngomong apa, Pap?” “Begini papa berencana mau memberikan les private untukmu, mengingat pasti sudah banyak pelajaran yang tertinggal, untuk guru privatenya sendiri sudah papa pilihkan. Kamu les setiap hari Senin, Rabu dan Jumat. Untuk jamnya gimana kalau pukul 3-5 sore?” “Iya sih, kemarin pas pelajaran sosiologi juga Rania ngerasa banyak banget materi yang tertinggal, jadi kayaknya ga salah deh kalau ikut les private. Untuk urusan waktunya Rania sih oke-oke aja, tapi masalah guru les..... orangnya galak ga, Pa?” “Enggak, tenang aja orangnya baik kok dan papa sudah lama kenal dengannya.” “Oh gitu, oke. Jadi kapan aku mulai les?” “Besok.” “Hah? Besok?!” “Iya, kenapa? Lebih cepat lebih baik kan?” Benar juga sih kata papa, lebih cepat lebih baik. Lagi pula aku sudah ketinggalan banyak materi, terlebih tahun ini aku sedang duduk di kelas XII yang pastinya harus mempersiapkan segalanya untuk masuk perguruan tinggi. “Kak ayo cepetan, sudah telat nih.” “Iya iya, Pa tunggu sebentarrr!” kataku sambil berteriak dari dalam kamar. Aku mencari buku tulis ekonomi yang tidak kunjung ketemu, hufftt coba aja aku nyiapin buku dari semalem, pasti gabakal kaya gini ceritanya, gara-gara ketiduran sih nih. Di perjalanan menuju sekolah kami terjebak macet. Aku pasti telat. Bener saja, ketika sampai di depan gerbang sekolah, Pak Diman –satpam sekolahku- sedang menutup gerbang, hanya tersisa kira-kira 5 centi meter ruang untukku masuk dan tentunya itu tidak cukup, kulihat orang yang terakhir masuk adalah Rama. “Aduhh Pak Diman, bukain gerbangnya donggg!!” teriakku memohon kepada Pak Diman. “Tidak bisa Rania, ini tuh sudah telat.” balas pak Diman. “Ahh bapak, ini kan pertama kalinya Rania terlambat. Aduh pak please bukain dong gerbangnya.” aku masih terus merengek. Dan tiba-tiba..... Tadaaaaa!!!! Pintu gerbangnya kebuka! Pintunya kebuka! Dan aku bisa masuk! Tanpa kena hukuman. Alhamdu....lillah! “Waaa terima kasih Pak Diman!!” aku mencium tangan Pak Diman. “Kalau bukan karena nak Rama, bapak tidak mungkin bukain pintunya.” “Rama? Emangnya dia ngomong apa sama bapak?” “Ada deh, ra ha sia! Rahasia antara 2 laki-laki sejati.” “Huhhh Pak Diman gaya banget! Sekali lagi makasih Pak Diman, Rania kekelas dulu yaaa.” Sampai di kelas aku langsung menghampiri mejanya Rama. “Rama, makasih ya udah bujuk Pak Diman supaya bukain pintu gerbang buat gue.” “Ya sama-sama.” “Btw lo ngomong apa sama Pak Diman, kok dia bisa luluh begitu?” “Gue bilang ‘pak, barusan Rania sms saya, katanya dia mohon bukain pintu gerbangnya karena hari ini kita ada ulangan pak, bahaya kalau Rania engga ikut dan sebagai rasa terima kasihnya, kalau pak diman mau bukain pintu gerbang, nanti pulang sekolah dia bakal traktir Pak Diman pizza’ gue bilang gitu hahahahha.” Rama tertawa terbahak-bahak. “Hah? Apa? Traktir pizza? Traktir pizza kata lo? Aduh Rama! Parah banget sih, udah tau uang jajan gue lagi krisis.” Rama tertawa terbahak-bahak. Aku yakin dia sudah lupa bahwa sebenarnya dia sedang marah padaku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD